Sukses

Menjaga Hutan Mangrove, Menyelamatkan Kampung

Kisah tentang sebuah desa yang punya kesadaran konservasi dan berusaha sekuat tenaga menjaga kawasan ekosistem hutan mangrovenya.

Liputan6.com, Berau - Ajjerul Mustakim (40) bergegas menyalakan mesin tempel di perahu kecilnya. Dia lalu bergegas menyusuri hutan mangrove yang lebat seusai mendengar aktivitas perburuan tak jauh dari kampungnya, Kampung Teluk Semanting, Kecamatan Pulau Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.

Aktivitas tak biasa itu mengundang tanda tanya dirinya hingga memanggil rasa penasaran untuk mengetahui lebih jauh. Beberapa menit menyusuri hutan mangrove, dia lalu bertemu dengan beberapa orang sedang menumpuk sesuatu di perahunya.

Ajjerul langsung terperanjat. Sebab tumpukan itu adalah bangkai Bekantan. Hewan berhidung besar dan berwarna kuning coklat kemerahan itu mengeluarkan darah yang cukup banyak hingga membuat air laut di sekitar perahu pemburu memerah.

“Waktu itu kalau tidak salah tahun 2004. Saya lihat ada beberapa orang sedang berburu bekantan. Mereka mengaku dari Kabupaten Bulungan. Kami tidak tahu, bekantan itu untuk apa. Kalau perkiraan saya jumlahnya mencapai puluhan,” kata Ajjerul saat diwawancarai Liputan6.com di rumahnya.

Dia bersama warga yang lain tidak bisa melarang. Aktivitas itu dia biarkan karena memang belum tahu kalau itu dilarang dan mengganggu ekosistem mangrovenya.

Pemahaman warga soal penyelamatan lingkungan hutan mangrove sebagai pelindung utama pemukiman masih rendah. Warga dan para pendatang seolah berlomba membuka hutan mangrove untuk dijadikan kebun atau tambak udang dan ikan.

Kesadaran warga Teluk Semanting berubah pada tahun 2010 saat mereka nyaris kehilangan mata pencarian. Saat itu, kawasan pesisir kampung mulai kehilangan hutan mangrove akibat perambahan dan pembukaan lahan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Budidaya Ikan Gagal

Sejak tahun 1960-an, sejumlah warga dari berbagai daerah bermigrasi ke kawasan pesisir Kabupaten Berau. Mereka menempati beberapa titik di kawasan rawa hutan mangrove untuk memudahkan mendapatkan ikan tangkapan.

Tentu saja, migrasi ini mengharuskan pembukaan lahan baru yang dilakukan secara masif. Sejumlah warga dari beberapa wilayah terdekat juga melakukan hal yang sama seperti membuat tambak udang dan ikan.

Kampung Teluk Semanting juga termasuk tanpa terkecuali. Kawasan pesisir yang dipenuhi ekosistem hutan mangrove pun perlahan terbuka. Warga seolah berlomba membuka lahan untuk memperluas tambaknya.

Zona penyangga kawasan hutan mangrove juga tak luput dari perambahan. Biasanya kawasan ini dijadikan perkebunan untuk memenuhi kebutuhan lain selain hasil laut.

Fajar Hadanil, pemuda di Kampung Teluk Semanting menceritakan, pembukaan hutan mangrove ini membuat hasil tambak tidak maksimal. Selain itu, kawasan pesisir tanpa pelindung membuat tanggul-tanggul tambak jebol dihantam ombak.

“Tahun 2010 para pengelola tambak ini pergi meninggalkan tambaknya karena hasilnya tidak maksimal. Mungkin karena dampak yang belum disadari masyarakat akibat pembukaan hutan mangrove,” kata Fajar.

Sejak itu, warga Kampung Teluk Semanting mulai menyadari pentingnya hutan mangrove bagi keberlangsungan hidup mereka. Kesadaran untuk menjaga ekosistem mangrove mulai tumbuh.

“Seiring dengan berkembangnya pengetahuan warga tentang peran dan fungsi hutan mangrove itu sendiri sehingga proses restorasi pun mulai dilakukan. Sejumlah tambak yang ditinggalkan mulai ditumbuhi mangrove secara alami. Warga juga mulai menanami sendiri untuk mempercepat proses restorasi itu,” tambahnya.

Kawasan ekosistem hutan mangrove di Kampung Teluk Semanting kini sudah hidup kembali. Sejumlah hewan endemic mangrove juga bertebaran dan hidup berdampingan dengan warga. Kini tugas terberat warga adalah menjaga hutan mangrove dari berbagai ancaman perambahan.

