Sukses

Pembelaan Panjang Usman dan Harun di Pengadilan Singapura

Harun bersumpah bahwa dirinya dan Usman mengenakan seragam militer saat diselamatkan nelayan dari laut.

Serda Usman dan Kopral Harun tak bisa lolos dari hukuman gantung di Singapura pada 17 Oktober 1968. Keduanya dinyatakan terbukti bersalah mengebom MacDonald House di Orchad Road pada 10 Maret 1965.

Pada 20 Oktober 1965, Singapura mengadili tentara Korps Komando Operasi (KKO-sekarang Marinir) di Pengadilan Tinggi sesuai dengan ketentuan darurat atau Pengadilan Kriminal pada 1964. Usman dan Harun dituduh membunuh 3 warga sipil dengan menaruh bom di bangunan bank itu. Mereka didakwa di bawah Pengadilan Pidana.

Usman dan Harun tidak mau diadili di bawah Pengadilan Pidana. Mereka minta diperlakukan sebagai tawanan perang sebagaimana diatur Konvensi Jenewa 1949, sebab mereka melakukan pengeboman itu atas perintah negara yang sedang berkonfrontasi dengan Singapura. Federasi Malaysia--di dalamnya Singapura--telah meratifikasi konvensi ini pada 1962.

Seperti dikutip Liputan6.com dari dokumen yang diunggah Asser Institute--lembaga penelitian ilmiah dan penddidikan Belanda, Kamis (13/2/2014), untuk 'membela diri', Harun mengajukan bukti bahwa dirinya adalah anggota tentara reguler KKO dengan pangkat kopral.

Harun bersumpah bahwa dirinya dan Usman mengenakan seragam militer saat diselamatkan nelayan dari laut. Harun juga mengaku segala identitas yang ditempatkan di plastik hilang saat sampan yang mereka gunakan tenggelam.

Namun, nahas bagi Usman dan Harun. Hakim tidak menuruti permohonan mereka. Menurut hakim, berdasarkan keterangan nelayan yang menolong Usman dan Harun, keduanya tidak mengenakan seragam militer. Selain itu, saat ditolong itu Usman dan Harun mengaku sebagai petani dan nelayan.

Chua J yang menjadi hakim di Pengadilan Kriminal menyatakan pengeboman yang dilakukan oleh Usman dan Harun tidak ada hubungannya sama sekali dengan perang.

"Bagi kami ini jelas tanpa keraguan bahwa di bawah Hukum Internasional seorang anggota angkatan bersenjata dari pihak-pihak yang berkonflik, terlepas dalam pakaian seragam atau sipil, melakukan peledakan di wilayah lawan di bangunan non-militer di mana kalangan sipil bekerja tidak ada hubungannya dengan perang kehilangan haknya untuk diperlakukan sebagai tawanan perang," tulis laporan berjudul 'Bin Haji Mohamed Ali and Another v. Public Prosecutor' itu.

Pada 6 Juni 1966 Usman dan Harun banding ke Federal Court of Malaysia. Wee Chong Jin C.J., Tan Ah Tah, dan Ambrose JJ menjadi hakimnya. Namun, melalui putusan 5 Oktober 1966, Federal Court of Malaysia  menolak banding Usman dan Harun dengan alasan yang sama.

Pada 17 Februari 1967 kasus ini dibawa ke Privy Council, London. Empat pembela disiapkan Indonesia, mereka adalah Barga dari Singapura, Noel Benyamin dari Malaysia, Mochtar Kusumaatmadja SH dari Indonesia, dan Letkol Gani Djemat Atase ALRI di Singapura. Namun usaha mereka gagal menyelamatkan Usman Harun.

Dalam pertimbangan Privy Council, keanggotaan Usman dan Harun sebagai KKO Indonesia, sebagaimana diklaim oleh pemerintah Indonesia, tidak dipertimbangkan lagi. Sebab, keduanya beraksi melakukan pengeboman di tempat warga sipil. Selain itu keduanya juga melakukan aksi itu dengan berpakaian sipil. Sehingga mereka kehilangan hak untuk diperlakukan sebagai tawanan perang. "Untuk alasan itu, opini pemerintah mereka terhadap pemohon (Usman dan Harun) harus ditolak."

Gagal sampai di Privy Council, permohonan grasi ke Presiden Singapura Yusuf bin Ishak pun dilakukan pada 1 Juni 1968. Pada 4 Mei 1968 Menlu Adam Malik melalui Menlu Singapura membantu usaha KBRI. Tapi tetap juga gagal. Pada 9 Oktober 1968 diumumkan bahwa permohonan grasi Usman dan Harun ditolak.

Pada 15 Oktober 1968 Presiden Soeharto bahkan mengirim utusan pribadi Brigjen TNI Tjokropanolo ke Singapura untuk menyelamatkan keduanya. Bahkan PM Malaysia Tuanku Abdul Rahman saat itu meminta Pemerintah Singapura mengabulkan permintaan Indonesia. Tapi tetap saja gagal. Usman dan Harun pun dieksekusi pada 17 Oktober 1968. (Eks/Yus)

Baca juga:
Senjata-senjata Canggih di KRI Usman Harun
Sejarah Usman Harun Tak Ada di Buku Pelajaran Sekolah
Lemhannas: Protes KRI Usman-Harun Upaya Singapura Alihkan Isu

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.