Sukses

Ketika Sulawesi Selatan Disebut jadi Tempat Transitnya Para Pelaku Terorisme

Hal itu diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia dalam sebuah Dialog Kebangsaan di Kota Makassar.

Liputan6.com, Makassar - Wilayah Sulawesi Selatan, disebut-sebut sebagai daerah atau lokasi transit bagi pelaku kejahatan teror atau teroris dari berbagai penjuru Indonesia. Betapa tidak, hal itu terbukti dari Sulawesi Selatan menjadi penyumbang terbesar tangkapan terduga teroris terbanyak sepanjang 2021. 

Berdasarkan data yang diterima Liputan6.com, dari 83 jumlah terduga teroris yang diamankan Densus Anti-teror 88 Mabes Polri pada tahun 2021, 33 diantaranya berasal dari Sulawesi Selatan. Sulsel pun menjadi penyumbang terbesar dalam penangkapan para terduga teroris itu. 

Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia, Islah Bahrawi mengatakan, Kota Makassar di Sulawesi Selatan menjadi cross border jaringan organisasi teror yang ada di Indonesia. Khususnya dua kelompok teroris, yakni Jamaah Islamiyah (JI) dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).

"Di sini (Makassar) juga, pernah terjadi bom bunuh diri di Katedral. Jaringan-jaringan itu menjadi Kota Makassar sebagai tempat transit," kata Islah saat Dialog Kebangsaan di salah satu kampus di Makassar, Selasa (8/2/2022). 

Dari sekian banyak organisasi terorisme yang bergaung, JI dan JAD menjadi dua organisasi terorisme yang paling kuat. Kedua organisasi itu bahkan tetap solid meski telah banyak anggota kedua organisasi terorisme itu telah ditangkap. 

"Dulu, awalnya konflik kan di Poso. Ketika di obok-obok di Poso, maka pecahannya ke Makassar dan sebagian ke Kalimantan," katanya. 

Islah pun menekankan bahwa persoalan teroris bukan semata tentang penangkapan para terduga teroris. Pencegahan pun perlu dilakukan, agar jaringan teroris tak lagi meracuni masyarakat Kota Makassar. Apalagi, warga Kota Makassar dikenal sebagai intimidasi sosial yang tinggi. 

"Nah ini, jangan sampai orang-orang yang melakukan crosporder meracui masyarakat Kota Makassar yang kita kenal sebagai orang moderat, orang-orang yang intimidasi sosial tinggi. Ini yang harus kita bentengi adalah komunitasnya," ucapnya. 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Jadikan Masjid dan Pesantren sebagai Tempat Perekrutan?

Dalam kesempatan itu, Islah Bahrawi juga menyebutkan, bahwa radikalisme yang berbasis agama memang selalu menggunakan entitas-entitas agama untuk sasaran merekrut jaringan terorisme. Termasuk tempat pendidikan untuk anak usia dini hingga masjid-masjid. 

Di zaman Nabi Muhammad kata Islah sudah ada radikalisme berbasis agama dengan menggunakan Masjid Ad-Dhirar sebagai lokasi untuk menyebar paham-paham radikal sehingga masjid itu dikatakan sebagai masjid pembangkangan.

"Kita tidak bisa menutup mata di jaman nabi sudah ada Masjid Ad-Dhirar dan sekarang di Afghanistan serta di Pakistan. Semua ajaran ideologi kekerasan ini memang diajarkan di masjid-masjid dan di pesantren-pesantren," terangnya. 

Seharusnya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tidak membuka dan mempertegas data-data yang terafiliasi dengan paham radikalisme, menurut Islah hal itu tidak usah dibuka di publik.

"Tapi kita harus mengakui itu, terafiliasi secara konsekuensi hukum itu harus diperkuat. Terafiliasi itu apakah karena ada pendanaan dari kelompok teror atau pesantren itu didirikan oleh kelompok teror. Ini harus jelas," ungkapnya.

Oleh karena itu, kata Islah hal itu menjadi pelajaran penting bagi BNPT. Semua data-data itu tidak boleh diungkapkan ke wilayah publik. Pasalnya, menurut dia tingkat sensitivitasnya sangat tinggi.

"Di masjid juga kita tidak tutup mata, penceramah-ceramah ini kadang justru mengajarkan untuk membenci, mengobarkan kita untuk aksi kekerasan, panji untuk membunuh dan membakar, sering itu. Khotbah juga kadang bukan hanya menyejukkan tapi kadang juga mengomporin kita untuk membenci. Ini ada kok. Seharusnya tidak usah umbar di publik, close operasion saja," jelasnya.

Dalam pendirian pondok pesantren itu, beber Islah ada aturannya seperti harus ada santri yang bermukim, kurikulum, stafnya dan orang yang bertanggungjawab dalam pondok pesantren itu.

"Ternyata yang masuk dalam daftar itu tidak layak disebut di pesantren. Tapi, dimasukan ke dalam pesantren, ini yang fatal. Tapi kalau paham radikalisme dan terorisme masuk mengilfitrasi doktrinasi oknum-oknum pesantren dan masjid iya," sebutnya.

Untuk mencegah itu, papar Islah jangan atas agama kemudian membenci orang lain dan membenci perbedaan.

"Karna perbedaan itu memang sunnatullah. Supaya kita ini saling mengenal. Ini kan sudah jelas mau ditaksirkan kemana lagi. Sudah jelas," pungkasnya.

 

Simaklah video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.