Sukses

Sarung dan Pesan Damai dari Pesantren di Hari Santri

Liputan6.com, Purbalingga - Ada pemandangan tak biasa di Alun-Alun Purbalingga, Jawa Tengah, Selasa, 22 Oktober 2019. Pada hari santri nasional 2019 ini, semua peserta upacara mengenakan sarung.

Itu termasuk para petugas upacara hingga komandannya. Tentu saja, kecuali instruktur upacara, Bupati Purbalingga, Dyah Hayuning Pratiwi, yang memang perempuan. Ia mengenakan busana muslimah yang anggun.

Peserta upacara peringatan hari santri nasional 2019, yang terdiri dari pejabat dan pegawai lintas OPD, santri dari pesantren Purbalingga, pelajar dan elemen masyarakat lainnya pun mengenakan busana serupa, sarung.

Sarung, diakui atau tidak adalah identitas kaum santri. Santri, pesantren, dan sarung adalah identitas yang melekat dan begitu sulit dipisahkan.

Ini bukan lagi soal upacara unik. Lebih dari itu, ada pesan-pesan khusus dari busana peserta upacara hari santri nasional.

Pesantren menjadi tempat menyemai ajaran Islam Rahmatanlil’alamin, Islam ramah dan moderat. Sikap moderat dalam beragama sangat penting bagi masyarakat yang plural dan multikultural.

Dengan cara seperti ini lah keragaman dapat disikapi dengan bijak serta toleransi dan keadilan dapat terwujud. Indonesia pun tetap dengan cirinya yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Ini lah pesan besar Hari Santri Nasional 2019.

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pesantren sebagai Laboratorium Perdamaian

"Semangat ajaran inilah yang dapat menginspirasi santri untuk berkontribusi merawat perdamaian dunia," ucap Bupati Purbalingga Dyah Hayuning Pratiwi.

Peringatan hari santri 2019 mengusung tema "Santri Indonesia untuk Perdamaian Dunia". Isu perdamaian diangkat berdasar fakta bahwa sejatinya pesantren adalah laboratorium perdamaian.

Ada alasan mengapa pesantren layak disebut sebagai laboratorium perdamaian. Pertama, kesadaran harmoni beragama dan berbangsa, perlawanan kultural pada masa penjajahan, perebutan kemerdekaan, pembentukan dasar negara, tercetusnya resolusi jihad 1945, hingga melawan pemberontakan PKI, tidak lepas dari peran kalangan pesantren.

"Sampai hari ini pun komitmen santri sebagai generasi pecinta tanah air tidak kunjung pudar. Sebab mereka masih berpegang teguh pada kaidah hubbul wathan minal iman, cinta tanah air sebagian dari iman," ucapnya.

Metode mengaji dan mengkaji di pesantren juga khas. Selain mendapatkan bimbingan, teladan dan transfer ilmu langsung dari kiai, di pesantren diterapkan juga keterbukaan kajian yang bersumber dari berbagai kitab, bahkan sampai kajian lintas mazhab.

Tatkala muncul masalah hukum, para santri menggunakan metode bahsul masail untuk mencari kekuatan hukum dengan cara meneliti dan mendiskusikan secara ilmiah sebelum menjadi keputusan hukum.

Melalui ini para santri dididik untuk belajar menerima perbedaan, tetapi tetap bersandar pada sumber hukum yang autentik. Ketiga, para santri biasa diajarkan untuk khidmah (pengabdian).

"Ini merupakan ruh dan prinsip loyalitas santri yang dibingkai dalam paradigma etika agama dan realitas kebutuhan sosial," ucap dia, menyarikan pidato menteri agama.

 

3 dari 3 halaman

Mandiri, Kerjasama, dan Solidaritas ala Santri

Selain itu, di pesantren ada pula pendidikan kemandirian, kerjasama, dan saling membantu di kalangan santri. Lantaran jauh dari keluarga, santri terbiasa hidup mandiri, memupuk solidaritas, dan gotong-royong sesama para pejuang ilmu.

"Gerakan komunitas seperti kesenian dan sastra tumbuh subur di pesantren. Seni dan sastra sangat berpengaruh pada perilaku seseorang, sebab dapat mengekspresikan perilaku yang mengedepankan pesan-pesan keindahan, harmoni dan kedamaian," dia mengungkapkan.

Di pesantren, lahir beragam kelompok diskusi dalam skala kecil maupun besar untuk membahas hal-hal remeh sampai yang serius. Dialog kelompok membentuk santri berkarakter terbuka terhadap hal-hal berbeda dan baru.

Selanjutnya, santri terbiasa merawat khazanah kearifan lokal. Relasi agama dan tradisi begitu kental dalam kehidupan masyarakat Indonesia. pesantren menjadi ruang yang kondusif untuk menjaga lokalitas di tengah arus zaman yang semakin pragmatis dan materialistis.

"Di pesantren, para santri melakukan proses pembersihan hati, dan hal ini biasanya dilakukan melalui amalan zikir dan puasa, sehingga akan melahirkan pikiran dan tindakan yang bersih dan benar. Makanya santri jauh dari pemberitaan tentang intoleransi, pemberontakan, apalagi terorisme," ujarnya.

Prinsip maslahat atau kepentingan umum menjadi prinsip pesantren yang sudah tak tertawar. Tidak ada ceritanya orang-orang pesantren meresahkan dan menyesatkan masyarakat.

Justru dari pesantren ini lah lahir ulama-ulama, yang banyak membimbing dan membina masyarakat tanpa perhitungan.

Spiritualitas di pesantren juga sangat ditekankan. Tidak hanya soal hukum Islam atau fikih yang didalami, banyak pesantren juga melatih para santrinya untuk tazkiyatunnafs, yaitu proses pembersihan hati.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.