Sukses

Lembaga Survei Abal-Abal Bermunculan Jelang Pilpres, Begini Mendeteksinya

Dalam hitung cepat sulit terjadi kesalahan karena menghitung apa yang sudah terjadi. Kemungkinan salah, kata dia hanya nol sekian persen. Berbeda dengan survei jajak pendapat.

Liputan6.com, Jakarta - Menjelang Pemilihan Presiden 17 April 2019, bermacam lembaga survei merilis temuan keterpilihan pasangan calon presiden. Anggota Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) Hamdi Muluk, menjelaskan cara mendeteksi lembaga yang palsu.

Hamdi menyebut cara paling mudah adalah melihat latar belakang orang-orang di balik survei tersebut. Apakah memiliki latar akademik yang memadai.

"Ada begini, dia bikin survei abal-abal. Gampang men-detect abal-abal, lihat apakah orang-orang yang terlibat di situ ada akademik background yang memadai," ujar Hamdi dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (9/3/2019).

Kedua, masyarakat diimbau melihat bagaimana reputasi sebuah lembaga survei. Misalnya, bisa dilihat apakah lembaga survei itu rutin mengeluarkan beragam hasil sigi, atau pernah sebagai alat kampanye politik.

Ahli psikologi politik Universitas Indonesia itu mencontohkan, ada lembaga survei yang salah merilis hasil hitung cepat pada Pilpres 2014. Adapun yang dimaksud empat lembaga, JSI, Puskaptis, LSN, dan IRC yang memenangkan Prabowo Subianto Hatta Rajasa.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Hitung Cepat Tak Boleh Salah

Hamdi pun menjelaskan, dalam hitung cepat sulit terjadi kesalahan karena menghitung apa yang sudah terjadi. Kemungkinan salah, kata dia hanya nol sekian persen. Berbeda dengan survei jajak pendapat.

"Hitung cepat tidak boleh salah karena dia hanya hitung sesuatu yang sudah terjadi, perilaku yang sudah terjadi," katanya.

Imbasnya, Persepi mengeluarkan JSI dan Puskaptis dari keanggotaannya. Hamdi pun mengimbau masyarakat juga media untuk sadar terhadap rekam jejak tersebut. "Harusnya jadi memori publik orang-orang yang melakukan itu dan lembaganya," tandasnya.

 

Reporter: Ahda Baihaqi

Sumber: Merdeka

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.