Sukses

HEADLINE: Vonis Berat Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi, Sudah Adilkah?

Mantan Kadiv Propram Polri itu terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap anak buahnya, Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Liputan6.com, Jakarta Sambil berdiri menatap lurus ke hadapan Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) Wahyu Iman Santoso, Ferdy Sambo mendengarkan vonis yang dibacakan untuk dirinya.

"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut dengan pidana mati," kata Wahyu di ruang persidangan PN Jaksel, Senin (13/2/2023).

Mantan Kadiv Propram Polri itu terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap anak buahnya, Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Sontak pengunjung PN Jaksel riuh bersorak saat mendengarkan kalimat yang diucap majelis hakim. Wahyu tak memedulikan suara gemuruh pengunjung dan tetap melanjutkan membacakan amar putusan sampai akhir.

Tak lama setelah Wahyu menutup sidang, Ferdy Sambo langsung menghampiri penasihat hukumnya. Tampak, Sambo membicarakan sejumlah hal dengan tim penasihat hukumnya yakni Arman Hanis dan Rasamala Aritonang. Ekspresi mantan jenderal bintang dua Polri ini tampak datar.

Beberapa menit kemudian, Ferdy Sambo langsung keluar ruang sidang. Dia mendapatkan pengawalan ketat dari petugas kepolisian yang sudah berjaga sejak tadi pagi.

Awak media menyemut menunggu kehadiran Ferdy Sambo. Namun, dari sejumlah pertanyaan yang diberondong tak satupun dijawab. Ferdy Sambo langsung berjalan menuju ke ruang tahanan.

Seperti Ferdy pun, Putri Candrawathi juga mendapatkan hukuman berat. Ia divonis 20 tahun penjara atau 12 tahun lebih lama dari tuntutannya. Pengunjung pun juga bersorak mendengar putusan tersebut.

Di sisi lain, mendengar vonis hakim, Ibunda dan kakak perempuan Brigadir J tak kuasa menahan haru.

Bahkan, air mata tumpah usai mendengar otak pembunuhan putranya itu dihukum mati. Mereka berdua saling berpelukan dan tak henti-hentinya mengucap rasa syukur.

Ibu dari Brigadir J, Rosti Simanjuntak menyebut, vonis mati terhadap Ferdy Sambo sudah sesuai dengan harapan keluarga.

"Sesusai dengan harapan kami, dan doa kami kepada Tuhan setiap saat," kata Rosti.

Saat mendengar vonis Putri pun, dia juga histeris. "Putri. Ini Yosua yang kau bunuh. Derita anakku itu! Mana ajudan yang terbaik itu? Putri!" teriak Rosti sambil memeluk erat foto Brigadir J," katanya.

Mendengar gemuruh ruang sidang, Putri tidak bergeming. Teriakan Rosti yang tidak sampai 3 meter di belakangnya pun disikapi dengan gaya berdiri tegap.

Putri tidak sekali pun menoleh ke belakang, kecuali untuk pergi meninggalkan ruang sidang usai mendengar vonis.

Pengacara keluarga Brigadir J, Kamaruddin Simanjuntak, menyebut Majelis Hakim sudah bersikap independen selama menggelar sidang perkara pembunuhan Brigadir J.

"Saya melihat Majelis Hakim, dia begitu bersemangat, dia indepen, benar-benar wakil tuhan. Putusan Majelis Hakim ini adalah kemenangan bagi seluruh rakyat Indonesia," kata Kamaruddin.

Pengacara Ferdy Sambo, Arman Hanis mengaku hormat dengan keputusan Majelis Hakim yang memvonis kliennya dengan hukuman mati.

Meski begitu, seluruh pertimbangan yang disampaikan sebelum vonis dibacakan, menurut Arman hanya berdasarkan asumsi dan bukan fakta persidangan.

"Pada intinya kami melihat apa yang disampaikan apa yang dipertimbangkan majelis hakim ini menurut kami, kami hormati, tapi menurut kami hal itu tidak berdasarkan fakta persidangan, hanya berdasarkan asumsi," jelas Arman di PN Jaksel, Senin (13/2/2023).

Soal langkah hukum selanjutnya, yaitu membanding putusan hukuman mati, Arman masih belum banyak berkomentar dan meminta waktu. "Nanti saja (banding)," kata dia.

Arman juga mengaku, kedua kliennya merasa kecewa dengan putusan majelis hakim.

"Kalau tanggapan klien saya pasti lah ya kecewa. Khususnya ibu Putri, korban dihukum seberat itu," pungkasnya. 

 

 

Mencari Jalan Tengahnya

Kriminologi dari Universitas Indonesia Muhammad Mustofa mengatakan, tentu saja vonis hakim tersebut seusai harapan publik. Namun, dari kacamatanya tidak memberikan manfaat.

