Sukses

Difteri Mewabah di Berbagai Daerah, Vaksinasi Digencarkan

Sejak awal tahun, tiga warga Garut meninggal dunia akibat difteri. Sementara di Kendal, Jateng, seorang pasien difteri meninggal.

Liputan6.com, Garut - Sebanyak 1.200 pegawai Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Slamet, Kabupaten Garut, Jawa Barat, mendapatkan vaksin difteri untuk mengantisipasi penyebaran penyakit tersebut.

Juru bicara RSUD dr Slamet, Lingga Saputra mengatakan pemberian vaksin difteri itu cukup tepat sebagai bentuk pencegahan penyakit bagi pegawai, terutama dokter dan perawat karena sering bertemu pasien.

Apalagi, pada Minggu, 10 Desember 2017, seorang pasien RSUD dr Slamet, Aidah (32) meninggal dunia setelah didiagnosis menderita difteri.

"Makanya sejak hari Senin kemarin sampai Jumat besok kami lakukan vaksin ke para pegawai," ucap dia, Kamis, 14 Desember 2017.

Vaksinasi terhadap para pegawai pun dibagi dua agar tidak mengganggu pelayanan masyarakat. "Sebagian bekerja, sebagian lagi diimunisasi, apalagi suntik vaksinnya juga tidak lama," kata Lingga.

Difteri Renggut Nyawa 3 Warga Garut

Sebelumnya, terhitung sejak Januari lalu, tiga warga Kabupaten Garut, Jawa Barat, meninggal dunia akibat wabah difteri. Tercatat, 11 kasus ditemukan di Garut, dari total 116 kasus difteri dalam Kejadian Luar Biasa (KLB) di Jawa Barat saat ini.

Jumlah penderita difteri meningkat dibanding tahun lalu yang hanya lima kasus. "Kami tidak kaget saat difteri berstatus Kejadian Luar Biasa (KLB) di Jabar. Soalnya, tahun lalu juga ada kasus serupa," ujar Kepala Dinkes Garut, Tenny Swara Rifai, Senin, 11 Desember 2017.

Dari sebelas laporan yang ditemukan, sebagian besar berada di wilayah selatan Garut. "Penanganannya dilakukan di RSHS Bandung. Kami tidak menyediakan obat dan vaksin karena jarang kasusnya," paparnya.

Kepala Bidang Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Garut, Janna Markus menambahkan bahwa 11 kasus difteri itu tersebar di Kecamatan Sukaresmi, Cibatu, Cihurip, Garut Kota, Bayongbong, Sukawening, Cisurupan, Pamulihan, Bungbulang, dan Cikajang.

"Yang sembilan orang sekarang sudah sehat. Dua orang meninggal sekitar awal tahun ini," ujarnya.

Jika dibandingkan tahun lalu, kasus difteri di Garut mengalami peningkatan cukup signifikan. "Tapi kasusnya bukan yang paling tinggi. Kasusnya memang meningkat dibanding tahun lalu," katanya.

Agar wabah ini tidak menyebar, Dinkes Garut mengajak masyarakat untuk melakukan imunisasi lanjutan. Langkah imunisasi dilakukan secara bertahap dari bayi berumur 12 bulan, 18 bulan hingga anak kelas lima sekolah dasar.

Selain itu, jika menemukan kasus baru di masyarakat, ia meminta respons warga untuk segera melaporkannya agar mendapatkan penanganan yang tepat.

Juru bicara RSUD dr Slamet Garut Muhammad Lingga Saputra menambahkan, satu pasien difteri akhirnya meninggal dunia kemarin. "Betul kemarin ada pasien difteri bernama Aidah meninggal dunia," ujarnya.

Dengan adanya satu tambahan pasien difteri meninggal dunia asal Kampung Ngamplang, RT 01 RW 05, Kecamatan Pakenjeng tersebut, total ada tiga warga Garut meninggal dunia.

