Sukses

7 Hal Terkait Batalnya Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Pemerintah akan melihat dampak dari pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang diajukan oleh Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir.

Gugatan pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu diajukan pada 2 Januari 2020. Keputusan ini dikeluarkan pada Senin, 9 Maret 2020.

"Kabul permohonan hukum sebagian," tulis MA dalam putusannya, yang dikutip Liputan6.com, Senin, 9 Maret 2020.

Keputusan MA tersebut pun memunculkan beragam tanggapan. Salah satunya adalah tanggapan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Menurutnya, pemerintah akan melihat dampak dari pembatalan tersebut terhadap BPJS Kesehatan. Sebab, pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini akan bisa saja berdampak pada keuangan lembaga tersebut.

Berikut hal-hal terkait gugatan pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang dikabulkan MA dihimpun Liputan6.com: 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 8 halaman

Diajukan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI)

Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) menggugat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan ke Mahkamah Agung agar dibatalkan.

Perpres tersebut mengatur kebijakan kenaikan iuran kepesertaan BPJS Kesehatan untuk pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja sampai dengan 100 persen.

Tony Samosir menyatakan, pasien kronis cenderung mendapat diskriminasi dari perusahaan karena dianggap sudah tidak produktif lagi, sehingga rawan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari perusahaan.

Dan akhirnya, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan pembatalan kenaikan iuran BPJS kesehatan yang diajukan oleh Ketua Umum KPCDI Tony Richard Samosir, yang diajukan pada 2 Januari 2020.

"Kabul permohonan hukum sebagian," tulis MA dalam putusannya, yang dikutip Liputan6.com, Senin, 9 Maret 2020.'

 

3 dari 8 halaman

Pertimbangan MA

Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang diajukan oleh Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir.

Gugatan tersebut diajukan pada 2 Januari 2020 dan diputuskan pada 27 Februari 2020 oleh hakim Yoesran, Yodi Martono dan Supandi.

"Menerima dan mengabulkan sebagian permohonan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI)," kata juru bicara MA, Hakim Agung Andi Samsan Nganro, Senin,9 Maret 2020.

Hakim menilai kenaikan iuran tersebut bertentangan dengan banyak pasal. Salah satunya Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres nomor 75 yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi yakni Pasal 23, Pasal 28 H Jo, Pasal 34 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.

Lalu Pasal 2, Pasal 4, Pasal 17 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Selain itu, bertentangan pula dengan Pasal 2, 3, dan 4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial. Selanjutnya juga bertentangan dengan Pasal 4 Jo Pasal 5, dan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Kemudian untuk pasal yang dibatalkan yakni, Pasal 34 yakni:

(1) Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP yaitu sebesar:a. Rp 42.OOO,00 (empat puluh dua ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III.b. Rp 110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II; atauc. Rp 160.000,00 (seratus enam puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.

(2) Besaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2O2O.

Dengan demikian, maka majelis hakim memutuskan iuran BPJS kembali ke semula, yakni Kelas 3 sebesar Rp 25.500, kelas 2 Sebesar Rp 51.000 dan kelas 1 Sebesar Rp 80.000

 

4 dari 8 halaman

Menkeu Angkat Bicara

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati angkat bicara soal putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Sri Mulyani mengatakan, pemerintah akan melihat dampak dari pembatalan tersebut terhadap BPJS Kesehatan. Sebab, pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini akan bisa saja berdampak pada keuangan lembaga tersebut.

"Ya ini kan keputusan yang memang harus lihat lagi implikasinya kepada BPJS gitu ya. Kalau dia secara keuangan akan terpengaruh ya nanti kita lihat bagaimana BPJS Kesehatan akan bisa sustain," kata dia di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.

Menurut Sri Mulyani, BPJS Kesehatan harus tetap memberikan layanan kepada para pesertanya. Meski saat ini defisit yang dialami BPJS Kesehatan masih besar.

"Dari sisi memberikan untuk jasa kesehatan kepada masyarakat secara luas. Namun secara keuangan mereka merugi, sampai dengan saya sampaikan dengan akhir desember, kondisi keuangan BPJS meskipun saya sudah tambahkan Rp 15 triliun dia masih negatif, hampir sekitar Rp 13 triliun," ucapnya.

Dengan adanya pembatalan kenaikan iuran ini, kata Sri Mulyani, pemerintah akan melihat apa saja dampaknya bagi operasional dan keuangan BPJS Kesehatan ke depan.

"Jadi kalau sekarang dengan hal ini, adalah suatu realita yang harus kita lihat. Kita nanti kita review lah ya," tandas dia.

 

5 dari 8 halaman

Pengusaha Sumringah

Pengusaha mengapresiasi pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menyatakan, hal ini tepat dilakukan lantaran saat ini terjadi kondisi pasar tidak mendukung.

"Kami apresiasi hasil putusan pembatalannya karena saat ini bukan waktu yang tepat untuk menaikkan beban jaminan sosial," ujar Shinta kepada Liputan6.com, Senin, 9 Maret 2020.

Lanjut Shinta, kondisi pasar baik domestik maupun internasional tidak mendukung ekspansi biaya tetapi ekspansi efisiensi.

