Sukses

HEADLINE: Jokowi Usulkan DPR Revisi UU ITE dan Hapus Pasal Karet, Angin Segar Demokrasi?

Jokowi mengakui bahwa UU ITE dalam implementasinya kerap menimbulkan rasa ketidakadilan di tengah masyarakat.

Liputan6.com, Jakarta - Pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi terkait rencana revisi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) disambut baik banyak pihak. UU No 11 Tahun 2008 itu sudah pernah direvisi sekali pada 2016 lalu. 

Jokowi menyebut, UU ITE yang semangatnya untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, beretika, dan bisa dimanfaatkan secara produktif, justru dalam implementasinya kerap menimbulkan rasa ketidakadilan.

"Kalau Undang-Undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya saya akan minta kepada DPR merevisi undang-undang ini, karena di sinilah hulunya, revisi," ujar Jokowi saat memberikan arahan dalam Rapat Pimpinan TNI-Polri Tahun 2021 di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/2/2021).

"Terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda yang mudah diinterpretasikan secara sepihak," sambungnya.

Jokowi menyadari bahwa akhir-akhir ini banyak masyarakat yang saling membuat laporan dengan menjadikan UU ITE sebagai salah satu rujukan hukumnya. Hal ini sering kali menjadikan proses hukum dianggap kurang memenuhi rasa keadilan.

Untuk itu, dia memerintahkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan jajarannya lebih selektif dalam menyikapi dan menerima pelaporan tersebut. Jokowi meminta pasal-pasal yang berpotensi menimbulkan multitafsir dijelaskan dengan sebaik-baiknya.

"Pasal-pasal yang bisa menimbulkan multitafsir harus diterjemahkan secara hati-hati. Buat pedoman interpretasi resmi terhadap pasal-pasal Undang-Undang ITE biar jelas," kata Jokowi.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md menyebut, pemerintah akan membahas inisiatif revisi UU ITE. "Pemerintah akan mendiskusikan inisiatif untuk merevisi UU ITE," katanya dikutip dari akun Twitter @mohmahfudmd, Selasa (16/2/2021).

Menurut dia, UU ITE dibuat karena banyaknya usulan dari masyarakat kala itu. Namun, apabila saat ini penerapan UU tersebut memang sudah tak baik, pemerintah akan meminta DPR untuk merevisi.

"Jika sekarang UU tersebut dianggap tidak baik dan memuat pasal-pasal karet mari kita buat resultante baru dengan merevisi UU tersebut. Bagaimana baiknya lah, ini kan demokrasi," kata Mahfud Md.

Juru Bicara Presiden Joko Widodo, Fadjroel Rachman mengatakan, inisiasi Jokowi untuk merevisi UU ITE lantaran mendengar kritikan dari masyarakat. Jokowi ingin UU ITE memberikan rasa keadilan kepada seluruh masyarakat.

"(Dari) masukan juga kritik dari masyarakat," ucap Fadjroel saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Selasa (16/2/2021)

Dia berharap keinginan Jokowi merevisi UU ITE dapat disambut positif oleh DPR dan masyarakat. Sehingga, revisi UU ITE nantinya betul-betul memberikan keadilan kepada semua pihak.

"Semoga political will ini bisa disambut DPR dan masyarakat, sehingga revisinya lebih optimal, sesuai dengan harapan dan lebih mencerminkan keadilan," jelas Fadjroel.

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menyambut baik wacana revisi UU ITE yang keluar langsung dari pernyataan Presiden Jokowi.

Dia mencatat, ada dua pasal karet yang harus dihapus dari UU ITE karena mengaburkan substansi undang-undang yang dibuat dengan semangat mengatur bisnis dan perdagangan melalui jaringan internet. Selain itu, pasal tersebut juga dianggap tumpang tindih dengan UU lain. 

