Sukses

Curhat ke Komnas HAM, Tumenggung Orang Rimba: Beri Kami Tempat Hidup

Di hadapan sejumlah pejabat negara itu, Orang Rimba di Jambi berharap ada penyelesaian konflik dengan perusahaan.

Liputan6.com, Jambi - Para tumenggung atau pimpinan Orang Rimba duduk lesehan beralas terpal. Bersama puluhan anggota kelompoknya, tumenggung Orang Rimba atau Suku Anak Dalam (SAD) sedang mengadukan nasib mereka yang sampai sekarang tidak memiliki ruang kelola untuk hidup.

Persamuhan di tengah kebun sawit plasma itu langsung digelar. Di hadapan puluhan Orang Rimba sudah datang Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Surya Candra, Pimpinan Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Sandra Moniaga, Deputi II Kantor Staf Presiden Abet Nego Tarigan.

Kunjungan ini merupakan lanjutan dari Laporan Orang Rimba ke Komnas HAM pada 2019 lalu. Satu persatu para tumenggung Orang Rimba itu menceritakan kehidupan yang dialami anggota kelompoknya.

Mata Tumenggung Mariau (50) terlihat berkaca-kaca ketika menceritakan kehidupan anggota kelompoknya, Orang Rimba yang tinggal di Air Hitam Ulu, Kecamatan Air Hitam Sarolangun Jambi.

Suku marginal ini, sejak 30 tahun terakhir tinggal terlunta-lunta di perkebunan sawit perusahaan. Perusahaan yang memperoleh izin konsesi Hak Guna Usaha perkebunan dengan pola Inti-Plasma pada 1988 dengan luasan mencapai 19 ribu hektare.

Di areal yang dibuka menjadi kebun sawit itulah hidup 11 kelompok Orang Rimba yang terdiri dari 217 kepala keluarga dengan jumlah 900 jiwa. Hingga kini kehidupan suku ini masih belum menemukan kejelasan. Kelompok Orang Rimba masih mengalami pengusiran dan perlakukan yang tidak mengenakkan.

"Berikan kami tempat hidup. Kami tinggal di sini sudah sejak nenek moyang kami, tapi kami diusir terus, tidak peduli istri kami melahirkan, tidak peduli sedang hujan, kami diusir. Ditandulah istri itu untuk pindah," ujar Mariau (50) di persamuhan itu yang digelar Rabu (9/6/2021).

Hidup di kebun perusahaan membuat mereka sangat kesulitan untuk mendapatkan pasokan makanan. Kadang mereka harus memungut berondolan sawit yang jatuh, namun sangat berisiko dikejar aparat keamanan perusahaan. Pun demikian dengan sumber air bersih mereka kesulitan mendapatkan.

"Air kami mano ado, ado kubangan babi, yo dari kubangan itu kami ambil, ado sungai kecil-kecil kami ambil, macam mano lagi tidak ado lagi sungai yang jernih seperti waktu akeh bujang kecil dulu, sebelum hutan kami jadi sawit," ujarnya.

Keluhan serupa juga disampaikan oleh Tumenggung Kecinto. Menurutnya, Orang Rimba kesulitan untuk melanjutkan hidup karena tidak ada tempat untuk bertahan hidup.

"Seperti kami ditempatkan di perumahaan sosial, tapi kami dak ado tempat untuk berusaho (ladang), di depan kami tempat kebun orang, di belakang kami ladang orang. Mau ambil jernang, rotan, balam, sudah hilang semua. Macam mano anak cucu kami akan hidup kedepan," kata Kecinto.

Mereka berharap tanah adat mereka dikembalikan oleh perusahaan. Meski sekarang kondisinya sudah tidak hutan lagi, para Orang Rimba menuntut agar tanah hutan mereka dikembalikan. Mereka akan menerima meski tidak semuanya dikembalikan.

Hal itu menurut mereka sudah sesuai dengan berpatok yang termaktub dalam Seloko adat Orang Rimba. Tumenggung Kecinto, lalu berseloko.

"Tanoh Cilako Tamon. Kalo saloh ambik dikembalikan, saloh makon dimuntahkan kalau saloh pakai dilepaskan (orang yang punya tanah itu yang bertuah, orang yang menanam yang celaka. Kalau salah ambil kembalikan, kalau salah makan dimuntahkan, kalau salah pakai dilepaskan)."

Simak juga video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Penyelesaian Konflik

Orang Rimba berharap penyelesaian konflik dengan perusahaan sawit Sari Aditya Loka, bisa segera diselesaikan. Kunjungan Wakil Mentei Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Surya Candra, Anggota Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Sandra Moniaga, Deputi II Kantor Staf Presiden Abet Nego Tarigan itu merupakan lanjutan dari Laporan Orang Rimba ke Komnas HAM pada 2019 lalu.

