Sukses

HEADLINE: Sederet Perempuan di Pusaran Kasus Benur Edhy Prabowo, Cuci Uang Pasif Mengancam?

Kasus korupsi perizinan ekspor benih lobster di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyeret sejumlah perempuan yang diduga terkait mantan Menteri KKP Edhy Prabowo.

Liputan6.com, Jakarta - Kasus korupsi perizinan ekspor benih lobster di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyeret sejumlah perempuan yang diduga terkait mantan Menteri KKP Edhy Prabowo. Hal tersebut terungkap dalam pemeriksaan komisi antirasuah beberapa waktu lalu.

Selain istri Edhy Prabowo, Iis Rosita Dewi, mantan sekretaris pribadi, pebulutangkis wanita hingga biduan ikut diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kepada para wanita ini, Edhy Prabowo diduga mengalirkan hasil korupsi dalam bentuk uang, apartemen dan mobil.

Edhy Prabowo, mengaku telah membiayai sewa apartemen untuk 3 sekretaris pribadi (sespri) wanita, yaitu Fidya Yusri, Putri Elok dan Anggia Tesalonika Kloer. Bahkan Anggia Kloer juga mendapatkan fasilitas mobil mewah saat bekerja dengan Edhy Prabowo sebagai sespri. Mobil mewah yang digunakan Anggia Kloer bermerk Honda HRV dengan kelir hitam.

Selain 3 sekretaris pribadi, Edhy Prabowo mengaku membiayai sewa apartemen untuk dua atlet bulutangkis wanita, Kesya dan Debby yang kemudian namanya direvisi oleh pengacara menjadi Devy.

Belakangan KPK menemukan dana hasil korupsi juga mengalir ke biduan bernama Betty Elista. KPK pun sudah memeriksa Betty dalam kasus ini. KPK menduga, Betty Elista menjadi salah satu pihak yang turut kecipratan aliran uang dari Edhy yang diduga dikumpulkan dari para eksportir yang mendapat izin ekspor benur.

Sementara KPK sudah menyita barang yang dibeli Edhy Prabowo bersama sang istri, Iis Rosita Dewi di Hawaii, Amerika Serikat. Iis Rosita sendiri mengaku mendapat uang bulanan sebesar Rp 50 juta untuk keperluan sehari-hari. Serta uang sebesar USD 50 ribu sebelum pergi ke Amerika. Dalam persidangan, Iis mengaku tak tahu sumber uang sang suami.

Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Garnasih menilai perempuan-perempuan yang diduga menerima aliran dana itu bisa ikut terjerat pasal tindak pidana pencucian uang. 

"Harusnya bisa dijerat pasal 5 TPPU," kata Yenti kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (19/3/2021).

Pasal 5 UU No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tersebut berbunyi, "Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)".

Dalam konteks aturan tersebut, seseorang dapat dikatakan sebagai pelaku pasif apabila memenuhi unsur mengetahui dan patut menduga bahwa dana tersebut berasal dari hasil kejahatan atau mengetahui tentang atau maksud untuk melakukan transaksi.

"Tinggal kita cek, apakah perempuan itu menerima sejumlah uang dan penerima itu tahu atau patut menduga mengetahui bahwa uang tersebut dari hasil kejahatan apa enggak. Ini bisa dilihat tingkat pendidikannya apa, pantes enggak dia dapat begitu, pantas enggak seorang sekretaris mendapat apartemen dan mobil seperti itu. Dia curiga enggak mobil itu hasil korupsi," ucap Yenti.

Namun, jika si penerima merasa aneh dengan pemberian dari Edhy Prabowo dan tetap nekat menerima maka bisa dijerat hukum. "Ini nanti hakim yang menilai yang bersangkutan seharusnya sudah curiga tetap nekat menerima ya seharusnya kena pasal 5," kata dia.

Yenti mengingatkan, jika KPK tak pernah menggunakan pasal 5 UU TPPU, maka akan menjadi kebiasaan pelaku kejahatan untuk mencari seseorang yang bisa menampung hasil korupsi.

"Kalau bisa mengamankan hasil korupsinya, uang negara hilang, rakyat yang rugi," kata dia.

Selain itu, juga bisa mengajarkan pada masyarakat untuk berhati-hati menerima uang dengan jumlah yang mencurigakan dari seseorang. 

"Hati-hati yang namanya TPPU pasif itu seseorang tidak harus tahu ini (uang) dari hasil kejahatan," ujar Yenti. 

Yenti mendorong KPK agar semua yang menerima uang hasil suap perizinan ekspor benur ikut diproses hukum.