Dua pasal yang dimaksud Abdul Fickar adalah Pasal 27 ayat 3 yang mengatur soal pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat 2 yang mengatur soal ujaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

"Itu tidak cocok. Bisnis (jual beli) kan tidak mengenal agama atau suku. Jadi justru Pasal 28 ayat (2) UU ITE itu mengaburkan substansi UU tersebut. Seharusnya ketentuan tersebut dihapus saja karena sudah diatur dalam Pasal 310-311 KUHP (pencemaran nama baik)," kata Abdul Fickar saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (16/2/2021).

Lebih lanjut, dia menuturkan, dua pasal UU ITE tersebut pada praktiknya justru kerap digunakan untuk membungkam kritik dan suara pihak-pihak yang berbeda pandangan politik dengan pemerintah.

"Pelaksanaan UU ITE ini mengesankan seolah-olah penegak hukum, kepolisian dan kejaksaan menjadi alat dari kekuasaan untuk membungkam kritik. Jadi Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UI ITE seharusnya dihapus saja agar masyarakat tidak saling melapor karena pengertian tindak pidananya sangat longgar," kata Abdul Fickar.

Sementara Direktur Indonesia Information and Communication Technology Institute, Heru Sutadi berpandangan, UU ITE sebaiknya direvisi total. Heru beralasan, meski sebelumnya sudah pernah direvisi, masih banyak masyarakat yang mendekam di penjara karena pasal di UU tersebut yang ditafsirkan seenaknya.

Terlebih, kelahiran UU ITE dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum terhadap informasi dan transaksi elektronik. Sehingga, UU ini diharapkan dapat menjawab persoalan kejahatan siber, seperti hacking, cracking, dan crading.

"Namun dalam perjalanannya, UU ini laksana UU sapu jagad yang dapat dipakai untuk mempidanakan seseorang dengan menggunakan, khususnya, Pasal 27 ayat 3 terkait muatan penghinaan atau pencemaran nama baik," tutur Heru saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (16/2/2021).

Heru mencontohkan kasus Prita Mulyasari pada 2008 lalu yang harus berurusan dengan pengadilan karena dianggap mencemarkan rumah sakit, sebab dia melakukan komplain terkait pelayanan di tempat itu.

"Dan, meski UU ITE No 11/2008 kemudian direvisi menjadi UU ITE No 19/2016, penggunaan pasal pencemaran nama baik tidak juga berkurang," katanya melanjutkan.

Hal lain yang juga penting disoroti yakni penerapan Pasal 27 ayat 3 yang kerap dialihkan menjadi Pasal 28, baik ayat 1 maupun ayat 2. Dalam revisi pertama, Pasal 27 ayat 3 telah dikurangi hukumannya menjadi maksimal empat tahun dari sebelumnya enam tahun.

Sementara Pasal 28, baik ayat 1 maupun ayat 2 masih memiliki ancaman hukuman enam tahun. Karena itu, dengan memanfaatkan isu penyebaran kebencian atau hoaks, orang dapat mudah dibidik dengan pasal 28.

Padahal, Pasal 28 ayat 1 mengenai penyebaran berita bohong dan menyesatkan terkait kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Sementara ayat 2 di pasal itu menyangkut ujaran kebencian berdasarkan SARA.

Namun dalam praktiknya, pasal ini bisa dikenakan pada siapa pun yang dianggap menyebarkan berita bohong, meski tidak terkait dengan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik serta orang yang dianggap menyebarkan ujaran kebencian walau tidak menyangkut SARA.

"Revisi sebagian yang dilakukan dari UU ITE No 11/2008 ke No 19/2016 menyebabkan pasal 28 ini tidak mendapat perhatian serius," ujar Heru menegaskan.

Atas dasar hal itu, UU ITE terindikasi dapat menjadi undang-undang yang dapat dipakai untuk semua hal yang dikhawatirkan tidak berdasar, seperti tuduhan penyebaran fitnah, ujaran kebencian atau berita bohong.