Hingga kini Orang Rimba belum mendapatkan kepastian nasib di areal perusahaan itu. Orang Rimba tersingkir dari tanah leluhurnya. Mereka hidup tersebar dalam kelompok-kelompok kecil biasanya 5-15 rumah per kelompok di areal perkebunan ini. Mereka berpindah-pindah untuk mendapatkan hasil berburu dan meramu.

Menanggapi persoalaan yang dialami Orang Rimba ini, Sandra Moniaga menyebutkan, Komnas HAM akan mengupayakan penyelesaian terbaik untuk Orang Rimba.

"Komnas HAM sifatnya mediasi, jadi ini kita lakukan dalam rangka mencari penyelesaian masalah Orang Rimba," kata Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Sandra Moniaga.

Sementera itu Wamen ATR/BPN Surya Candra mengatakan akan mendiskusikan lebih lanjut terkait keluhan-keluhan yang disampaikan oleh Orang Rimba.

"Mungkin tidak semuanya bisa dipenuhi, tapi kami berkomitmen untuk mencari jalan terbaik, sesuai dengan arahan Bapak Presiden. Sepulang dari sini saya akan laporkan ke menteri dan juga mendiskusikannya dengan bupati dan gubernur Jambi," kata Surya.

Wakil Bupati Sarolangun Hillalatur Badri yang juga hadir dalam kunjungan tersebut mengatakan, Kabupaten Sarolangun merupakan konsentrasi terbesar Orang Rimba. Sejak kunjungan Presiden ke Air Hitam 2015 silam pihaknya terus berupaya untuk menyelesaian persoalan Orang Rimba.

"Kami sudah bangunkan rumah untuk mereka, lengkap dengan sarana prasaranya, tapi itu baru untuk 52 KK," kata Hilal.

Hilal menyebut pembangunan perkampungan di Lubuk Jering dan lokasinya cukup jauh dari kelompok yang meminta tuntutan dan saat ini sudah dihuni oleh Orang Rimba lainnya. Bukan oleh Orang Rimba yang mengajukan tuntutan terhadap perusahaan.

"Karena keterbatasan kami, maka hari ini kita minta pandangan dari Pak Wamen bagaimana baiknya," kata Hilal.

 

3 dari 3 halaman

Hidup Memprihatinkan

Keberadaan Orang Rimba di bawah kebun sawit perusahaan masih sangat memprihatinkan. Hasil berburu untuk memenuhi kebutuhan hidup tidak lagi mencukupi.

"Hhasil buruan mereka tidak seperti dulu lagi dan hasil hutan yang dikumpulkan juga sudah tidak lagi mencukupi kebutuhan hidup mereka," kata Manager Program Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Robert Aritonang.

Orang Rimba yang tinggal di dalam perkebunan, saat ini kondisinya memprihatinkan. Sebagian dari mereka bertahan dalam sudung-sudung, pondok beralas pelepah sawit dan beratas terpal plastik. Sebagian ada yang masuk program perumahan pemerintahan.

"Tapi kehidupan mereka tetap marginal karena ketidaan tempat berusaha. Memungut hasil hutan sudah tidak ada lagi, mengambil brondolan sawit dianggap melakukan pencurian dan dikriminaliasi perusahaan," kata Robert.

Terkait persoalan ini, Orang Rimba telah menyampaikan persoalannya ke sejumlah pihak termasuk ke perusahaan. Dalam hal ini PT SAL pernah mengirimkan konsultan independent Daemeter untuk menelisik persoalan Orang Rimba dengan perusahaan.

Hasil kajian Daemeter menyebutkan terjadinya pengabaian hak masyarakat adat yang tinggal di dalam kawasan perusahaan, sehingga merekomendasika perusahaan untuk mengambil langkah pendekatan penyelesaian konflik dengan Orang Rimba secara keseluruhan.

Kajian dan analisis serupa juga dilakukan oleh tim Human Right Watch (HRW)-- lembaga independen yang mengdorong pengakuan hak asasi manusia. Dalam penelitiannya 2018-2019, HRW berkesimpulan, kehilangan hutan yang beralih menjadi perkebunan kelapa sawit telah menghancurkan kehidupan Orang Rimba.

"Kelaparan merupakan hal yang umum ditemukan, karena hampir tidak mungkin menemukan bahan pangan di kawasan perkebunan. Orang Rimba memakan rebusan biji sawit sangat mudah ditemukan," ujar Robert.

Para perempuan rimba, atau yang disebut juga induk-induk, kerap mengumpulkan biji sawit yang terlepas dari tandannya. Fisik anak-anak yang kurus mengindikasikan buruknya kesehatan dan asupan gizi mereka.

Sumber air bersih sangat buruk dan kerap dilanda kekeringan. Anak-anak bermain di bawah sawit dengan kondisi sangat kumal dan amis. Lalat dan bau kotoran tercium menyengat.

"Dengan kelemahan ini, perjuangan Orang Rimba untuk mempertahankan dan merebut kembali tanah mereka juga mendorong lemahnya posisi tawar mereka ketika berhadapan dengan perusahaan," kata Robert.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.