Sebelumnya, hingga 3 Desember 2017, Dinkes Jawa Barat mencatat sebanyak 116 kasus difteri dengan 13 orang di antaranya meninggal dunia. Dengan kondisi itu, akhirnya wabah difteri Jabar masuk dalam status KLB.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

1 Pasien Difteri Asal Kendal Meninggal

Tak hanya di Garut, wabah difteri juga menimbulkan korban jiwa di Kendal, Jawa Tengah. Seorang pasien difteri berusia empat tahun meninggal dunia karena sudah dalam kondisi parah saat dilarikan ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr Kariadi, Semarang.

"Pasien itu dibawa ke RSUP dr Kariadi pada Selasa malam, 12 Desember 2017, dan langsung ditangani di Ruang Isolasi IGD," kata dokter spesialis anak RSUP dr Kariadi Semarang, dokter Hapsari Sp.A (K), di Semarang, Rabu 13 Desember 2017, dilansir Antara.

Ia menjelaskan pasien berjenis kelamin laki-laki itu dirujuk dari Rumah Sakit Islam (RSI) Kendal dengan keadaan yang sudah komplikasi, seperti sesak napas berat, pembesaran kelenjar, dan diduga komplikasi jantung.

Berbagai langkah penanganan sudah dilakukan, termasuk memberikan antidifteri serum (ADS) dan merencanakan trakeostomi karena selaput membran di tenggorokan sudah menutup saluran pernapasan.

Trakeostomi adalah prosedur bedah yang dilakukan dengan membuat lubang di saluran udara atau trakea untuk memasukkan tabung yang dapat membantu pasien yang kesulitan bernapas dan mengalami penurunan kadar oksigen yang signifikan atau kegagalan sistem pernapasan.

Namun, pasien tersebut meninggal dunia Rabu pukul 02.00 WIB. "Kami tidak bisa menyalahkan pihak keluarga karena ada kemungkinan soal ketidaktahuan mengenai gejala difteri," katanya.

Dari keterangan yang diperoleh, Hapsari menjelaskan bocah tersebut sudah 5-6 hari mengalami demam yang tidak tinggi, nyeri saat menelan, mengorok, dan kemudian dibawa ke RSI Kendal sebelum dirujuk ke RSUP dr Kariadi, Semarang.

"Ini (pasien) meninggalnya karena sumbatan pernapasan," ujarnya.

Selain satu pasien difteri yang meninggal dunia itu, ia menyebutkan masih ada dua pasien difteri yang dirawat di Ruang Isolasi RSUP dr Kariadi, Semarang, yakni satu pasien dari Batang dan satu pasien dari Demak.

2 Pasien Lainnya

Dua hari lalu, ada rujukan dua pasien. Pertama dari RSI Kendal, tapi domisili di Kabupaten Batang, perempuan berusia enam tahun dua bulan. "Kemudian laki-laki berusia 15 tahun rujukan dari Demak," katanya.

Meski demikian, menurut Hapsari, dua pasien tersebut masih tergolong difteri ringan. Dengan demikian, bisa tertolong dengan prosedur penanganan di ruang isolasi dan sekarang ini menjalani perawatan di Ruang Isolasi Bangsal Anak RSUP dr Kariadi, Semarang.

"Keduanya sudah difteri. Yang (pasien) perempuan kriteria difterinya di tonsil, amandel, sementara yang laki-laki di faring, tenggorokan. Tergolong difteri ringan. Mereka masih dirawat dan dalam kondisi baik," katanya.

Begitu mendapatkan rujukan dua pasien difteri itu pada Senin, 11 Desember 2017, tim medis RSUP dr Kariadi langsung menghubungi Dinas Kesehatan Kota Semarang untuk mendapatkan antibiotik yang tidak dijual bebas untuk penanganan terhadap kedua pasien itu.

Setelah itu, tim medis tinggal memberikan antibiotik selama 10 hari. Pencarian kuman difteri dilakukan dua kali, baru boleh keluar dari ruang isolasi. "Yang perempuan sudah menjalankan vaksinasi lengkap sehingga bisa segera diobati," katanya.