"Muaranya adalah pembatasan kritik, kebebasan berbicaran, dan pengungkapkan kebenaran, seperti terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Maka agar UU ITE tidak menjadi 'penjara' demokrasi, UU ini jangan dipakai dulu sampai revisi total diselesaikan," tutur Heru. 

Heru menambahkan, mengingat saat ini juga ada pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) yang beririsan dengan UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka UU ITE memang sebaiknya direvisi total.

"Maka, UU ITE baiknya direvisi total dan nanti fokusnya bagi pengembangan ekonomi digital. Bahkan mungkin undang-undanganya jangan lagi ITE, tapi menjadi UU Ekonomi Digital," katanya.

Sementara untuk pasal yang terkait pencemaran nama baik, Heru mengatakan dapat sementara dikembalikan ke KUHP atau penafsiran terhadap UU ITE ini harus sebagaimana mestinya, tidak boleh dibelokkan.

"Penggunaannya dimaknai sesuai UU-nya. Jangan semua aduan hoaks dan ujaran kebencian (yang) masuk diproses (secara hukum). Kalau peluang multitafsir masih besar, ya mau tidak mau UU ITE harus direvisi total," kata Heru mengakhiri.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Dampak Sosial Politik UU ITE

Direktur Eksekutif SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) Damar Juniarto mengatakan, dirinya mengapresiasi pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melakukan revisi UU ITE.

Damar menuturkan, rencana ini mungkin tidak lepas dari pernyataan Jokowi yang meminta kritik dari masyarakat. Karenanya, rencana revisi UU ITE menjadi langkah memperbaiki regulasi yang menghambat kritik. 

Kendati demikian, menurut Damar, wacana tersebut perlu ditindaklanjuti agar dapat terwujud dan UU ITE bisa benar-benar menjadi undang-undang yang baik.  

"Saya mengapresiasi niatan tersebut (revisi UU ITE). Tinggal sekarang kuncinya adalah bagaimana mendorong itu bisa terwujud," tuturnya saat dihubungi Tekno Liputan6.com, Selasa (16/2/2021).

Damar mengatakan SAFEnet sebenarnya telah memiliki daftar pasal utama yang bermasalah di UU ITE. Pasal-pasal ini dianggap multitfafsir dan memiliki duplikasi hukum.

"Karenanya, kami menganggap pasal-pasal ini pantas dihapuskan dari UU ITE," ujarnya. Adapun pasal yang dimaksud adalah Pasal 27 ayat 1, Pasal 27 ayat 3, Pasal 28 ayat 2, dan Pasal 29. 

Selain itu, ada pula kelompok pasal yang rawan disalahgunakan, seperti Pasal 26, Pasal 36, Pasal 40 ayat 2a dan 2b, maupun Pasal 45. "Jadi, karena ini rawan disalangunakan, bunyinya harus diperbaiki," ujar Damar melanjutkan.

Ia juga mengatakan SAFEnet bersedia melakukan pertemuan untuk membahas persoalan di UU ITE. Dengan begitu, mereka dapat membicarakan persoalan tidak hanya sisi hukum, tapi juga dampaknya. 

"Dalam riset CSIS pada 2018, UU ITE itu dianggap telah melenceng dari niatan awal atau original intent-nya. Dan, sekarang telah menimbulkan dampak yang tidak diinginkan (unintended consequences)," tutur Damar

Dampak dari UU ITE mencakup dampak politik dan dampak sosial. Damar menjelaskan, dampak politik UU ITE misalnya adalah politisi atau kekuasaan memakainya untuk menjatuhkan lawan-lawannya.

Sementara dampak sosial dari UU ITE ini dapat merobek jalinan sosial. Sebab dengan UU ini, masyarakat lebih mudah melaporkan orang lain dengan berbagai motif, seperti balas dendam, barter kasus, efek terapi kejut, hingga mempersekusi orang yang berbeda pendapat.

