Sukses

Darah dan Air Mata di Tahun Dua

Pemerintahan Megawati Sukarnoputri dinilai tak serius memerangi korupsi, kolusi, dan nepotisme. Konflik di Aceh dan Maluku juga membuat wajah Indonesia kian muram.

Liputan6.com, Jakarta: Ini adalah potret buram Indonesia sepanjang 2002; konflik Aceh yang berkepanjangan, pertumpahan darah di Ambon, kontroversial RUU Penyiaran, dan penyelesaian kasus korupsi yang jauh panggang dari api. Semuanya terasa kelam. Gelap dan menyesakkan. Tak berlebihan bila penyair Taufik Ismail mengeluarkan buku puisi dengan judul "Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia".

Tulisan ini bukan bermaksud menjelek-jelekkan, apalagi mencaci maki, Indonesia. Ini hanyalah sebuah catatan kecil, yang boleh jadi, bisa dilupakan kapan saja dan oleh siapa saja. Tak ada juga maksud untuk memberi penilaian kepada pemerintah Presiden Megawati Sukarnoputri. Kami hanya berusaha mengingatkan bahwa perjalanan bangsa ini masih sangat buram. Masih penuh lobang di sana-sini.

Konflik di Aceh adalah satu di antaranya. Di ujung Pulau Sumatra ini, darah seakan tak pernah habis tumpah ke tanah. Setiap hari, selalu saja ada penculikan, pembunuhan, dan pembakaran. TNI membunuh anggota Gerakan Aceh Merdeka, begitu juga sebaliknya. Ribuan rakyat tak berdosa juga kerap menjadi korban. Situasi ini berlangsung terus-menerus selama 26 tahun, seperti tak pernah ada akhirnya. Tanah Rencong yang damai kini sudah menjadi telaga air mata.

Bahkan, beberapa pekan silam, sekitar 1.200 pasukan TNI mengepung Desa Cot Trieng. TNI yakin di desa ini terdapat Markas GAM. Tentara juga yakin Panglima GAM Muzakir Manaf bersembunyi di sana. Maka selama 40 hari, sejak 12 November 2002, TNI terus memperkecil jarak kepungan. Mereka benar-benar siap bertempur. Mereka juga siap menyerang Markas GAM. Tekad ini mengundang polemik. Sejumlah kalangan, terutama aktivis hak asasi manusia, mengecam rencana TNI menyerang Desa Cot Trieng.

Di saat situasi genting inilah, Henry Dunant Center mengajak pemerintah Indonesia dan GAM untuk duduk semeja. Mereka berunding di Jenewa, Swiss. Diawali pertemuan yang alot, pemerintah dan GAM akhirnya mau menandatangani perjanjian penghentian permusuhan. Perjanjian ini seperti oase di padang pasir. Rakyat Serambi Mekah menyambut dengan gembira. Mereka berharap, TNI dan GAM tak lagi saling serang.

Begitu besar harapan damai itu. Seusai perdamaian, ribuan masyarakat Aceh di berbagai tempat, seperti Jakarta, Medan, dan Banda Aceh menggelar sujud syukur sebagai manifestasi kegembiraan. Mereka berdoa agar darah tak lagi menetes di Aceh. Kegembiraan juga dirasakan pemerintah Indonesia. Di bawah pengawalan ketat, Presiden Megawati Sukarnoputri bersama sejumlah menteri juga sempat sujud syukur di Masjid Baiturrahman Banda Aceh. Bahkan, Mega optimistis pembangunan di Aceh akan bergerak dalam dua tahun mendatang.

Satu hal yang menggembirakan, setelah penandatanganan damai, TNI langsung menarik pasukannya dari Cot Trieng. Kebijakan ini begitu penting karena menjadi simbol keseriusan TNI untuk tak lagi menggunakan cara-cara militer dalam menyelesaikan konflik Aceh. Tentara berusaha tunduk pada keputusan politik yang telah diambil pemerintah. Hebatnya lagi, TNI tak lagi menyatakan GAM sebagai musuh, tapi sebagai saudara sesama warga Indonesia. Mereka juga melepaskan anggota GAM yang tertangkap selama konflik.

Jika TNI menarik pasukannya, bagaimana dengan GAM? Gerakan yang dipimpin Hasan Tiro ini juga melakukan langkah serupa. Mereka menarik pasukannya dari sejumlah tempat strategis, meski belum bersedia meletakkan senjata. Seperti halnya TNI, GAM juga menghormati keputusan politik yang diambil pimpinannya di Jenewa.

Penarikan pasukan TNI dan GAM dianggap sebagai implementasi awal dari sembilan butir kesepakatan penghentian permusuhan. Nah, langkah awal ini adalah momentum yang tepat untuk membangun rasa saling percaya antara kedua belah pihak. Sebab, penarikan pasukan menjadi simbol rasa saling percaya itu mulai dipupuk. Mereka juga mempercayai Komite Keamanan Bersama untuk memantau pelaksanaan perjanjian damai. Komite ini terdiri dari perwakilan pemerintah Indonesia, GAM, dan pihak ketiga.

Namun, Aceh tak serta merta menjadi aman. Bau mesiu masih tercium di sana. Baku tembak antara TNI dan GAM belum juga hilang seusai perjanjian. Sedikitnya dua personel TNI tewas dalam sebuah kontak senjata. Masyarakat luas menyayangkan peristiwa itu. Mereka khawatir kedamaian menjadi hal yang paling mewah di Serambi Mekah. Kini masyarakat berharap kesungguhan kedua belah pihak untuk membuktikan bahwa mereka bisa hidup berdampingan dengan damai.

Konflik berdarah tak hanya terjadi di Aceh. Di Maluku, kekerasan juga menjadi santapan masyarakat di sana. Dalam beberapa tahun terakhir, daerah ini luluh-lantak dihantam serangan kerusuhan yang berlangsung secara seporadis. Umat Islam menyerang mereka yang beragama Nasrani, begitu juga sebaliknya. Akibatnya, ribuan orang tewas, sejumlah bangunan hangus terbakar, dan Maluku semakin tertinggal. Ini membuat Indonesia kembali menangis.

Perlahan namun pasti, perdamaian di Maluku mulai terwujud, meski masih terbatas pada perjanjian di atas kertas. Tapi, setidaknya dua kelompok yang bertikai, sama-sama memiliki itikad baik untuk menghentikan permusuhan. Mereka bertemu di Malino, 70 kilometer dari Makassar, Sulawesi Selatan. Adalah Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla yang memfasilitasi pertemuan tersebut.

Sayangnya, pertemuan yang berlangsung 11-12 Februari 2002 tak berlangsung mulus. Soalnya, beberapa kelompok, baik dari kubu Kristen maupun Islam, menolak hadir. Mereka menganggap pertemuan ini tak sesuai dengan aspirasi. Meski begitu, pemerintah tetap menggelar pertemuan itu. Alasannya, sejumlah unsur yang terlibat langsung dalam konflik sudah terwakili. Dalam suasana penuh haru, pertemuan itu akhirnya melahirkan Deklarasi Malino II. Isinya, sejumlah kesepakatan yang menjamin terlaksananya perdamaian di Maluku.

Deklarasi ini disambut sukacita masyarakat Ambon. Mereka langsung mengadakan konvoi perdamaian. Konvoi yang diikuti ribuan orang ini seolah menjadi tanda bahwa perdamaian di Maluku akan segera terwujud. Mereka benar-benar haus dengan suasana damai. Kegembiraan rakyat semakin terlihat setelah kedua kelompok menyerahkan senjata sebagai bentuk pelaksanaan butir kesepakatan Malino II.

Tak hanya itu. Untuk memberi rasa aman kepada masyarakat, personel TNI/Polri juga menggelar sweeping senjata ke rumah-rumah penduduk. Ini dilakukan untuk memastikan tak ada lagi senjata yang dipegang penduduk. Secara bergilir, mereka mendatangi rumah penduduk. Puncak peran serta aparat keamanan terjadi ketika mereka membongkar barikade-barikade di sejumlah tempat. Barikade ini sebelumnya dijadikan garis demarkasi antara dua kelompok yang bertikai. Pembongkaran ini sekaligus menjadi simbol keinginan warga Ambon untuk kembali hidup berdampingan, tanpa diselimuti rasa curiga dan amarah.

Di saat masyarakat mulai merasakan hidup damai, sejumlah letupan terjadi. Kerusuhan di Desa Soya adalah satu di antaranya. Dalam kerusuhan ini, 12 orang tewas dan sebuah gereja terbakar. Ini membuat Jakarta kebakaran jenggot, karena bisa mementahkan kembali hasil Deklarasi Malino II. Untungnya, keinginan damai masyarakat lebih kuat. Sehingga kekhawatiran pemerintah tak terbukti. Pemerintah menduga, kerusuhan Soya dilakukan oleh segelintir orang yang memang tak menghendaki perdamaian di Maluku.

Untuk menjamin keamanan di Ambon, penegakan hukum terus dilakukan. sejumlah orang yang dinilai berperan besar dalam pertikaian, seperti Ketua Front Maluku Selatan Alex Manuputty dan Panglima Laskar Jihad Ja`far Umar Thalib ditangkap. Belakangan, Alex divonis tiga tahun penjara karena terbukti berbuat makar. Sedangkan Ja`far divonis setahun karena terbukti menyebarkan permusuhan pada pemerintah yang sah. Kini, perlahan tapi pasti, Ambon terus berbenah. Mereka berharap, sinar mahatari 2003 akan lebih terang menyinari Maluku, sehingga dapat mengembalikan senyum di Ambon Manise.

Ini tak berhubungan dengan daerah konflik, tapi cukup membuat Indonesia panas dingin. Setelah lebih dari 30 tahun disakralkan, MPR mengubah Undang-Undang Dasar 1945 pada 10 Agustus 2002. Tepat pukul 23.45 WIB, Ketua MPR Amien Rais mengetuk palu sebagai tanda disahkannya amandemen UUD 1945. Ada yang gembira, namun tak sedikit yang kecewa. Memang butuh perjalanan panjang dan melelahkan untuk mengamendemen UUD 1945.

Keputusan bersejarah ini tak pernah terbayangkan saat Soeharto berkuasa. Apalagi, berulang kali, jenderal berbintang lima yang memperoleh dukungan penuh dari ABRI dan partai politik menyatakan bahwa UUD 1945 sudah final dan tak dapat diubah. Namun, keadaan berubah 180 derajat di saat ia lengser. Petinggi di negeri ingin membawa Indonesia ke arah yang lebih demokratis, lebih transparan, dan lebih menghargai HAM.

Secara umum, MPR sudah bekerja empat kali untuk mengamandemen UUD 1945. Amandemen pertama dilakukan pada 19 Oktober 1999, dilanjutkan pada 18 Agustus 2000, kemudian 9 November 2001, dan terakhir 10 Agustus 2002. Sejumlah pasal diamandemenkan. Satu di antaranya adalah Pasal 2 Ayat 1. Perubahan ini membuat MPR seperti kehilangan gigi. Lembaga ini bukan lagi sebagai lembaga tertinggi dan tak berhak memilih presiden dan wakilnya. Selain itu, kehadiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) secara otomatis membuat Fraksi Utusan Golongan kehilangan tempat mulai 2004. Posisi inilah yang ditentang habis-habisan oleh sejumlah anggota MPR, termasuk Fraksi Utusan Golongan.

Perdebatan panjang juga menyelimuti pembahasan Pasal 29. Namun, pada akhirnya, Sidang Tahunan MPR 2002 tak berhasil mengambil keputusan terhadap beberapa alternatif amandemen. Setelah melalui serangkaian lobi akhirnya diputuskan untuk tetap pada naskah asli. Ini membuat sejumlah fraksi meminta pimpinan sidang memberi catatan atas keputusan tersebut. Fraksi Partai Bulan Bintang, Fraksi Persatuan Pembangunan, Fraksi Daulat Umah, dan beberapa anggota Fraksi Reformasi termasuk yang keberatan dengan keputusan MPR. Untuk itu, pimpinan sidang membuat catatan khusus terhadap pembahasan Pasal 29.

Banyak pihak percaya, konstitusi perlu diubah sesuai perkembangan zaman. Itulah sebabnya, diperlukan Komisi Konstitusi sebagai penyelaras dan penyempurna konstitusi. Kendati semua fraksi telah menyetujui pembentukan Komisi Konstitusi, namun bukan berarti pembentukannya berjalan mulus. Sejumlah kalangan mempertanyakan dasar hukum pembentukan komisi tersebut. Fraksi TNI/Polri dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat mengusulkan Komisi Konstitusi tercantum dalam aturan tambahan. Sedang fraksi lain, seperti PDI Perjuangan merasa cukup dengan Ketetapan MPR. Sidang pun deadlock.

Namun, belakangan, Ketua F-TNI/Porli Letnan Jenderal TNI Slamet Supriyadi mencabut usulan fraksinya. Ini membuat sidang pada akhirnya menyepakati membentuk Komisi Konstitusi melalui TAP MPR. Berbeda dengan TNI, sejumlah LSM masih belum bisa menerima keputusan tersebut. Mereka khawatir MPR tak mengeluarkan TAP untuk membentuk Komisi Konstitusi.

Suasana di Senayan juga sempat gerah ketika wakil rakyat membahas Rancangan Undang-undang Penyiaran di penghujung 2002. Mereka bersikeras mengesahkan RUU Penyiaran, meski para praktisi televisi menentang RUU tersebut. Itulah sebabnya, letika anggota DPR menggelar Sidang Paripurna, ratusan pekerja televisi berunjuk rasa. Mereka mendesak anggota Dewan membatalkan pengesahan RUU Penyiaran. Namun, usaha ini sia-sia. DPR akhirnya mengesahkan RUU tersebut.

Sebenarnya, ada dua hal utama yang ditentang para pekerja televisi. Pertama, kehadiran Komisi Penyiaran Indonesia. Kedua, keharusan bekerja sama dengan pengelola televisi lokal bila televisi swasta nasional ingin bersiaran di daerah. Mereka juga menilai KPI hanya sebagai bentuk baru lembaga sensor. Soalnya, lembaga ini dibentuk DPR dan pemerintah, tanpa melibatkan wakil dari pekerja televisi atau radio. Mereka khawatir akan ada pengebirian kebebasan pers, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru.

Sedangkan keharusan bekerja sama dengan televisi lokal dinilai sebagai arogansi otonomi daerah. Alasannya, kerja sama antara televisi nasional dan lokal tak dapat dipaksakan. Kerja sama seharusnya sebagai buah kesepakatan, bukan paksaaan. Bila ini terus terjadi, masyarakat pasti akan dirugikan. Soalnya, banyak daerah yang tak dapat menikmati ragam siaran seperti sekarang ini, mengingat televisi lokal diyakini sulit membeli program yang mahal harganya.

Dalam hal ini, sejumlah kalangan mengecam arogansi anggota DPR. Selain angkuh, mereka juga dianggap tak mendengar aspirasi rakyat. Kekesalan ini wajar adanya. Apalagi, banyak perilaku anggota Dewan yang tak membuat masyarakat marah. Kasus korupsi Ketua DPR Akbar Tandjung satu di antaranya. Meski era reformasi telah bergulir hampir lima tahun dan pemimpin negara telah berganti, korupsi rupanya masih menjadi keseharian sejumlah penguasa di negeri ini.

Akbar Tandjung sudah dinyatakan bersalah. Ia terbukti terlibat dalam kasus penyalahgunaan dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 40 miliar. Meski begitu, Akbar tak juga ditahan. Alasannya, kasus ini belum mempunyai keputusan hukum yang tetap. Itulah sebabnya, dengan penuh keyakinan, Akbar yang juga Ketua Umum Partai Golkar masih memimpin sidang wakil rakyat. Benar-benar menyakitkan hati rakyat. Celakanya, hakim juga enggan menelusuri aliran dana Rp 40 miliar yang seharusnya untuk masyarakat miskin itu.

Bopeng DPR juga terlihat ketika Meilono Suwondo "bernyanyi". Anggota Fraksi PDI-P ini mengungkapkan bahwa dirinya pernah menerima US$ 1.000 saat fraksinya bertemu dengan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin Temenggung di sebuah hotel. Teriakan Meilono ini didukung Indira Damayanti, anggota F-PDIP yang lain. Sebuah traveller`s cheque sebesar Rp 10 juta untuk Aberson Marle Sihaloho juga pernah ditemukan. Tersiar kabar, cek itu atas nama Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan Anshari Ritonga.

Kasus dugaan suap yang diungkapkan Permadi juga memperkeruh kinerja DPR. Anggota DPR dari F-PDIP ini mengaku pernah ditawari suap sebesar Rp 20 miliar dari A.M. Fatwa. Suap itu diberikan ketika DPR membahas perselisihan antara PT Peruri dengan PT Pura. Pengakuan ini membuat Fatwa Berang. Ia langsung mengadu ke Mabes Polri dan meminta Permadi membuktikan tuduhannya. Kasus ini sekarang tengah ditangani tim penyidik.

Kasus korupsi rupanya tak hanya melanda lembaga legislatif. Di akhir tahun, pemerintahan Megawati juga ikut terguncang badai. Jaksa Agung M.A. Rachman, pejabat yang seharusnya menindak para penjahat dan koruptor justru dinilai tak bersih diri. Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara menemukan bukti bahwa Rachman memiliki sejumlah kekayaan yang tak disebutkan dalam formulir daftar kekayaan. Ia disebut-sebut memiliki sebuah rumah mewah di Cinere senilai lebih dari Rp 1 miliar. Ia juga menyimpan deposito Rp 500 juta lebih dan US$ 26.600. Jumlah yang tak sedikit, tentunya. Soalnya, meski bekerja 24 jam sehari, tujuh hari dalam seminggu, dan 31 hari dalam sebulan, rasanya sulit bagi Rachman yang mengabdi 30 tahun untuk mempunyai harta sebanyak itu.

Rachman memang patut dicurigai korupsi. Soalnya, jawaban dia atas asal rumah di Cinere cenderung berubah-ubah. Pertama, ia menyatakan lupa soal status kepemilikan rumah itu. Berikutnya, ia menyatakan sudah dihibahkan untuk anaknya, Chairunnisa, sehingga tak perlu dilaporkan. Sedangkan mengenai deposito, tanpa malu, Rachman menyebutkan uang itu berasal dari jasa hukum yang ia berikan kepada sejumlah orang saat bertugas di Jawa Timur. Anehnya, beberapa hari kemudian, ia meralat dan menyatakan uang itu sebagai titipan para pengusaha untuk para pengungsi Madura korban kerusuhan Sambas yang kini ditampung di Pontianak, Kalbar.

Jawaban Rachman yang mencla-mencle membuat KPKPN berang. Ketua KPKPN Jusuf Syakir akhirnya melaporkan Rachman ke polisi. Ia diduga korupsi. Jusuf juga mengirim surat ke Presiden Megawati Sukarnoputri. Isi suratnya tegas: Mega harus menghentikan Rachman agar memudahkan pemeriksaan. Sayangnya, sampai saat ini, Mega tak berbuat apa-apa. Ia tak memecat Rachman. Mega juga tak mengklarifikasi kasus Rachman, yang notabene sebagai anak buahnya. Alih-alih memecat, Mega malah akan mempertahankan Rachman sebagai Jaksa Agung. Penegasan ini disampaikan Mega saat menerima Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Nusron Wahid, beberapa waktu silam. Mungkin, karena inilah, Indonesia selalu disebut sebagai surga para koruptor. Habis, pemimpinnya tak serius memerangi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.(ULF/Tim Catatan Akhir Tahun 2002)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.