"Paling tidak diperiksalah ada enggak TPPU pasif. Kalau enggak, ya enggak masalah. Masalahnya KPK enggak mau mencoba," kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan ini.

Yenti yakin, KPK sudah memiliki catatan terkait sejak kapan uang itu diterima dan apakah duit yang mengalir ke beberapa perempuan tersebut merupakan hasil suap perizinan ekspor benih lobster atau bukan.

"Apalagi KKP ini OTT kan yang pasti sudah ada catatannya dari hasil menyadap. Yang jelas, kalau mereka menerima uang ini ditelusuri, uang apa, jumlahnya berapa, cocok tidak dengan gajinya Pak menteri. Jangan-jangan ada korupsi lainnya," ujar dia.

Yenti menilai, pemberian apartemen dan mobil mewah kepada sekretaris pribadi pun tidak wajar. Sebab, biasanya fasilitas apartemen hanya diberikan kepada eselon satu. 

Sementara sang istri Iis Rosita, kata Yenti, seharusnya bisa melindungi suaminya agar tak terlibat dalam korupsi.

"Istinya Anggota DPR kan, dia tahu banget harusnya dan ngasih tau suaminya harus berhati-hati. Inilah penegak hukum harus benar-benar melihat, bagaimana latar belakang pendidikannya, pengetahuannya, lingkungannya bagaimana," tandas Yenti. 

 

TPPU Pasif Belum Jadi Prioritas KPK?

Sementara Ahli Hukum Perbankan dan TPPU, Yunus Husein mengatakan, sampai saat ini KPK belum pernah menjerat pelaku tindak pidana pencucian uang pasif atau seseorang yang menerima uang dari hasil kejahatan. 

"KPK selama ini belum pernah kenakan pasal 5 TPPU. Dalam kasus impor daging sapi, Fathanah kan bagi-bagi duit buat artis yang terima itu nggak diapa-apain. Dia kembalikan (uang) dan dianggap kooperatif ya dilepas. Kalau polisi dalam kasus Malinda Dee, suaminya, adik iparnya, kena semua itu," kata mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) itu kepada Liputan6.com di Jakarta.

Yunus menduga, KPK hanya memprioritaskan tidak kejahatan yang dilakukan para penyelenggara negara. Sehingga, pihak lain yang dianggap menerima aliran dana tidak diproses hukum.

"Harusnya dikasih pelajaran agar semua orang tidak melakukan itu (terima aliran uang hasil kejahatan)," kata dia. 

Yunus menegaskan, seseorang yang tidak mengetahui bahwa uang yang diterima merupakan hasil kejahatan juga bisa dijerat pasal 5 dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara.

"Bisa juga, patut diduga. Itu memang subjektif, tergantung pada pengetahuan seseorang dan fakta-fakta yang dia ketahui. Kalau tidak lazim, janggal, harusnya dia menduga. Belum apa-apa sudah kasih apartemen. Seharusnya itu mentriger bahwa ada kejahatan korupsi," kata dia.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

KPK Prioritas pada Aset Recovery

Plt Juru Bicara (Jubir) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri mengatakan pihaknya terus mendesak agar Edhy Prabowo bersikap jujur dengan mengungkap berapa jumlah uang suap yang dia terima dalam memberikan izin ekspor benih lobster serta ke mana saja uang tersebut dialihkan.

"Kemarin sudah saya sampaikan agar tersangka EP (Edhy Prabowo) jujur dengan yang diterima dan dialihkan kemana dananya, karena kami akan buka semua terkait aliran dana, termasuk ke penyanyi dangdut itu yang nerima uang juga, tapi bukan untuk nyanyi," kata Ali Fikri kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (19/3/2021).

Ali juga menegaskan biduan Betty Elista dan ketiga sekretaris pribadi Edhy Prabowo hingga saat ini masih berstatus menjadi saksi. Sementara dua pebulutangkis wanita juga sudah menjadi saksi di persidangan dengan terdakwa Suharjito. 

"Rekeningnya kan juga sudah disita ditemukan bukti ada pengiriman uang dari EP melalui AM," kata dia.

KPK, kata Ali, tak bisa serta merta menjerat para perempuan penerima duit Edhy Prabowo dengan pasal TPPU. Sebab perlu ada pembuktian apa memang benar ada uang yang diserahkan kepada pihak-pihak yang disebutkan di proses persidangan maupun pemeriksaan.

Ali pun menegaskan hingga saat ini KPK masih fokus menelusuri uang yang diterima Edhy Prabowo.