Ekspansi efisiensi berarti lebih fokus membenahi sistem internal maupun eksternal sehingga tidak terdapat penambahan pengeluaran yang memang bisa ditekan. Dalam konteks ini, pemerintah harusnya tidak menjadikan opsi menaikkan iuran menjadi penambal masalah defisit BPJS Kesehatan, melainkan harus fokus untuk efisiensi.

Shinta berharap, setelah pembatalan kenaikan iuran ini, pemerintah segera mencari solusi mengatasi defisit BPJS Kesehatan.

"Semoga ke depannya, ada langkah yang konkret dari pemerintah untuk membenahi defisit BPJS tanpa perlu meningkatkan iuran," kata Shinta mengakhiri.

 

6 dari 8 halaman

BPJS Kesehatan Belum Terima Surat Salinan Putusan

Mahkamah Agung membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang naik per 1 Januari 2020. MA mengabulkan judicial review Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.

Menanggapi pemberitaan yang beredar tersebut, BPJS Kesehatan mengatakan belum menerima salinan putusan MA mengenai pembatalan kenaikan iuran.

"Sampai saat ini BPJS Kesehatan belum menerima salinan hasil putusan Mahkamah Agung tersebut, sehingga belum dapat memberikan komentar lebih lanjut," ungkap Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf melalui keterangan tertulis saat dikonfirmasi Health Liputan6.com.

Iqbal menambahkan, saat ini BPJS Kesehatan belum bisa mengkonfirmasi kebenaran isi putusan MA. BPJS Kesehatan akan mempelajari hasil putusan MA jika sudah diberikan salinannya.

Apabila hasil konfirmasi sudah diperoleh dan teruji kebenarannya, Iqbal mengatakan, BPJS Kesehatan akan melakukan koordinasi dengan kementerian terkait sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

"Pada prinsipnya, BPJS Kesehatan akan mengikuti setiap keputusan resmi dari pemerintah," tandas Iqbal.

 

7 dari 8 halaman

Pemerintah Putar Otak Tutup Defisit

Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara mengaku akan mencari cara untuk menambal defisit BPJS Kesehatan usai kenaikan iuran dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA).

"Kita cari cara, sejak tahun lalu bagaimana caranya tambal. Caranya menambal itu yang kita bayangkan tahun lalu adalah pemerintah berikan uang, uang lebih besar kepada BPJS Kesehatan," kata di Gedung Dhanapala, Kemenkeu, Jakarta.

Suahasil menyebut kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebenarnya menjadi salah satu untuk mengatasi defisit keuangan BPJS Kesehatan. Menurut dia, ini menjadi cara pemerintah untuk menyuntikan dana tambahan kepada BPJS Kesehatan.

Tanpa keputusan soal kenaikan iuran ini pemerintah tidak bisa memprediksi seberapa besar dana yang harus diberikan ke BPJS Kesehatan. Pemerintah juga membayarkan kenaikan iuran bagi peserta penerima bantuan iuran (PBI).

"Nah ini yang sudah dilakukan dengan cara menaikkan itu, maka tahun lalu pemerintah bisa bayari defisit tersebut. Tahun ini juga pemerintah bayari PBI dengan tarif yang baru," kata Suahasil.

Sementara jika kenaikan BPJS Kesehatan dibatalkan, maka akan ada implikasi yang harus diselesaikan oleh masyarakat. Sedangkan soal apakah pemerintah akan menarik kembali uang yang telah disetorkan ke BPJS Kesehatan, Kemenkeu akan melihat isi putusan dari MA.

"Itu nanti konsekuensinya seperti apa setelah kita dalami keputusan tersebut, amar keputusan dan konsekuensinya. Tentu kita ini kan harus bicara dengan kementerian lain," pungkasnya.

 

8 dari 8 halaman

Pemerintah Diharapkan Jalanan Keputusan MA

Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang diajukan oleh Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir.

Tony mengatakan, keputusan MA tersebut merupakan angin segar di tengah proses hukum di negeri ini yang seringkali mengalahkan rakyat kecil. Dia berharap, keputusan tersebut segera dijalankan.

"Saya rasa rakyat kecil yang kemarin menjerit karena kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen akan senang menyambut keputusan MA ini. Dan KPCDI berharap pemerintah segera menjalankan keputusan ini, agar dapat meringankan beban biaya pengeluaran masyarakat kelas bawah setiap bulannya" ujar Tony dalam keterangannya, Selasa (10/3/2020).

Dia berharap, pemerintah ataupun BPJS Kesehatan tidak lagi membuat keputusan dan kebijakan yang sifatnya mengakali atau mengelabui dari keputusan tersebut.

"Jalankan keputusan MA dengan sebaik-baiknya. Toh ini yang menang rakyat Indonesia," tegas Tony.

Sementara itu, Senin, 9 Maret 2020 kemarin, Menko Polhukam Mahfud Md mengatakan, apa yang sudah diputuskan MA terkait BPJS Kesehatanadalah final.

"Putusan MA kalau sudah judical review itu, adalah putusan final. Tidak ada banding terhadap judical review," jelas Mahfud.

Dia pun menuturkan, pemerintah harus menjalani keputusan tersebut.

"Pemerintah tidak boleh melawan putusan pengadilan itu," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.