Sukses

HEADLINE: Peregangan Pulau Jawa dengan Sumatera, Potensi Gempa Besar?

Peregangan Pulau Jawa dengan Sumatera semakin membesar. Fenomena alam ini disebut berpotensi memunculkan gempa. Apa kata para pakar kegempaan dan ahli vulkanologi?

Liputan6.com, Jakarta - Fenomena alam peregangan Pulau Jawa dengan Sumatera menjadi perhatian Pakar kegempaan Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwan Meilano. Menurutnya, regangan ini akan memungkinkan adanya implikasi terhadap aktivitas tektonik terkait sesar dan vulkanik di Selat Sunda.

Irwan mengungkapkan, survei yang dilakukan sejak 2006-2012 menunjukkan adanya regangan di Selat Sunda dan survei selanjutnya, 2012-2019 memperlihatkan regangan semakin besar.

"Artinya, begitu dekat dengan Selat Sunda kemungkinan gempa terjadi adalah gempa-tsunami," katanya.

Namun menurut Pengamat Vulkanologi, Surono, peregangan Pulau Jawa dengan Sumatera merupakan fenomena alam yang biasa saja. Dia menegaskan, kejadian ini akibat adanya subduksi di Selat Sunda.

"Ada subduksi, enggak aneh juga. Sama sekali alam itu tidak ada yang aneh. Subduksi, didorong oleh Benua Jawa bagian selatan ke arah selatan. kemudian bagian Sumatera didorong ke arah timur dengan kecepatan yang masing-masing berbeda. Sentimeter lah per tahun," ujar dia kepada Liputan6.com, Senin (24/1/2022).

Mbah Rono, begitu ia disapa, ini menambahkan, peristiwa alam tersebut sudah terjadi sejak jutaan tahun lalu. Bahkan pergerakan tersebut juga berlaku pada pulau-pulau di Indonesia lainnya.

"Dari dulu, dari jutaan tahun lalu seperti itu. Bahwa pergerakan Pulau Sumatera dari dulu, semua kepulauan Indonesia bergerak juga," ujar dia.

Mbah Rono ini mengungkapkan, pergerakan pulau Jawa yang merenggang dengan Sumatera terjadi akibat adanya dorongan imbas adanya gempa. Baik itu gempa berskala besar maupun kecil.

"Memang sudah pernah terjadi (gempa) dan pasti terjadi lagi, entah kapan, gitu aja. Ya kan ada subduksi, ada dorongan dari Selatan Jawa ke arah utara, dari sebelah barat Sumatera ke arah timur. Itu ada sejak jutaan tahun lalu, sampai sekarang dan masih akan ada lagi selama bumi ini belum kiamat," dia menegaskan.

Karena itu, Mbah Rono meminta masyarakat untuk tidak menanggapinya secara berlebihan. Karena sekali lagi, hal tersebut adalah fenomena alam yang sudah terjadi sejak jutaan tahun lalu.

"Mau berpisahnya itu berapa kilometer dan berapa juta tahun yang akan datang. Jadi nggak ujuk-ujuk tiga bulan lagi Pulau Sumatera dan Jawa berpisah jauh, nggak. Bukan besok akan terjadi. Kalau enggak begitu, Indonesia tidak punya mineral, migas, enggak punya batu bara dan sebagainya," beber dia.

Mantan kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) ini juga mengungkapkan, bahwa aktivitas Gunung Anak Krakatau akan terus terjadi lantaran adanya kompleksitas tektonik di Selat Sunda. Aktivitas itu pernah terjadi pada Sabtu malam, 22 Desember 2018 lalu.

Saat itu, kepundan Anak Gunung Krakatau seluas 64 hektare longsor dan menghempas laut sehingga mengakibatkan tsunami di Banten dan Lampung Selatan.

"Bahwa sekarang akan meletus terus meletus terus kan harus seperti itu gunung api muda. Supaya dia besar, dia tinggi dibangun dari letusannya. Bukan tumbuh kayak kecambah, dibiarkan tinggi," kata dia.

"Gunung tinggi harus meletus, supaya material letusannya jatuh di sekitarnya," Mbah Rono mengimbuhkan.

