Sukses

LP3ES: Ada 37 Statemen Blunder Pemerintah terkait Covid 19

LP3ES merilis hasil penelitian tentang komunikasi politik kabinet Jokowi dalam menghadapi pandemi Corona atau Covid-19.

Liputan6.com, Jakarta Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) merilis hasil penelitian tentang komunikasi politik kabinet Jokowi dalam menghadapi pandemi Corona atau Covid-19.

Penelitian "Petaka Karena Kata: Blunder Komunikasi Politik Kabinet Jokowi di Masa Pandemi" ini dilakukan dengan menganalisis isi media masa baik media mainstream, seperti berita daring dan TV maupun media sosial seperti facebook, twitter dan youtube dari 1 Januari hingga 5 April 2020.

Hasilnya, LP3ES menemukan 13 pernyataan blunder di masa pra krisis, 4 pernyataan blunder di awal krisis dan 20 pernyataan blunder di masa krisis.

Direktur Center untuk Media LP3ES, Wijayanto dalam hasil penelitiannya yang diterima, Selasa (7/5/2020) menyatakan, pihaknya membagi 3 fase dari 5 fase komunikasi yang ada, dalam pemerintah saat ini. Fase pra krisis, awal krisis dan krisis.

Adapun fase krisis adalah pemerintah berkomunikasi dengan publik untuk memberikan pengetahuan awal, agar publik memahami dan menyiapkan diri terhadap krisis yang dihadapi.

Kemudian fase awal krisis adalah menyediakan informasi melalui satu pintu, memudahkan sirkulasi dan mencegah kesimpangsiuran berita.

Sedangkan fase krisis, adalah pemerintah perlu menyalurkan informasi mutakhir secara berkala agar masyarakat yakin krisis dapat dilalui.

"Kita belum tiba pada fase resolusi dan evaluasi," kata Wijayanto.

Menurut dia, di fase orang krisis sejak akhir Januari sampai Maret, pemerintah tampak tidak menanggapi serius, menyepelekan bahkan menolak kemungkinan bahwa corona Covid 19 sudah tiba di Indonesia, meskipun peringatan sudah diberikan sejak akhir Januari.

Kondisi ini berdampak pada sikap publik yang gagal menyiapkan diri untuk menghadapi apa yang terjadi. Sehingga muncul panic buying, stigma kepada pengidap corona yang melahirkan perisakan pada pasien corona, bahkan pasien lari dari rumah sakit dan menolak diobati bagi pasien PDP atau positif Covid 19.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Resmi Terjangkit Covid 19

Sedangkan untuk fase krisis awal, di mana Presiden Jokowi mengumumkan Covid-19 sudah masuk pada 2 Maret sampai 14 Maret, ada 4 statemen atau pernyataan yang blunder.

Menurutnya, blunder pertama terjadi pada keterlambatan pengumuman oleh Presiden karena pengumuman itu begitu terlambat mengingat peringatan Corona sudah disampaikan sejak Januari dan hasil investigasi media, yang menyebut satu pasien positif di Cianjur

"Jubir Covid-19 yang awalnya menolak kasus itu kemudian mengakui bahwa pasien memang benar positif. Pada fase ini, ternyata Presiden masih tetap tidak menyadari keseriusan kasus yang ada dan tetap bicara tentang insentif wisata. Wapres juga setali tiga uang dengan melemparkan guyonan bahwa Corona bisa sembuh dengan minum susu kudu liar," tuturya.

Pada fase krisis, lanjut dia, Jokowi kembali blunder dengan menyampaikan darurat sipil, yang kemudian diralat dan dijadikan darurat kesehatan. Selain itu, ada juga dari Mendagri Tito Karnavian dan Menko Kemaritiman dan Investigasi Luhut B. Pandjaitan.

"Jika yang pertama menyampaikan tingkat kematian yang rendah (pernyataan Tito), yang terakhir menyebut Corona tak betah di suhu panas (pernyataan Luhut)," ulas Wijayanto.

Blunder juga datang dari Jubir Covid-19 Achmad Yurianto, terkait pernyataannya orang miskin dan orang kaya. Kemudian datang dari Kapolri Jenderal Polisi Idham Aziz, Menkumham Yasonna, dan Jubir Presiden Fadjroel Rachman.

"Kapolri mengancam akan menahan kerumunan dan penghina selama Corona, Yasonna yang ingin mebebaskan tahanan karena Corona. Ada 2 statemen blunder terkait pemberian keringanan kredit. Blunder Presiden terjadi manakala janji penangguhan kredit ternyata tidak berlaku di lapangan. Statemen ini lalu diralat oleh Jubir Presiden yang menyatakan bahwa keringanan baru diberi kalau sudah dinyatakan positif Corona," tuturnya.

Selain itu, masih kata dia, blunder terbanyak di Fase Krisis terjadi dalam polemik mudik lebaran. Ada 9 pejabat yang menurutnya melakukan blunder.

"Presiden mulanya memberi larangan mudik untuk menghindari penularan Corona yang diamini oleh Jubir Covid, Jubir Presiden, Mensesneg. Namun pernyataan itu kemudian direvisi oleh Jubir Presiden dan Menko Kemaritiman yang menyampaikan bahwa mudik diperbolehkan asal melakukan isolasi. Presiden pun akhirnya juga meralat pernyataan sendiri dengan memperbolehkan mudik lebaran," jelas Wijayanto.

3 dari 3 halaman

Rekomendasi

Dia pun memberikan rekomendasi, bahwa komunikasi yang berkualitas akan menghasilkan trust dan solidaritas. Untuk itu diperlukan adanya konsitensi dan transparansi.

"Konsistensi dibutuhkan agar pesan itu sampai dan mudah dipahami sampai akar rumput. Konsisten ini berarti Presiden dan kabinetnya harus menyampaikan pesan yang sama dari waktu ke waktu. Ini juga berarti bahwa antara presiden, wapres dan para menteri harus menyampaikan pesan yang sama dan bukannya saling bertentangan satu sama lain," tukasnya.

Selain itu, transparansi dibutuhkan agar pesan bisa dipercaya. Publik harus diberitahu secara jujur apa alasan dari satu kebijakan.

"Transparansi dan konsitensi adalah kunci untuk mengembalikan kepercayaan publik. Hanya dengan kepercayaan dan dukungan publik kita akan bisa bersama-sama selamat dari bencana ini. Dan, yang paling penting, kemanusiaan dan penyelamatan manusia adalah segala-galanya. Dialah yang seharusnya menjadi panglima," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

  • INDEF adalah singkatan dari Institute for Development of Economics and Finance.

    Indef

  • Virus Corona adalah virus yang menyerang sistem pernapasan.

    Corona

  • Penyebaran Covid-19 ke seluruh penjuru dunia diawali dengan dilaporkannya virus itu pada 31 Desember 2019 di Wuhan, China

    COVID-19