"Baik untuk menakut-nakuti orang yang belum melanggar, dan tidak memberi kesempatan terpidana memperbaiki diri. Ketentuan KUHP baru (UU No 1 Tahun 2023) lebih bijak. Hukuman mati yang dijatuhkan bersifat sementara. Dalam jangka waktu tertentu bila terpidana menunjukkan perilaku yang responsif, hukuman dapat diubah menjadi seumur hidup. UUD mengakui hak hidup," kata dia kepada Liputan6.com, Senin (13/2/2023).

Dia menuturkan, keadilan dari vonis itu relatif. Sementara, dalam pemikiran krimonologi secara filosofisnya tidak tepat apabila kekerasan dibalas dengan kekerasan.

"Ini berarti bahwa pemutus pembalasan hakikatnya menjadi sama dengan pelaku kekerasan. Yang dipromosikan adalah perdamaian/peacemaking denan usaha untuk membuat pelaku menjadi orang yang responsif. Tidak hanya mengedepankan kepentingan pribadi," tutur Mustofa.

Dia pun mencontohkan pengalaman Nelson Mandela, saat menghadapi politik apartheid. "Orang Afrika Selatan ketika terbebas dari politik apartheid yang rasialis, Nelson Mandela yang pernah menjadi korban pelanggaran berat HAM, ketika menjadi Presiden tidak balas dendam terhadap orang kulit putih yang menganiayanya, tetapi justru membangun Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi, dan ini fungsional," jelas dia.

Senada, Pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakkir mengatakan, jika Ferdy Sambo tidak melakukan upaya hukum lainnya, maka bisa saja yang bersangkutan langsung dieksekusi.

"Kalau Pak Ferdy Sambo itu banding, berarti akan ada pemeriksaan lagi pada tingkat banding. Kalau misalnya masih bertahan (mendapat) di mati, berarti bisa kasasi," jelas dia kepada Liputan6.com, Senin (13/2/2023).

Dia menjelaskan, secara prinsip agak susah jika nantinya UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) bisa diterapkan kepadanya.

Diketahui dalam Pasal 100 ayat 1 disebutkan; Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan:

a. rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau

b. peran terdakwa dalam Tindak Pidana.

Lalu di ayat 2 disebutkan; Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.

Ayat 3 berbunyi; Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) Hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

dan ayat 4 yakni; Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.

"Ya secara prinsip tidak bisa, mengingat dampak dari kejahatan yang dilakukan mempengaruhi publik yang luar biasa begitu. Kalau di dalam hukum KUHP baru itu kan 10 tahun enggak dieksekusi. Kalau ini dampaknya begitu mungkin sebelum 10 tahun bisa dieksekusi," ungkap Mudzakkir.

"10 tahun enggak dieksekusi jaksa tidak serius begitu ya. Kalau kelakuan dia (Sambo) baik diturunkan menjadi pidana seumur hidup. Kalau pendapat saya bahwa karena dampaknya sidang dan pemberitaan yang luar biasa seperti itu ada kemungkinan sebelum 10 tahun sudah dieksekusi," sambungnya.

Sementara, Peneliti ASA Indonesia Institute, Reza Indragiri Amriel menuturkan, hukuman berat yang harus dijalani keduanya, bukan tak berkesudahan.

"Kelak, sangat mungkin keluarga Yosua akan mengajukan gugatan perdata ganti rugi terhadap FS dan PC. Ganti rugi atas segala kebohongan dan pembunuhan karakter terhadap Yosua," kata dia kepada Liputan6.com, Senin (13/2/2023).

Reza juga meminta pihak rutan perlu menjaga ekstra Ferdy Sambo bersama istrinya pasca putusan.

"Mengacu studi, tingkat bunuh diri di rutan lebih tinggi daripada di lapas. Penyebabnya adalah tersangka atau terdakwa mengalami shocked. Terguncang jiwanya. Jaga FS dan PC agar tidak melakukan perbuatan yang bisa berakibat fatal bagi hidup mereka sendiri," pungkasnya.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Dibela, Dianggap Putusan Terbaik

Kapuspenkum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana menyatakan pihaknya mengapresiasi Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) yang memvonis mati mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo.

"Kejaksaan mengapresiasi putusan yang dikeluarkan oleh majelis yang telah mengambil alih seluruh pertimbangan hukum, fakta hukum yang tercantum dalam surat tuntutan," ujar Ketut dalam keterangannya, Senin (13/2/2023).

Ketut menyebut untuk saat ini pihaknya belum memutuskan apakah sepakat dengan keputusan tersebut. Namun yang jelas, menurut Ketut pihaknya berterimakasih lantaran hakim memvonis jauh lebih tinggi dari tuntutan yang dilayangkan pihaknya.