Hal yang sama disampaikan Geolog Simon Winchester. Dalam bukunya Krakatau, Ketika Dunia Meledak 27 Agustus 1883, dia menulis, bahwa proses kembalinya petaka letusan Gunung Krakatau 1883 masih berpotensi terjadi selama proses subduksi atau penunjaman lempeng terus terjadi. Karena semasa itu pula, kata dia, energi dan magma yang dipasok ke Krakatau masih akan terus terkumpul.

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Sementara itu, peneliti gempa dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Endra Gunawan menilai bahwa peregangan Pulau Jawa dan Sumatera adalah peristiwa alam dengan durasi yang lama. Bahkan durasinya sekitar jutaan tahun.

"Kita harus melihat usia dan waktu geologi dengan waktu kita sekarang. Jadi kalau bergerak menjauh, durasinya million years. Kalau misalkan tiba tiba menjadi bentukan yang berbeda gitu ya, rate-nya itu senti. 5-6 senti per tahun, lempeng austalia menghunjam ke blok Sunda. Jadi sebenarnya kalau kita berbicara time screen, ya memang kita tidak merasakan pergerakan-pergerakan itu," ujar dia kepada Liputan6.com, Senin (24/1/2022).

Dia mengungkapkan, sejarah geologi sejak dulu merupakan berbentuk satu daratan. Kemudian daratan itu terpisah hingga beberapa bagian akibat dari adanya fenomena alam.

"Ada pergerakan lempeng bumi, kemudian menyatu dan segala macam, proses deformasi. Akhirnya menjadi saat ini kita hidup," ujar dia.

Endra mengungkapkan, kondisi berbeda yang terjadi di India dan Himalaya antara yang dulu dengan sekarang. Menurutnya, ada pergeseran dataran India sehingga menyebabkan terjadinya perubahan posisi dua wilayah tersebut.

"Saat ini, itu India ada Himalaya di atasnya. Itu kan India dulu di selatan sebenarnya. Million years ago. Dia bergerak ke utara maka terbentuklah Himalaya itu. Karena tabrakan itu," ujar dia.

"Jadi sekarang kalau kita berbicara isu Sumatera Jawa, ya kita bicara million years. Itu nothing impact ke kita sekarang," dia mengimbuhkan.

Endra menilai tak ada pengaruh antara peregangan dua pulau itu dengan potensi gempa besar di Selat Sunda. Karena menurut dia, dua hal itu memiliki kriteria berbeda.

"Beda. Kalau pergerakan gempa itu bukan tentang pergerakan Sumatera dan Jawanya. tetapi lempengnya yang saling bertemu. Tempat gempanya itu di zona pertemuannya itu. Kalau gempa di Selatan Jawa dan Barat atau Barat Laut Sumatera itu karena proses salah satunya subduksi yang terjadi," kata dia.

"Kalau misalkan dua bidang bertabrakan, bertemu saling mengunci, ada pergerakan kedua bidang yang berbeda. Nah itu yang di lempeng India di Barat Sumatera atau lempeng Australia di selatan Jawa dengan lempang Euro-Asia atau blok sunda, kita ini blok Sunda (Kalimantan, Jawa, Sumatera). Kaitannya di situ kalau gempa," Endra menerangkan.

Sebenarnya, lanjut dia, isu yang menarik diangkat adalah terkait dengan posisi Australia yang bergerak ke atas, ke arah utara.

"Makanya dulu ada opini yang saya ikuti, waktu saya masih mahasiswa, opini bahwa kalau Timor Timor merdeka, Australia seneng. Karena landas kontinennya akan nambah. Indonesia ilang kan," ujar dia.

Selanjutnya terkait dengan aktivitas Gunung Anak Krakatau, dia menyebut sangat aktif. Hal itu terlihat dari data satelit.

"Kan memang salah satu keaktifan dari wilayah salah satunya Anak Krakatau. Gunung aktif ada pressure dari bawah, yang kemudian membentuk tekanan. Jadi memang itu fenomena Anak Krakatau," ujar dia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

'Jimat' Selamat dari Bencana

Pakar Gempa Jojo Rahardjo yang merupakan peneliti dari Tim Ekspedisi Sesar Palu-Koro mengungkapkan, peregangan Pulau Jawa dengan Sumatera sudah diketahui oleh para ahli geologi beberapa tahun terakhir. Fenomena alam ini bukan berarti baru terjadi.