"Sumbernya apakah dari para eksportir ini apakah sebagai suap dan gratifikasi. Berikutnya baru diterapkan pasal TPPU. Sekarang kita buktikan dulu penerimaannya selain yang dari tangkap tangan itu, karena ini berkembang terus, barang bukti juga berkembang, aset-aset juga banyak ditemukan, fokus di situ dulu," kata Ali.

Lalu apakah benar KPK belum akan mempidanakan pelaku TPPU pasif?

Ali Fikri menjelaskan, pada prinsipnya, TPPU pasif merupakan peristiwa tindak pidana yang melibatkan pihak yang tidak terkait langsung dengan korupsi. Misalnya, istri atau pihak lain yang ikut mengetahui dan mendapatkan uang hasil korupsi. Kemudian, ada perubahan bentuk seperti aset tanah dan lainnya, bisa juga berupa rekening transfer. Namun, selama dalam proses hukum, KPK bisa menyita aset-aset tersebut melalui kasus suap dan gratifikasi maka tidak perlu ada persidangan TPPU pasif.

"Ujung dari TPPU itu aset recovery, rampasan terhadap barang atau aset yang telah berubah dari uang suap menjadi aset tanah dan sebagainya dirampas ya, kalau TPPU kan ujungnya untuk perampasan itu follow the money nya. Nah kalau TPPU ditetapkan semua dengan ujungnya juga perampasan, efektifitasnya kan sama," kata dia.

KPK, kata Ali, juga harus mempertimbangkan asas hukum lainnya seperti persidangan dengan cepat, biaya ringan, juga yang menguntungkan terdakwa.

"Jadi pertimbangan pendukung seperti itu menjadi utama. Kami dari KPK memastikan, penegakan hukum formil mau pun materil itu tetap harus melihat dari sisi aturan hukumnya seperti apa, itulah proses penegakan hukum yang benar," tandas Ali.

3 dari 3 halaman

Desak KPK Gunakan Pasal TPPU Pasif

Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengatakan sebenarnya ICW sudah lama mendorong KPK untuk menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebagai strategi utama penegakan hukum agar pengembalian kerugian keuangan negara bisa dimaksimalkan.

"Tapi sampai hari ini, dibandingkan dengan jumlah perkara korupsi yang diungkap, dengan jumlah pelaku yang dijerat TPPU sangat memprihatinkan. Padahal KPK selalu mengatakan asset recovery adalah strategi yang penting dalam pemberantasan korupsi," kata Adnan kepada Liputan6.com di Jakarta. 

Penggunaan pasal TPPU ini, kata Adnan, juga dimaksudkan agar orang-orang yang menerima dana hasil kejahatan tidak selalu berlindung dibalik alasan "tidak tahu dananya dari duit korupsi".

"Poinnya siapapun yang menjadi penikmat harta kejahatan korupsi, dengan alasan apapun, perlu dikejar juga oleh KPK, untuk mencari tahu, apakah mereka bagian dari sindikasi atau bukan," tandas Kurnia.

Sementara Koordinator MAKI Boyamin Saiman juga mengaku kerap mendorong KPK untuk menjerat orang-orang yang menerima uang hasil korupsi dengan pasal TPPU pasif. 

"Dulukan kita selalu mengampanyekan yang TPPU pasif yang zaman Ahmad Fathanah yang sama artis-artis itu. Dan saat ini terbuktikan ada lagi yang model beginikan mestinya ya mulai sekarang diterapkan pencucian uang pasif terhadap orang-orang yang menerima itu," kata Boyamin kepada Liputan6.com di Jakarta.

Hal ini juga bisa membuat efek jera bagi para penerima duit haram. Oleh karena itu, MAKI, kata Boyamin kembali mendorong KPK agar menerapkan pasal pencucian uang pasif. 

"Mulai sekarang harus diterapkan hal itu. Paling nggak kan istilahnya dalam kasus KUHP sebagai penadah. Ibaratnya ada orang yang jual motor harganya murah nggak ada suratnya itukan patut diduga hasil curian, maka sering diproses oleh polisi sebagai penadah kejahatan," kata dia.

Apalagi, kata Boyaminm, gaji seorang menteri tak terlalu besar. Namun, bisa memberikan barang-barang mewah kepada orang lain. Maka patut diduga berasal dari hasil kejahatan. 

"Dalam posisi apa pun yang menerima secara pasif dan sejak awal dia patut menduga itu barang yang tak halal ya itu harus dijerat," tandas Boyamin.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.