Selain kedua dampak itu, Damar mengatakan sebenarnya ada pula efek jera atau chilling effect yang dihasilkan oleh UU ITE. Hal ini terjadi karena UU ITE memiliki efek hukuman yang berat dan menimbulkan rasa takut.

"Temuan Koaliasi Masyarakat Sipil memperlihatkan tingkat hukuman (conviction rate) UU ITE sangat tinggi mencapai 96,8 persen. Itu artinya orang yang terjerat UU ITE pasti dihukum," tuturnya melanjutkan.

Sementara dari orang yang terjerat UU ini, 88 persen itu masuk penjara. Untuk itu, perlu dilakukan dialog sehingga pemerintah melek bahwa persoalannya tidak sederhana.

Tidak hanya itu, topik lain yang juga perlu dibicarakan selama pembahasan soal revisi UU ITE adalah kasus-kasus yang yang sedang berjalan. 

Damar mengatakan, apakah ada kemungkinkan lebih selektif tidak memproses kasus dengan gugatan UU ITE atau Mahkamah Agung membuat surat edaran penghentian kasus selama upaya revisi UU ITE ini berlangsung.

"Sehingga kita bisa perbaiki bareng-bareng UU ITE agar lebih tepat, lebih baik. Dan yang paling utama sebetulnya objektif atau tujuan dari revisi ini tidak semua-semuanya diatur pakai UU ITE," ujarnya.

Alasannya, Damar menuturkan ranah siber itu memerlukan undang-undang lain, seperti UU Perlindungan Data Pribadi, UU Keamanan Siber, atau UU soal netralitas jaringan sehingga tidak ada praktik diskriminatif.

"Lalu perlu juga didorong persoalan internet ini melulu hanya pengaturan di regulasi, tapi menyiapkan masyarakatnya bisa teredukasi secara baik," ujarnya lebih lanjut.

3 dari 4 halaman

Tiga Catatan Penting untuk Pemerintah

Sejumlah lembaga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil mendukung langkah Presiden Jokowi terkait rencana revisi UU ITE. Mewakili Koalisi Masyarakat Sipil, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu berharap, pernyataan Jokowi tersebut bukan hanya sebatas retorika untuk mendapatkan populisme.

"Pernyataan tersebut tidak boleh sebatas pernyataan retorik ataupun angin segar demi populisme semata. Pernyataan tersebut harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkret," kata Erasmus dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Selasa (16/2/2021).

Setidaknya ada tiga catatan dari Koalisi Masyarakat Sipil yang perlu diperhatikan pemerintah jika serius ingin mengubah UU ITE. Pertama, seluruh pasal karet yang multitafsir dan berpotensi overkriminalisasi dalam UU ITE harus dihapus.

"Rumusan pasal-pasal dalam UU ITE, yang sudah diatur dalam KUHP, justru diatur secara buruk dan tidak jelas rumusannya disertai dengan ancaman pidana lebih tinggi. Hal ini menyebabkan banyaknya pelanggaran HAM yang dilanggar akibat penggunaan pasal-pasal duplikasi dalam UU ITE," katanya.

Erasmus mencontohkan, Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang memuat unsur melanggar kesusilaan. Pasal ini seharusnya dikembalikan kepada tujuan awalnya seperti yang diatur dalam Pasal 281 dan Pasal 282 KUHP dan atau UU Pornografi bahwa sirkulasi konten melanggar kesusilaan hanya dapat dipidana apabila dilakukan di ruang dan ditujukan untuk publik, bukan justru diatur dengan konteks dan batasan yang tidak jelas.

"Selama ini Pasal 27 ayat (1) UU ITE justru menyerang kelompok yang seharusnya dilindungi, dan diterapkan berbasis diskriminasi gender. Pasal 27 ayat (3) juga kerap kali digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang online," paparnya.