"Sebenarnya sudah sejak lama. Itu kan pergerakan lempeng tektonik yang memang terus terjadi dia memang menjauh," kata dia kepada Liputan6.com, Senin (24/1/2022).

Dia mengungkapkan, gempa-gempa yang terjadi di Selat Sunda dan Laut Selatan Pulau Jawa bukan karena peregangan tersebut. Gempa ini muncul akibat adanya subduksi.

"Artinya ada dua lempeng tektonik yang bertumbukan terus, salah satu di bawah, salah satu di atas. karenanya disebut subduksi," terang Jojo.

Subduksi tektonik itu, dia mengimbuhkan, memang menyebabkan gempa-gempa besar di wilayah tersebut. Karena itu terjadi peregangan Jawa dan Sumatera yang saling menjauh.

"Jadi bukan peregangan yang buat gempa, tapi subduksi itu mengakibatkan adanya gempa dan peregangan, itu efeknya," dia menjelaskan.

Terkait dengan gempa besar, Jojo mengungkapkan bisa saja terjadi jika sudah mencapai siklusnya selama 100 tahun. Dan saat ini, disebutnya telah masuk siklus tersebut lantaran Selat Sunda sebelumnya pernah diguncang gempa hebat bermagnitudo 8 pada 1908.

"Gempa besar itu siklusnya 100 tahun biasanya. 100 tahun lalu, saya persisnya lupa tapi bisa dicek di badan Geologi memang ada gempa besar di situ," ujarnya.

Kendati saat ini merupakan siklus terjadinya gempa besar, namun dirinya tidak dapat memastikan kapan persisnya peristiwa gempa tersebut akan terjadi.

"Dan sekarang tahun-tahun ada gempa besar lagi sesuai siklusnya dan tapi enggak bisa dipastikan kapan pastinya, tapi siklusnya tahun-tahun ini. Seperti di Sulteng kemarin begitu, di Aceh juga sudah diramalkan siklusnya," kata Jojo.

"Jadi sekarang lah siklusnya yang akan ada gempa besar di Jabar. BMKG bilang bisa sampai 9 SR. Itu membuat kita harusnya punya mitigasi terukur," dia mengimbuhkan.

Dia menjelaskan, jika gempa bermaginuto 9 terjadi yang berpusat di Selatan Jawa atau Selat Sunda, DKI Jakarta akan menjadi salah satu wilayah terdampak. Kata ahli geologi, dia menuturkan, wilayah Jakarta tidak stabil karena dulunya ada daerah bekas abu vulkanik sehingga tanahnya melenting.

"Jadi getaran gempa diamplikasi sampai 9 SR di Jakarta. Memang parah Jakarta itu, ahli geologi yang bilang ya, tapi gedung-gedung di Jakarta menurut ahli sudah berstandar antigempa tapi yang jadi kekhawatiran rumah-rumah kecil karena korbannya akan banyak di sana," ujar dia.

Karena itu, Jojo menegaskan, harus ada mitigasi yang tepat dan terukur. Masyarakat harus diberitahukan tentang rumah yang tahan gempa dan edukasi soal dampak gempa bermagnitudo tinggi.

"Bagaimana dampaknya? Jalan-jalan bisa putus, komunikasi juga, lalu bantuan gimana datangnya seperti di Sulteng kemarin. Jadi harus diedukasi masyarakat sehingga tahu harus ada logistik cadangan karena bantuan bisa datang berhari-hari. Kemudian kalau ada gempa sebesar itu, penyakit penyerta juga bisa muncul, diare, kulit. Jadi harus dipersiapkan itu," demikian Jojo.

Sementara itu, Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono menilai gempa megathrust adalah fenomean wajar proses alam. Hal itu terjadi karena tumbukan lempeng Australia dan Asia.

"Kalau kita melihat sejarahnya itu, gempa-gempa dahsyat dari Sumatera sampai Pulau Jawa, Bali, hingga Sumba sudah banyak sekali terjadi. Fenomena megathrust itu jangan dijadikan paranoid dan membuat cemas khawatir berlebihan. Karena kejadian-kejadian seperti itu akan berulang terus," kata dia kepada Liputan6.com, Senin (24/1/2022).

