Sukses

&quotTsunami" Surat Berkop Wapres

Gempa bumi dan Tsunami tak meluluhlantakkan Aceh dan Sumut tapi juga merenggangkan hubungan Presiden dan Wakil Presiden. SK Wapres soal penanggulangan bencana Aceh dianggap mengangkangi Presiden.

Liputan6.com, Jakarta: Belum lagi seratus hari, hubungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla tampak renggang. Penerbitan Surat Keputusan Wapres Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pembentukan Tim Nasional Penanganan Bencana Alam di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara dianggap melangkahi Presiden selaku kepala pemeritahan yang masih ada dan aktif. Sesuai SK ini, Jusuf mengangkat dirinya sebagai Ketua Penanggulangan Bencana Aceh.

Rabu (19/1) ini, permohonan hak interpelasi soal SK Wapres oleh lima belas anggota DPR sudah dibacakan dalam sidang paripurna. Artinya, Presiden Yudhoyono harus menjawab pertanyaan para wakil rakyat. Sebab, SK Wapres itu dinilai bertentangan dengan Tap MPR III/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan serta UU 10/2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan.
"Kami ingin mendapatkan penjelasan menyeluruh dan memberikan ide yang lebih bagus untuk memulihkan Aceh tanpa harus melanggar hukum," kata Nursyahbani Katjasungkana, anggota DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa dalam Topik Minggu Ini yang ditayangkan SCTV, Rabu malam.

Hary Azhar Azis, anggota DPR dari Fraksi Partai Golongan Karya, berpendapat presiden dan wapres dipilih oleh 65 juta lebih rakyat Indonesia dalam satu paket. Keputusan yang diambil presiden dan wapres tidak bisa dipisahkan. Karena itu, persoalan yang diangkat sejumlah anggota DPR itu dianggap semata teknis hukum dan akan didukung. Sebaliknya, dia khawatir masalah ini diangkat dengan agenda tersembunyi.

Nursyahbani tak mau terang-terangan mengatakan ada persaingan antara Yudhoyono dan Kalla. Tapi, pengacara ini melihat ada perbedaan karakter yang menonjol antara presiden dan wapres. "Yang satu nggak sabaran, gregetan, yang satu kalem," kata Nursyahbani. Sedangkan Hary melihat, SK ini justru keluar karena Kalla yang memang lincah ingin menyelesaikan persoalan di Aceh dengan lebih cepat. Tapi, kata Nursyahbani, bencana di Aceh bukan alasan untuk melanggar UU.

SK Wapres ini juga menimbulkan perbedaan pendapat antara pembantu presiden dan juru bicara presiden. Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra menegaskan SK itu keliru dan bukan produk Sekretariat Negara. Jubir Presiden Andi Alifian Mallarangeng mengatakan SK itu tidak salah. Dia malah menunjuk Sekretaris Wapres Prijono Tjiptoherijanto sebagai orang yang bersalah karena membuat SK dalam kop wapres.

Saling lempar kesalahan ini menunjukkan bahwa koordinasi dalam Kabinet Indonesia Bersatu lemah. Ini juga terlihat pada penanganan bencana di Aceh dan Sumut. Tiga menteri yang ditunjuk berkantor di Serambi Mekah juga bekerja penuh persaingan. Sementara persoalan di Aceh tidak menunjukkan perubahan berarti tiga minggu pascagempa dan Tsunami yang menelan 160 ribu orang.

Ratna Sarumpaet, relawan yang baru kembali dari Aceh mengaku gondok melihat kerja orang-orang pemerintah yang berantakan. Instansi pemerintah di wilayah gempa tampak tidak tanggap dan tak terkoordinasi dengan baik. Akibatnya, di beberapa wilayah kebanjiran bantuan makanan misalnya, dan di kamp-kamp lain nyaris tidak tersentuh bantuan. "Dari awal sistemnya memang sudah tidak betul," kata Ratna.

Ratna mencontohkan, untuk mendapatkan mi instan, misalnya, mereka harus mendapat surat dari Departemen Sosial. Namun, mereka tidak bisa langsung mendapatkan barang yang dibutuhkan tapi harus mengambil ke gudang di wilayah lain. Padahal, Depsos memiliki gudang sendiri. Gawatnya lagi, barang yang diberikan kerap tidak sesuai dengan jumlah tertera di surat Depsos itu. "Ini salah satu contoh betapa berantakannya birokrasi di sana," kata Ratna.

Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil mengakui masih banyak kelemahan dalam menanggulangi gempa di Aceh dan Sumut. Namun, dia juga memaklumi ini karena persoalan di Aceh begitu kompleks. "Sudah dikeroyok orang, banyak masalah tidak selesai," kata Sofyan.

Ratna mengatakan, itu terjadi karena birokrasi yang berbelit-belit. Dia berharap pemerintah memiliki skema yang jelas tentang penyaluran bantuan sehingga para donatur tahu bantuan mereka sampai ke para korban. Semua itu harus tercatat jelas: siapa memberi apa kepada siapa, harus diambil di mana, berapa jumlahnya, dan sebagainya.

Yang juga penting, kata Ratna, pemerintah perlu merancangkan program jangka panjang, bukan menonjolkan pada masa darurat saja. Masyarakat madani juga perlu dilibatkan dalam pembangunan kembali Aceh sehingga tidak hanya ditekankan pada pembangunan gedung dan bangunan. Ratna juga berharap Sofyan sebagai Menteri Komunikasi minimal seminggu sekali melalui media melaporkan perkembangan dan kelemahan dalam penanggulangan bencana. Termasuk menginformasikan lokasi pegambilan bantuan sehingga para relawan dan pengungsi tidak perlu dipingpong untuk mendapatkan kebutuhan mereka.

Ratna yang tak mau pusing dengan pertentangan politik menambahkan, komunikasi dan koordinasi di lapangan yang lebih penting dari kunjungan para pejabat. Sofyan setuju. Dia berharap pembentukan Badan Otoritas Khusus akan membantu tugas Bakornas untuk membangun kembali Aceh. Dia menegaskan, aparat pemerintah di Aceh mengevaluasi persoalan setiap hari. Sedangkan pemerintah pusat mengevaluasi setiap dua hari sekali. "Setiap laporan kelemahan langsung direspons," kata Sofyan.

Bencana di Aceh adalah kesempatan bagi semua pihak, terutama pemerintah, untuk mengurusi bencana dan rakyat secara benar. Pemerintah harus menjadi satu-satunya pintu yang didatangi tenaga-tenaga di lapangan untuk menuntaskan tugas mereka. Jangan sampai ketidakharmonisan para elite dan birokrat menjadi "Tsunami" baru yang justru membuat Aceh kian terpuruk.(TNA/Tim Liputan 6 SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.