Selain itu, kasus penghinaan juga tidak lagi relevan dalam banyak aspek menggunakan hukum pidana. Menurut dia, aparat seharusnya sudah mulai mengarahkan delik penghinaan ke ranah perdata yang memang sudah diakomodasi misalnya dalam 1372 KUHPerdata.

Pasal karet lainnya adalah tentang ujaran kebencian berbasis SARA sebagaimana diatur dalam 28 ayat (2) UU ITE. Pasal ini tidak dirumuskan sesuai dengan tujuan awal perumusan tindak pidana tentang propaganda kebencian.

"Pasal ini justru menyasar kelompok dan individu yang mengkritik institusi dengan ekspresi yang sah. Lebih memprihatinkan pasal ini kerap digunakan untuk membungkam pengkritik presiden, sesuatu yang oleh Mahkamah Konstitusi dianggap inkonstitusional saat menghapus pasal tentang penghinaan terhadap presiden," kata Erasmus.

Koalisi Masyarakat Sipil mencatat, sejak 2016 hingga Februari 2020, tingkat penghukuman (conviction rate) kasus-kasus dengan pasal karet UU ITE (Pasal 27, 28, dan 29) mencapai 96,8 persen (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi, mencapai 88% (676 perkara).

Laporan terakhir SAFEnet menyimpulkan bahwa jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multitafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis. Sektor perlindungan konsumen, anti korupsi, pro-demokrasi, penyelamatan lingkungan, dan kebebasan informasi menjadi sasaran utama. 

"Berdasarkan monitoring yang dilakukan oleh LBH Pers, selama tahun 2020 setidaknya terdapat 10 jurnalis yang sedang melaksanakan kerja pers dilaporkan menggunakan ketentuan pasal-pasal dalam UU ITE. Pasal yang kerap digunakan adalah Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian," ujar Erasmus membeberkan.

Selain soal pasal-pasal karet, koalisi juga memberikan catatan terkait proses fair trial dalam ketentuan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam revisi UU ITE harus kembali diberlakukan dan mendukung pembaruan KUHAP, bahwa segala bentuk upaya paksa harus dengan izin pengadilan.

Revisi ini harus mengembalikan hal baik yang pernah dirumuskan oleh UU ITE pada 2008, bahwa mekanisme upaya paksa harus dengan izin dalam bentuk penetapan dari pengadilan. "Dalam UU ITE yang sekarang berlaku, upaya paksa justru menjadi diskresi aparat penegak hukum dan menghilangkan ijin dari ketua pengadilan."

Terakhir, koalisi meminta agar aturan mengenai blocking dan filtering juga harus direvisi. Kendati kewenangan tersebut memang sudah seharusnya dimiliki pemerintah untuk menegakkan hukum, koalisi memandang bahwa perlu adanya kontrol agar tidak terjadi kesewenang-wenangan.

"Kewenangan mengenai pengaturan blocking dan filtering konten harus diatur secara tegas mekanismenya sesuai dengan due process of law. Terlalu besarnya kewenangan pemerintah eksekutif melakukan blocking dan filtering konten internet perlu ditinjau ulang dengan memasukkan mekanisme kontrol dan pengawasan sebelum dan setelah melaksanakan pemutusan. Hal tersebut adalah semata-mata untuk menjamin hak setiap orang atas informasi dan asas-asas pemerintahan yang baik," kata Erasmus menandaskan.

Untuk diketahui, Koalisi Masyarakat Sipil ini terdiri dari berbagai lembaga seperti ICJR, LBH Pers, IJRS, Elsam, SAFEnet, YLBHI, KontraS, PBHI, Imparsial, LBH Masyarakat, AJI Indonesia, ICW, LeIP, LBH Jakarta, Greenpeace Indonesia, PUSKAPA, Rumah Cemara, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), dan WALHI.

4 dari 4 halaman

Bagaimana Jika Revisi UU ITE Tak Terwujud?