Pemerintah akan terus mengingatkan terkait dengan hal itu. Agar masyarakan dan semua elemen dapat melakukan persiapan dalam menghadapi kemungkinan terburuk dari prediksi bencana ini. Karena, tegas Daryono, gempa megathrust itu tidak diketahui kapan akan terjadi.

"Jangan informasi megathrust itu ditafsirkan sebagai peringatan dini, atau warning. Itu salah, misleading. Ini seolah terjadi minggu depan, tahun depan. (Padahal) Bisa terjadi 50 tahun lagi, 100 tahun lagi, bisa," ujar dia.

Karena itu, ia meminta masyarakat untuk tetap beraktivitas. Mereka yang bermata pencaharian di laut maupun di pantai, hendaknya tidak perlu merasa takut berlebihan.

"Tetaplah beraktivitas di pantai, mencari ikan, berdagang, dan berwisata. Enggak ada masalah. Enggak apa. BMKG enggak tinggal diam kalau ada gempa gempa besar," ujar dia.

Daryono menjelaskan, gempa besar merupakan proses alam. Selama masyakarat dapat mengikuti apa yang harus dilakukan agar dapat selamat dari bencana tersebut.

"Itu harus menjadi bekal ilmu oleh mereka. Itu menjadi pegangan jimat untuk mereka agar bisa selamat. Tapi jimatnya itu pengetahuan. Karena walupun berubungan dengan megathrust, kita bisa tetap aman selamat kok. Ya rumahnya harus strukturnya kuat, pakai besi tulangan jangan asal bangun. Terus tahu cara selamat, ada jalur evakuasi. Ya itu jimatnya, hanya itu supaya masyarakat itu bisa selamat," terang dia.

3 dari 3 halaman

Diungkap Pakar Gempa ITB

Wilayah Selat Sunda mengalami regangan (ekstensi) yang tinggi, yang dapat meningkatkan potensi erupsi Gunung Anak Krakatau. Hal tersebut diungkapkan Pakar kegempaan Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwan Meilano.

"Regangan tektonik yang tinggi ini mempercepat intrusi magmatis dan meningkat potensi letusan Gunung Anak Krakatau," katanya, dalam webinar yang digelar beberapa waktu lalu.

Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB itu juga menyebut, data citra satelit yang diambil pada 2018 menunjukkan bahwa Gunung Anak Krakatau terus mengalami inflasi (penaikan permukaan tanah) hingga saat ini.

Survei yang dilakukan sejak 2006-2012 juga menunjukkan adanya regangan di Selat Sunda dan survei selanjutnya yaitu pada 2012-2019 memperlihatkan regangan semakin besar.

Regangan tersebut menyebabkan jarak antara Pulau Sumatera dan Pulau Jawa semakin jauh dan kemungkinan adanya implikasi terhadap aktivitas tektonik terkait sesar dan vulkanik di Selat Sunda.

Implikasi dari regangan tektonik, dari pemodelan yang dilakukan, dengan menghitung besar konvergensi yang berdasarkan survei terjadi hanya pada lokasi yang paling dangkal dan sangat dekat dengan Selat Sunda.

"Artinya begitu dekat dengan Selat Sunda kemungkinan gempa terjadi adalah gempa-tsunami," katanya.

Dari hasil pemodelan, ada rekatan tektonik (coupling) pada bidang kontak antar lempeng yang sangat dekat dengan Selat Sunda.

Sumber gempa besar (megathrust) di Selat Sunda berada pada bagian yang paling dangkal sehingga berpotensi menghasilkan gempa dan tsunami.

Survei juga menunjukkan masuknya sesar Sumatera ke Selat Sunda yang dapat berimplikasi jika terjadi gempa bisa berpotensi tsunami.

Maka gempa Magnitudo 6,6 di Pandeglang Banten, pada Jumat (14/1/2022) silam menjadi peringatan untuk peningkatan kewaspadaan, kesiapsiagaan dan mitigasi terhadap bencana gempa bumi dan tsunami.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.