Sementara untuk pasien laki-laki asal Demak, imbuh Hapsari, masih ada vaksinasi yang terlewat, sekaligus mengimbau keluarga atau kawan yang sering berkomunikasi dengan pasien meminta antibiotik agar tidak tertular.

3 dari 5 halaman

Ada 5 Terduga Difteri di Yogya

Sementara di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), ada lima orang yang terdeteksi suspect atau terduga terjangkit difteri. Semuanya sudah menjalani tes laboratorium, namun masih ada dua lagi yang perlu pemeriksaan ulang laboratorium.

"Masih ada dua lagi yang tunggu hasil lab. Tiga sudah pasti negatif, mudah-mudahan negatif," kata Pembajun Setyaningastuti, Kepala Dinkes DIY, Rabu, 13 Desember 2017.

Para pasien terduga difteri ini berusia di bawah 20 tahun dan sudah menjalani perawatan intensif di rumah sakit seperti RS dr Sardjito. Semuanya sudah menjalani uji laboratorium untuk mengetahui negatif atau positif penyakit difteri ini.

"Mereka ada di Sleman, Bantul, dan Kulon Progo. Semuanya negatif, tapi Sleman dan Bantul harus periksa ulang," ujarnya.

Pembajun mengatakan pula, pemeriksaan laboratorium dilakukan di Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta dan Balai Besar Laboratorium Kesehatan Surabaya. Pengujian laboratorium di Yogya memakan waktu seminggu, sementara di Surabaya cukup tiga hari.

"Karena BBLK Surabaya merupakan khusus difteri dan jadi rujukan dan memiliki reagen bagus," katanya.

Masyarakat pun diimbau tidak perlu panik dengan adanya suspect difteri di Yogyakarta. Sebab, istilah suspect ini berarti diduga negatif menderita suatu penyakit. "Jadi hidup bersih dan sehat harus terus dilakukan. karena difteri ini menular," ujarnya.

Ada tiga hal kenapa masih ada kasus difteri di Indonesia. Pertama, karena 65 persen anak-anak tidak melakukan imunisasi. Kedua, 30 persen imunisasi, namun tidak lengkap. "Ketiga 3-5 persen dari mereka melakukan imunisasi, tapi ada kendala. Kendala itu pas sakit, jadi kesehatan tidak maksimal," ia menjelaskan.

Adapun DIY termasuk yang terbaik dalam imunisasi karena 95 persen sudah melakukan imunisasi. "Tahun 2016 itu pernah ada kasus suspect, tapi sebelumnya enggak pernah di Yogya," tuturnya.

Kendati demikian, Dinkes DIY telah menyiapkan 10 kotak vaksin difteri jika memang ada kasus. Namun, Pembajun berharap serum ADS ini tidak digunakan, namun pengecekan terus dilakukan khususnya di Sleman dan Bantul.

"Survei, pemantauan wilayah, tata laksana akan kami kuatkan di layanan khususnya puskesmas," ujarnya.

4 dari 5 halaman

1 Pasien Difteri Banten Kembali Masuk Ruang Isolasi

Kasus difteri juga menjadi perhatian serius di Provinsi Banten. Pada Senin malam, 11 Desember 2017, satu pasien difteri masuk ke ruang isolasi RSUD Banten di Serang.

"RSUD Banten sudah ada dua ruang isolasi dan kapasitas kasurnya nya itu bisa sampai 10 (pasien)," kata Rostina, Kepala Seksi Surveilans Imunisasi dan Krisis Kesehatan pada Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Banten, Selasa, 12 Desember 2017.

Banten merupakan daerah penderita difentri terbanyak ketiga secara nasional dengan 81 kasus yang mengakibatkan sembilan nyawa melayang. "Kasus difteri ini sudah 591 kasus, meninggal 32, di 20 provinsi. Di Jawa Timur 270 kasus, Jawa Barat kemudian Banten," terangnya.

Di Banten, tahun lalu, penderita difteri hanya sebanyak 23 kasus. Karena itu, Rostina meminta agar delapan kabupaten dan kota di Banten, segera mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri.