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana mengkhawatirkan pernyataan Presiden Joko Widodo terkait rencana revisi UU ITE hanya sebatas retorika politik semata. Karena itu, dia meminta Jokowi benar-benar membuktikan ucapannya. 

"Sebaiknya presiden bisa membuktikan ucapannya," kata Arif kepada merdeka.com, Selasa (16/2/2021).

Jika Jokowi tak sanggup membuktikan ucapannya, menurut Arif, justru akan semakin menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah. Sebab, berdasarkan data yang dihimpun beberapa lembaga pegiat demokrasi, korban yang dijerat pasal karet UU ITE terus meningkat setiap tahunnya.

"Presiden harus secepatnya mengusulkan revisi UU ITE ke DPR dengan serius. Saya harap supaya polisi lebih hati-hati dan adil dalam menerapkan UU UTE, termasuk di berbagai UU pidana lain," ujarnya.

Menurut Arif, bukan hanya UU ITE yang saat ini perlu perbaikan untuk memberikan rasa keadilan kepada seluruh masyarakat. "Tapi semua peraturan perundang-undangan yang mengkebiri hak-hak sipil politik masyarakat juga harus direvisi," katanya.

Pengamat politik dari Universitas Bung Karno, Pangi Syarwi Chaniago menilai, wacana revisi UU ITE ini menunjukkan bahwa pemerintah mulai sadar bahayanya kebijakan negara tanpa kritik. Menurut dia, kritik adalah vitamin yang bagus untuk pemerintahan.

"Sebaliknya, puji-pujian dan kabar baik asal bapak senang justru ibarat gula yang bisa menyebabkan sakit, kelebihan pujian," kata Pangi kepada Liputan6.com, Selasa.

Meski begitu, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting itu tak yakin bahwa revisi UU ITE bisa menjamin proses demokrasi akan lebih baik. Menurut dia, semua itu tergantung pada aparat penegak hukum sebagai pelaksana undang-undang.

"Era sebelumnya juga pakai UU ITE, tapi banyak warga sipil yang demo mengibaratkan presiden kerbau, bakar foto presiden, dan keras meminta presiden mundur, tapi aparatnya pandai mengunakan pasal tersebut, tidak mudah mengunakan pasal UU ITE untuk menjerat tokoh kritis, karena tidak semua laporan ditindaklanjuti, diproses, bijak dalam menerima pelaporan," ucap Pangi. 

Lebih lanjut, Pangi menyatakan bahwa pemerintahan Jokowi harus siap malu hingga dicaci-maki publik apabila rencana revisi UU ITE ini nantinya tidak terwujud. 

"Kalau batal siap enggak pemerintah dicaci maki. Kalau pemerintah baper, susah juga," katanya.

Sementara Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno menilai, pernyataan Jokowi terkait revisi UU ITE sejatinya sudah terlambat di tengah tingkat kepercayaan publik yang menurun. 

"Sebenarnya telat, karena UU sudah lama dan banyak diprotes publik karena banyak pasal karet yang mutitafsir. UU ITE bahkan diakui Polri sebagai UU yang cukup potensial dijadikan sebagai alat kriminalisasi," ujar Adi saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (16/2/2021).

Meski begitu, dia menilai bahwa sikap telat ini masih lebih baik daripada tidak sama sekali. Menurutnya, rencana tersebut menunjukkan bahwa Jokowi bisa menangkap keresahan masyarakat terkait ketidakadilan dalam penerapan UU ITE.   

Adi optimistis, jika pemerintah serius maka revisi UU ITE bisa segera terwujud. Dia berkaca pada pengesahan revisi UU KPK dan Omnibus Law yang selesai cepat karena mendapatkan perhatian penuh dari pemerintah.

"Kalau Jokowi berkehendak, pemerintah memerintah, saya rasa revisi UU ITE bisa selesai dalam waktu singkat," ucap Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia ini.

 

 

Reporter: Rifa Yusya Adilah/Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.