Sukses

Terdengar Letusan Senjata Api di Besipae, Ada Apa?

Sebuah video tembakan senjata api aparat di Besipae viral di media sosial. Dalam video itu, warga yang didominasi perempuan dan anak-anak itu berteriak ketakutan setelah aparat keamanan mengeluarkan beberapa kali tembakan.

Liputan6.com, Kupang - Klaim kepemilikan lahan Besipae antara warga dan Pemprov NTT semakin memanas. Selasa (18/8/2020) sebuah video tembakan senjata api aparat di Besipae viral di media sosial.

Dalam video itu, warga yang didominasi perempuan dan anak-anak itu berteriak ketakutan setelah aparat keamanan mengeluarkan beberapa kali tembakan.

Ketua Umum Front Mahasiswa Nasional (FMN) Cabang Kupang, Fadly Anetong, membenarkan hal itu. Ia mengatakan, kejadian itu terjadi pada Selasa, 18 Agustus 2020, sekitar pukul 11.30 Wita. Tembakan aparat itu berawal dari pengusiran yang dilakukan oleh aparat kepada 29 KK warga Besipae yang tetap bertahan dan berkumpul usai pembongkaran rumah.

Menurut dia, warga menolak keluar dari lokasi mereka berkumpul karena belum ada penyelesaian yang jelas konflik lahan itu. "Warga mati-matian duduk di lahan mereka," dia mengatakan.

Hal ini kemudian disikapi oleh beberapa aparat dengan menembakkan senjata ke tanah sebanyak tiga kali sehingga mengeluarkan percikan api. 

"Seorang ibu, Mama Ester, dan anak-anak didorong menggunakan senjata," ujarnya.

Menurut dia, tembakan tersebut merupakan bentuk ancaman terhadap warga yang sampai detik ini masih bertahan di lahan itu. Masyarakat yang terdiri dari anak-anak, pemuda, serta orangtua ketakutan mendegar bunyi tembakan.

Tindakan tersebut membuat warga dan anak-anak sangat terganggu, ketakutan serta ada yang trauma dan menangis histeris. Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah NTT melibatkan aparat keamanan yang bersenjata lengkap, kata dia, menunjukkan watak antirakyat.

"Penembakan itu sempat diabadikan dalam video yang berdurasi kurang lebih 3 menit," katanya.

FMN menilai, intimidasi dan perampasan tanah menjadi faktor terbelakangnya daya pikir pemuda serta hilangnya akses anak terhadap sekolah dan mengganggu psikologi anak-anak.

"Bukan hanya psikologi, tetapi situasi ini akan memicu timbulnya penyakit karena sejak tanggal 4 Agustus hingga saat ini masyarakat tidur beralaskan tikar dan beratap langit," imbuhnya.

Ia menjelaskan, secara ekonomi persoalan Besipae menjadi perhatian FMN cabang Kupang, karena sejak Februari 2020 masyarakat terus mendapat intimidasi hingga saat ini.

Dugaan Kriminalisasi dan Penculikan 

Sejak, Selasa 4 Agustus hingga Selasa 18 Agustus, masyarakat terus diintimidasi, dikriminalisasi karena mempertahankan tanah.

"Sudah 29 KK yang digusur rumahnya. Ada 6 rumah yang barang-barangnya hilang bahkan persediaan makanan hilang saat pembongkaran," katanya.

Ia menjelaskan, selain pembongkaran dan kehilangan barang, juga ada penculikan terhadap warga bernama, Anton Tanu pada 10 agustus 2020. Anton kemudian dibebaskan pada 11 Agustus, setelah mengalami penyiksaan.

Berapa hari kemudian, tanggal 14 Agustus, terjadi lagi penangkapan terhadap KN yang diduga dilakukan oleh aparat bersenjata lengkap tanpa alasan jelas.

"KN dipukul menggunakan gagang senjata dan sampai detik ini belum ada informasi yang jelas terkait penangkapan," ungkapnya.