"Ya kalau kita beli 5 dikasih 10 gitu, kita kan senang. Jadi kita masih menunggu upaya-upaya berikutnya dari terdakwa. Kita lihat perkembangannya," kata dia.

Sementara, Menko Polhukam Mahfud Md mengatakan, sejak jalannya persidangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pembuktiannya memang nyaris sempurna. Bahkan, menurut dia, peristiwa pembunuhan tersebut sungguh kejam.

Mahfud Md juga melihat para majelis hakim bagus, independen dan tanpa beban. Sehingga, vonis hukuman mati dinilainya memenuhi harapan publik.

"Peristiwanya memang pembunuhan berencana yang kejam. Pembuktian oleh jaksa penuntut umum memang nyaris sempurna. Para pembelanya lelbih banyak mendramatisasi fakta. Hakimnya bagus, independen, dan tanpa beban. Makanya vonisnya juga memenuhi harapan publik. Sambo dijatuhi hukuman mati," kata dia kepada Liputan6.com, Senin (13/2/2023).

Sementara, Ketua Komnas HAM RI Atnike Nova Sigiro mengatakan, pihaknya menghormati proses dan putusan hukum yang telah diambil oleh hakim, dan memandang bahwa tidak seorangpun yang berada di atas hukum.

"Kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa Ferdy Sambo merupakan kejahatan yang serius. Menurut putusan hakim, selain terbukti melakukan perencanaan pembunuhan, Ferdy Sambo telah melakukan obstruction of justice (penghalangan atas keadilan/perintangan penyidikan). Terlebih dengan menggunakan kewenangannya sebagai aparat penegak hukum," jelas dia dalam keterangannya, Senin (13/2/2023).

Dia menegaskan, Komnas HAM turut merasakan duka dan kehilangan yang dirasakan oleh keluarga korban almarhum Nofriansyah Yosua Hutabarat.

"Meski hak hidup termasuk ke dalam hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights), namun hukum Indonesia masih menerapkan pidanahukuman mati. Komnas HAM mencatat bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, hukuman mati bukan lagi menjadi hukuman pidana pokok, danberharap agar penerapan hukuman mati ke depan dapat dihapuskan," pungkasnya.

 

 

 

3 dari 3 halaman

Mendengarkan Aspirasi

Anggota Komisi III DPR Trimedya Pandjaitan menyatakan hakim mendengarkan aspirasi masyarakat dan memberikan rasa keadilan ke masyarakat termasuk keluarga korban.

"Kita menghormati Keputusan majelis hakim bagi saya keputusan hakim mendengar aspirasi dari masyarakat dan rasa keadilan dari masyarakat," kata dia saat dikonfirmasi, Senin (13/2/2023).

Meski demikian Trimedya mengaku tidak sepakat dengan vonis mati dalam kasus apapun, ia lebih sepakat vonis seumur hidup bagi Sambo.

"Saya bukan penganut hukuman mati karena bagi saya hukuman mati itu bagi saya hanya Tuhan yang bisa cabut nyawa seseorang. Mahzab orang beda-beda ada yang setuju ada yang gak setuju hukuman mati," kata dia.

"Tapi apapun itu, kita berharap ini bagus bagi keluarga korban dan korban Yosua," sambungnya.

Politikus PDIP ini berharap hukuman bagi terdakwa lain juga ikut naik seperti vonis Sambo. Namun, khusus bagi Eliezer ia berharap hukuman turun.

"Kalau Sambo tuntutannya dari seumur hidup ke hukuman mati, mudah-mudahan yang lainnya juga hukumannya naik ya. Istrinya PC, Kuat, kecuali Eliezer ya semoga turun," kata dia.

Trimedia menuturkan, putusan Majelis Hakim PN Jaksel kali ini mulai membuktikan wajah peradilan Indonesia membaik.

"Tentu ini sesuatu yang baikc apalagi kan selama ini kita Mengetahui pengadilan negeri Jakarta Selatan keputusannya banyak kontroversi. Iya ini saya mengembalikan rasa percaya masyarakat dan kita mengapresiasi," jelasnya.

"Yang kita tunggu hukuman yang lain, dan kita tunggu keberaniannya untuk memberikan hukuman seringan ringannya kepada yang Eliezer," kata dia.

Sementara, Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menyebut, putusan majelis hakim PN Jaksel masih dalam kerangka pemidanaan untuk pembunuhan berencana vide Pasal 340 KUHP.

"Jadi itu hal tidak menyimpang, namun FS punya hak hukum untuk ajukan banding. Putusan itu sesuai dengan pelanggaran pasal yang didakwakan yakni pembunuhan berencana vide pasal 240 KUHP,” kata dia.

Menurutnya, vonis mati Sambo memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban. "Paling tidak keadilan buat keluarga Brigadir Joshua," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.