Sukses

Komisi I DPR Tampung Masukan Terkait Kontroversi Draf RUU Penyiaran

Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran terbaru menuai polemik lantaran dinilai berbagai pihak memberangus kebebasan pers.

Liputan6.com, Jakarta - Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran terbaru menuai polemik lantaran dinilai berbagai pihak memberangus kebebasan pers. Salah satunya mengenai Pasal 50 B ayat 2 huruf C pada draf revisi UU Penyiaran yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi.

Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi I DPR Dave Laksono menyatakan keberatan dari publik akan menjadi masukan DPR.

"Apa yang menjadi ketakutan rekan-rekan ini akan menjadi masukan sehingga kita bisa menyempurnakan undang-undang dan bisa melayani dan melindungi masyarakat secara umum," kata Dave Laksono, Senin (13/5/2024).

Dave menyebut pemerintah tak ingin menghalangi kebebasan pers ataupun berpendapat masyarakat.

"Tidak ada sedikitpun dari pemerintahan Jokowi ataupun pemerintahan nantinya presiden Prabowo dan DPR akan memberangus hak-hak masyarakat dan kebebasan berpendapat apalagi informasi kepada masyarakat," kata dia.

Politikus Golkar itu menilai justru media harus terus mengawal kebijakan pemerintah. "Justru media harus mengawal setiap kebijakan pemerintah agar tepat sasaran dan tidak ada penyelewenangan sedikit pun," pungkas Dave.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

AJI Indonesia Tolak RUU Penyiaran

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menolak revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran, yang saat ini sedang bergulir di DPR RI.

"AJI menolak. Pasal-pasalnya banyak bermasalah. Jadi kalau dipaksakan akan menimbulkan masalah," kata Pengurus Nasional AJI Indonesia Bayu Wardhana di Jakarta, Rabu 24 April 2024, seperti dikutip dari Antara.

Dia pun menyarankan jika UU itu harus direvisi, sebaiknya dilakukan oleh anggota DPR periode selanjutnya, bukan mereka yang di periode saat ini. Alasannya, dengan waktu yang tinggal beberapa bulan lagi, serta masih dibutuhkan pembahasan yang lebih mendalam.

Bayu mencontohkan beberapa pasal yang dianggap dapat menghambat kebebasan pers di Indonesia, diantaranya pasal 56 ayat 2 poin c, yakni larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

"Pasal ini membingungkan. Mengapa ada larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi? Tersirat ini membatasi agar karya jurnalistik investigasi tidak boleh ditayangkan di penyiaran. Sebuah upaya pembungkaman pers sangat nyata," ungkapnya.

Bahkan, kata dia, peluang tumpang tindih kewenangan dalam penyelesaian sengketa jurnalistik antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Dewan Pers . Hal itu ada dalam pasal 25 ayat q yakni menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran dan pasal 127 ayat 2, di mana penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

"Padahal selama ini kasus sengketa jurnalistik di penyiaran selalu ditangani oleh Dewan Pers. Draf RUU Penyiaran mempunyai tujuan mengambil alih wewenang Dewan Pers dan akan membuat rumit sengketa jurnalistik," tegas dia.

Bayu meminta pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers, harus dihapus dari draf RUU itu. Menurut dia, jika hendak mengatur karya jurnalistik di penyiaran, sebaiknya merujuk pada UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

"Bahkan, pada konsideran draf RUU Penyiaran, sama sekali tidak mencantumkan UU Pers," ujarnya.

Sebelumnya, Komisi I telah mengirimkan draf RUU Penyiaran kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR, untuk dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi. Selanjutnya, jika disetujui, RUU itu akan dibawa ke rapat paripurna DPR untuk ditetapkan menjadi RUU usul inisiatif DPR RI.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini