Sukses

Drama Penyelamatan Pesawat Garuda Indonesia yang Dibajak Teroris di Thailand, 31 Maret 1981

Dalam catatan Liputan6.com, pembajak itu meminta Kapten Pilot Herman Rante untuk menerbangkan pesawat bernomor penerbangan 206, berkode ekor PK-GNJ itu ke Kolombo, Sri Lanka.

Liputan6.com, Jakarta - Pagi itu Copilot Pesawat DC-9 Woyla milik maskapai Garuda Indonesia, Hedhy Juwantoro dikagetkan dengan todongan pistol revolver yang berasal dari salah satu penumpangnya. Dengan nada tinggi pria itu menyatakan bahwa pesawat dengan rute Jakarta-Medan tengah dibajak.

"Jangan bergerak, pesawat kami bajak," teriak pria itu, sesaat setelah pesawat lepas landas dari Pelud Sipil Talang Betutu, Palembang, Sumatera Selatan usai transit pada Sabtu, 28 Maret 1981, pukul 10.10 WIB.

Dalam catatan Liputan6.com, pembajak itu meminta Kapten Pilot Herman Rante untuk menerbangkan pesawat bernomor penerbangan 206, berkode ekor PK-GNJ itu ke Kolombo, Sri Lanka. Tentu saja permintaan tersebut tidak mungkin dipenuhi karena avtur yang terbatas.

"Pokoknya terbang sejauh-jauhnya dari Indonesia," teriak seorang pembajak yang belakangan diketahui bernama Mahrizal.

Pesawat akhirnya dialihkan menuju Penang, Malaysia, untuk pengisian bahan bakar. Lalu, kembali terbang menuju ke Bandara Don Mueang, Thailand.

Saat transit di Malaysia, para pembajak sempat menurunkan wanita lanjut usia bernama Hulda Panjaitan (76) karena ia tak henti-hentinya menangis di dalam pesawat.

Pesawat itu terbang lagi dan mendarat di Thailand karena ancaman teroris. Sesampainya di negeri Gajah Putih itu, mereka kemudian membacakan tuntutan mereka, yaitu:

1. Anggota Komando Jihad di Indonesia yang berjumlah 80 orang sebagai tahanan politik segera dibebaskan.

2. Meminta uang sejumlah 1,5 juta dolar Amerika.

3. Orang Israel dikeluarkan dari Indonesia.

4. Adam Malik dicopot sebagai Wakil Presiden.

Bila tuntutan itu tidak segera dipenuhi, mereka mengancam memasang bom di pesawat Woyla dan tidak segan untuk meledakkan diri bersama pesawat tersebut.

Mereka juga meminta pesawat itu untuk pembebasan tahanan dan terbang ke tujuan yang dirahasiakan.

Drama pembajakan pun tiba pada puncaknya saat transit di Bandara Don Mueang di Bangkok, Muangthai, 31 Maret 1981.

Pembajakan Garuda DC-9 Woyla ini berlangsung selama empat hari. Dalam sejarahnya, ini kali pertama Indonesia diserang oleh teroris yang bermotif 'jihad'.

Pelakunya lima orang teroris yang dipimpin Imran bin Muhammad Zein, dan mengidentifikasi diri sebagai anggota kelompok yang mengatasnamakan Komando Jihad (KJ).

Dalam sejarahnya, KJ adalah kelompok ekstremis Islam Indonesia yang pernah ditumpas oleh anggota intelijen pada pertengahan tahun 1980-an. KJ sendiri diketahui sudah ada sejak tahun 1968.

Imran bin Muhammad Zein, pemimpin kelompok KJ yang melakukan peristiwa teror ini menuntut agar para rekannya yang ditahan usai peristiwa Cicendo di Bandung, Jawa Barat, supaya dibebaskan. Dalam peristiwa Cicendo, 14 anggota Komando Jihad membunuh empat anggota polisi di Kosekta 65 pada 11 Maret 1981 dini hari.

Kabar pembajakan pesawat itu didengar Jakarta berkat Pilot pesawat Fokker-28 Garuda Indonesia nomor penerbangan 145, A Sapari. Pesawat dengan rute Pekanbaru – Jakarta itu menangkap informasi yang disiarkan pesawat yang dipiloti oleh Herman Rante.

Kabar itu langsung membuat petinggi negara dan para jenderal yang sedang menggelar latihan gabungan semua unsur pasukan tempur di Timor-Timur hingga Halmahera kaget.

Wakil Panglima ABRI yang saat dijabat oleh Laksamana Sudomo kaget mendengar berita itu. Tanpa pikir panjang, rencana penyelamatan sandera langsung dilakukan.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Operasi Penyelamatan

Kopassandha (Komando Pasukan Sandi Yudha) embrio dari Kopassus langsung ditugaskan untuk segera menggelar operasi penyelamatan.

Sudomo langsung bergerak cepat menghubungi Kepala Pusat Intelijen Strategis yang saat itu dijabat Benny Moerdani dan segera mengabarkan Asisten Operasi Kopasandha LetKol Sintong Panjaitan yang pada saat itu kakinya masih dibalut gips.

Sebuah pesawat DC-9 milik Garuda langsung dipinjam untuk dipelajari seluk beluknya. Latihan 2 hari di hanggar Garuda, membuat pasukan khusus yang diisi tentara terpilih ini yakin bisa menyelesaikan misi itu.

Dua hari jelang operasi penyelamatan, Minggu 29 Maret 1981. Pasukan antiteror Indonesia akhirnya diizinkan masuk oleh pemerintah Thailand. Benny yang dikutip dalam buku biografinya, memutuskan menggunakan Garuda DC-10 Sumatera, pesawat ini lebih cepat dan lebih lama terbang dari DC 9.

Hari berikutnya, Senin 30 Maret 1981, dinihari, pukul 00.30, pesawat DC-10 yang disamarkan seperti pesawat komersial milik Garuda, mendarat di Bandara Don Muang.

Demi keamanan dan kelancaran operasi pesawat pabrikan Amerika itu diparkir di lokasi yang agak jauh dari Woyla. Namun, operasi kembali molor karena belum ada kesepakatan antara Benny dengan Menteri luar negeri Thailand yang saat itu dijabat Siddi Savitsila.

Keesokan harinya, Senin 30 Maret 1981, pagi pukul 06.00, pemerintah Thailand masih tidak bersedia memberi izin operasi itu. Benny lalu bertemu dengan Chief Station CIA untuk Thailand. Izin operasi pun kemudian diberikan. Benny menetapkan, serbuan akan dilakukan sebelum fajar.

Operasi akan digelar sebelum fajar. Tak lupa Benny meminta petugas Garuda di Don Muang menyiapkan 17 peti mati. Karena masih harus menunggu, Sintong memerintahkan anak buahnya untuk tidur agar tidak semakin tegang.

Selasa 31 Maret 1981, dinihari, pukul 02.30 Waktu setempat, prajurit Kopassus yang sudah tidur pulas mulai bergerak mendekati pesawat dengan senyap.

Mereka membagi diri menjadi tiga tim, yakni Tim Merah, Tim Biru dan Tim Hijau. Sesuai dengan simulasi latihan, kedua tim sudah langsung memanjat ke sayap pesawat dan menunggu di pintu samping. Sementara Tim Hijau akan masuk lewat pintu belakang.

Berdasarkan sumber data Liputan6.com, Sintong saat itu sangat terkejut, ketika tiba-tiba saja Benny menyusup masuk ke dalam barisan. Ini jelas di luar skenario operasi yang sudah disiapkan dua hari lalu.

Benny terlihat jelas di tengah deretan pasukan berseragam. Dia memakai jaket hitam, tangan kanannya memegang sepucuk pistol mitraliur.

Sambil berbisik, Sintong memerintahkan anak buahnya yang jalan paling dekat. "Jangan biarkan Pak Benny ikut.". Namun anak buah Sintong tak berani menjalankan perintah atasanya. "Pak, saya nggak berani," jawab Letnan Suroso.

Tim Thailand pun ikut bergerak ke landasan, tapi tidak sampai mendekat ke pesawat hanya menunggu di landasan agar tidak ada teroris yang lolos jika melarikan diri.

Sesuai komando, kode untuk masuk diberikan, ketiga tim masuk, dengan Tim Hijau terlebih dahulu. Mereka berpapasan dengan seorang teroris yang berjaga di pintu belakang.

Serbuan kilat pun langsung dimulai. Semua pintu kabin pesawat langsung didobrak dari luar. Ketika berhasil mendobrak pintu dan masuk ke pesawat salah satu anggota pasukan khusus itu langsung berteriak sekeras-kerasnya. "Penumpang Tiarap. "

3 dari 3 halaman

Satu Kopassus Gugur

Sekejap kemudian bunyi tembakan riuh membangunkan seluruh isi pesawat. Namun nahas, Pembantu Letnan Achmad Kirang yang sudah telanjur masuk sebelum pintu depan didobrak tertembak.

Otomatis pembajak yang berjaga di bagian belakang langsung menembak Kirang yang tidak dilindungi rompi antipeluru. Timah panas teroris pun menembus perut Kirang. Tak berapa lama kemudian teroris tersebut kemudian ditembak dan tewas di tempat.

Para penumpang kemudian disuruh keluar. Seorang teroris dengan granat tangan tiba-tiba keluar dan mencoba melemparkannya tetapi gagal meledak. Lalu anggota tim menembak dan melukainya sebelum dia sempat keluar.

Pimpinan Komando Jihad (KJ) Imran bin Muhammad Zein selamat dalam peristiwa baku tembak tersebut dan ditangkap pasukan. Sementara, mayat pembajak lainnya, Machrizal, Zulfikar, Wendy M Zein, Abu Sofyan dan Imronsayah, langsung diterbangkan ke Jakarta pagi itu pula.

Namun yang paling melegakan, seluruh penumpang tidak ada satu pun mengalami cedera.

Tim medis kemudian datang untuk menyelamatkan pilot pesawat DC-9 Woyla, Kapten Herman Rante, yang ditembak salah satu teroris dalam serangan.

Sementara Achmad Kirang meninggal pada 1 April 1981 dalam perawatan di RS Bhumibhol, Bangkok, begitu pula Captain Herman Rante, meninggal di Bangkok, enam hari setelah operasi penyergapan berlangsung. Keduanya kemudian dimakamkan di TMP Kalibata.

Operasi kontra terorisme ini dilakukan oleh Grup-1 Para-Komando di bawah pimpinan Letnan Kolonel Infanteri Sintong Panjaitan. Publik menilai keberhasilan itu melebihi keberhasilan pasukan khusus Israel dalam membebaskan sandera di Entebbe Uganda.

Hasil dari baktinya, ia beserta tim dianugerahi Bintang Sakti dan dinaikkan pangkatnya satu tingkat, kecuali Achmad Kirang yang gugur di dalam operasi tersebut, dinaikkan pangkatnya dua tingkat secara anumerta.

Imran bin Muhammad Zein selaku otak peristiwa pembajakan pesawat DC-9 ini kemudian dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada tahun 1981.

Imran merupakan salah seorang yang terlibat dalam Peristiwa Cicendo bersama Maman Kusmayadi, Salman Hafidz, serta 11 orang lainnya.

Begitu pula dengan Maman dan Salman, yang bernasib sama dengan Imran, dan dieksekusi hukuman mati.

Pasca-operasi itu, pasukan Kopasandha yang melakukan penyerbuan pesawat Woyla menjadi embrio terbentuknya unit antiteror di Kopassus saat ini, yaitu SAT-81 Gultor.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.