Berikut tuntutan FMN Cabang Kupang:

1. Mengecam tindakan anti rakyat yang dilakukan aparat keamanan

2. Mengecam tindakan Pemprov NTT yang melakukan penggusuran terhadap masyarakat Pubabu tanpa adanya upaya penyelesaian yang baik.

3. Segera kembalikan/bebaskan Bapak KN

4. Tarik seluruh aparat keamanan yang terus melakukan intimidasi terhadap masyarakat Pubabu

5. Hentikan pembangunan sebelum ada penyelesaian konflik

6. Wujudkan pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan mengabdi pada masyarakat

7. Jalankan reforma agraria sejati dan bangun industri nasional

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Bantahan Pemprov NTT

Terpisah, Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah NTT, Zeth Soni Libing, membantah aparat bertindak represif terhadap warga Besipae.

Menurut dia, saat kejadian, ia juga berada di lokasi. Tembakan itu dikeluarkan karena warga yang menolak menempati rumah yang disiapkan Pemprov, tidur di jalan dan terkesan ditelantarkan. Melihat itu, ia bersama aparat melakukan pendekatan, tetapi tetap ditolak.

"Salah satu cara untuk membangunkan mereka adalah sengaja mengeluarkan tembakan. Brimob tembak satu kali. Kenyataannya, mereka kaget dan bangun lari ke rumah yang kita bangun. Kita ambil barang mereka dan antar ke rumah. Jadi, bukan Brimob menembak masyarakat. Brimob menembak ke tanah," ujarnya kepada wartawan, Selasa (18/8/2020).

Ia menjelaskan, sebagai ganti rugi, Pemprov sudah membangun rumah warga di atas lahan 800 meter persegi, dengan perincian, satu rumah mendapat 20x40 meter persegi. Dari 37 KK, kata dia, hanya 11 KK yang merupakan penduduk asli. Sisanya, merupakan warga pendatang.

"Untuk sembilan rumah di kawasan hutan lindung, kita sudah relokasi. Tetapi, ada keberatan dari pemangku adat, Usif Nabuasa, karena mereka itu pendatang. Makanya, kami belum bangun, tetapi kavling sudah disiapkan," jelasnya.

Selain membangun rumah pengganti, Pemprov juga menyediakan lahan sisa untuk digarap warga. Bahkan, semua fasilitas, seperti listrik dan pembuatan sertifikat rumah telah disiapkan pemerintah.

"Silahkan garap untuk hidup, intinya jangan mengklaim hak milik," dia menegaskan. "Rumah asli mereka lebih kecil, atapnya dari daun dengan ukuran 2x2 ada yang 2x3, sedangkan yang dibangun Pemprov ukurannya 5x6 ada 3x4 sesuai rumah yang kami bongkar," ungkapnya. 

Siap Hadapi Gugatan 

Terkait adanya gugatan kuasa hukum warga Besipae, ia mengatakan, Pemprov menghargai langkah itu dan siap menghadapi.

"Kalau membatalkan sertifikat, pergilah ke pengadilan, karena itu dokumen negara. Pemerintah menghargai jika kuasa hukum menempuh jalur hukum. Intinya, jangan buat setingan seolah pemerntah represif, jangan ribut di jalan," tegasnya.

"Kita siap hadapi di pengadilan. Mereka tidak memiliki dokumen sedikit pun bahwa lahan itu milik mereka. Usif Nabuasa sebagai pemangku adat sudah serahkan ke Pemprov," sambungnya.

Terkait dua warga yang diamankan aparat, menurut dia, penangkapan itu bukan represif aparat terhadap warga Besipae. Dua warga itu ditangkap karena tertangkap tangan menyimpan bahan peledak.

"Mereka ditangkap, bukan diculik. Mereka simpan bahan peledak dan senjata tumbuk. Kelompok ini selalu menembak sapi warga. Mereka ditakuti karena memiliki senjata api," tutupnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.