3 dari 4 halaman

Berdamai Dengan Monyet

Suatu hari di tahun 2019, teriknya matahari membuat warga Kampung Teluk Semanting memilih tak keluar rumah. Beberapa warga ingin menghabiskan waktu menunggu sore dengan bercengkerama bersama keluarga masing-masing.

Sri Ngesti Utama (38) mengajak anak dan suaminya berkumpul di beranda rumah. Angin sepoi-sepoi dan rindangnya pohon mangga di depan rumah membuat keluarga ini betah berbincang seraya menyapa tetangga yang lewat.

Tiba-tiba sebuah suara benda jatuh dari arah dapur mengagetkan Sri. Dia lalu bergegas menuju sumber suara. Sri terkejut melihat sekawanan monyet ekor panjang memenuhi dapurnya. Sejumlah telur pecah berserakan di lantai. Beberapa peralatan memasak juga berantakan.

“Mereka mengobrak-abrik dapur saya. Makanan yang ada di dapur semuanya berhamburan, ada juga yang dibawa kabur,” keluh Sri.

Bersama suaminya, Sri lalu menghalau kawanan monyet berwarna abu-abu itu. Semuanya langsung lari pontang-panting. Namun, ada satu ekor monyet yang kabur tak tentu arah. Menabrak apa saja yang ada di depannya.

Ajjerul Mustakim, suami Sri, heran dengan perilaku monyet tersebut. Padahal kawanan monyet lainnya sudah jauh memasuki kawasan hutan mangrove.

“Setelah kami tangkap, ternyata monyet ini buta. Antara kesal dan kasihan, akhirnya kami lepaskan kembali monyet tersebut ke hutan mangrove,” kata Ajjerul.

Sri dan Ajjerul tentu kesal luar biasa. Kawanan monyet tanpa ampun mengobrak-abrik dapur rumahnya. Namun di sisi lain mereka sadar bahwa monyet dan hewan lain yang tinggal di sekitar mereka harus dilindungi.

“Kesal dan marah tentu saja kami rasakan. Namun kami anggap ini kesalahan kami yang teledor menjaga rumah,” sebutnya.

Di musim buah, persaingan monyet dan manusia di Kampung Teluk Semanting semakin ketat. Buah-buahan yang tidak dijaga, akan dijarah sekawanan monyet. Lagi-lagi warga setempat tidak marah. Mereka berusaha sekuat tenaga agar buah-buahan tidak diambil monyet.

“Ini yang bikin kami tertawa karena lucu. Seolah bersaing memperebutkan buah. Kami belajar kebiasaan mereka dalam mencuri untuk menjaga pohon buah kami. Monyet-monyet itu juga mempelajari aktivitas kami sehingga bisa menjarah buah tanpa sepengetahuan kami,” kata Ajjerul sambil tertawa.

4 dari 4 halaman

Pendampingan Lembaga Konservasi

Melihat kesadaran warga Kampung Teluk Semanting yang begitu tinggi dalam menjaga hutan mangrovenya membuat Yayasan konservasi Alam Nusantara (YKAN) tergerak untuk membantu warga. Proses pendampingan untuk menjaga ekosistem mangrove pun dilakukan.

Koordinator Penghidupan Masyarakat YKAN Maya Patriani menjelaskan, pendampingan juga dilakukan untuk memaksimalkan pendapatan warga tanpa harus merusak hutan mangrove. Pengetahuan soal pentingnya hutan mangrove semakin tinggi sehingga kesadaran untuk menjaga ikut bertambah.

“Kampung ini terpilih karena komitmen kuat menjaga lingkungan. Upaya konservasi diyakini memiliki andil besar terhadap kebutuhan masyarakat. Jika masyarakat ingin berubah dan maju, maka hasil yang didapat akan lebih besar,” ujar Maya.

Kawasan hutan mangrove milik Kampung Teluk Semanting memiliki luas 767 hektar dengan 27 jenis vegetasi mangrove. Terdapat 27 jenis mamalia dan 53 jenis burung.

Pendampingan yayasan ini bertujuan agar masyarakat sadar hutan mangrove memiliki kekayaan yang luar biasa. Disamping itu, keberadaan hutan mangrove juga membantu warga meningkatkan pendapatannya sebagai nelayan.

“Kampung ini, sudah mendapat pendampingan Forum Lingkungan Mulawarman atau FLIM selama tiga tahun dengan pendekatan Aksi Inspiratif Warga untuk Perubahan atau biasa kita singkat SIGAP,” kata Maya.

Ekosistem mangrove di kampung ini bukan tanpa ancaman perambahan. Musuh utamanya adalah perkebunan kelapa sawit yang terus mendesak masuk hingga ke hutan mangrove. Pembukaan jalan dengan mengorbankan hutan mangrove juga masih terus terjadi.

Saksikan juga video pilihan berikut:

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.