Keputusan itu penting untuk mencairkan Dana Tak Terduga (DTT) yang bisa digunakan dengan sesegera mungkin untuk pengobatan dan pencegahan penyakit difteri.

"Kendalanya kita kan KLB-nya di akhir tahun, sudah closing anggaran, sehingga diupayakan DTT bisa cair. (DTT) bisa cair kalau ada pernyataan KLB dari bupati dan wali kota," jelasnya.

Perlu diketahui bahwa pemerintah daerah tingkat II yang sudah mengeluarkan SK KLB adalah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tangerang dan Pemkab Serang. Enam kabupaten dan kota lainnya belum menerapkan status KLB Difteri.

5 dari 5 halaman

Kenali Gejala dan Cegah Difteri

Difteri kembali mewabah di Tanah Air. Bakteri yang sudah terlumpuhkan puluhan tahun lalu itu terdeteksi di 95 kabupaten/kota pada 20 provinsi di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan dari Januari sampai akhir November 2017, dilaporkan ada 593 kasus difteri dengan 32 kematian.

Bahkan, 11 provinsi melaporkan kejadian luar biasa (KLB) difteri ke Kemkes. Kasus difteri disebut KLB karena ada peningkatan dua kali kasus pada periode yang sama.

Mengutip laman Mayo Clinic, difteri adalah infeksi serius pada selaput lendir di hidung dan tenggorokan akibat bakteri Corynebacterium dipththeriae.

Gejala difteri ditandai dengan demam yang tak begitu tinggi (38 derajat Celsius), munculnya pseudomembran atau selaput tenggorokan berwarna putih keabu-abuan yang mudah berdarah jika dilepaskan, sakit ketika menelan, terkadang disertai pembesaran kelenjar getah bening di leher dan jaringan lunak leher yang disebut bullneck. Ada kalanya gejala difteri juga disertai sesak napas dan suara mengorok.

Difteri disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae dan bersifat mudah sekali menular melalui percikan air liur (droplet) dari bersin atau batuk.

Umumnya difteri menyerang individu yang tak memiliki kekebalan terhadap penyakit tersebut, terutama anak-anak. Namun, penyakit ini sebetulnya tak pandang usia dan tidak tergantung musim.

Masa Inkubasi 2-5 Hari

Masa penularan difteri dari penderita, yakni 2-4 minggu sejak masa inkubasi (2-5 hari). Masa inkubasi adalah waktu masuknya bakteri ke dalam tubuh hingga menimbulkan gejala.

Mengingat penularannya begitu cepat, maka bila ada anggota keluarga yang positif mengalami gejala difteri, anggota keluarga lainnya harus mendapat imunisasi. Tujuannya agar anggota keluarga yang lain tak ikut tertular difteri.

Jika gejala difteri tidak segera ditangani atau petugas medis keliru mendiagnosis, maka bisa mengakibatkan kematian pada penderita. Menurut Kepala Seksi Surveilans dan Imunisasi Provinsi Jawa Barat, Yus Ruseno, difteri yang sudah parah bisa merusak sistem saraf pusat, jantung, dan ginjal.

Munculnya KLB difteri bisa terkait dengan adanya kesenjangan atau kekosongan kekebalan (immunity gap) di kalangan penduduk di suatu daerah. Kekosongan kekebalan ini terjadi akibat adanya akumulasi kelompok yang rentan terhadap difteri karena tidak mendapat imunisasi atau tidak lengkap imunisasinya.

Adanya penolakan imunisasi di beberapa daerah di Tanah Air akhir-akhir ini menyebabkan cakupan imunisasi juga tidak sampai 95 persen. Hal itu meningkatkan risiko penyebaran difteri.

Bila semua masyarakat mendukung imunisasi, termasuk difteri, langkah ini bukan hanya melindungi dirinya, melainkan juga mencegah orang lain tertular penyakit tersebut.

"Imunisasi itu pencegahan. Dan tentu harus tahu, melakukan imunisasi itu untuk menolong yang lain juga. Bukan hanya diri sendiri," tegas Menteri Kesehatan, Nila Moeloek.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.