Sukses

Kisah Buya Syafii Maarif, Menikahi Bunga Desa Tanpa Modal

Buya Syafii dan Lip menikah pada 5 Februari 1965. Namun, setahun sebelum menikah atau selama bertunangan, Buya diterpa hoax.

Liputan6.com, Yogyakarta - Namanya sudah malang memlintang sebagai tokoh besar di Indonesia. Bahkan hingga usianya sudah memasuki senja, dia tetap dicari dan menjadi panutan bangsa. Dialah Buya Ahmad Syafii Maarif.

Tokoh Muhammadiyah yang disegani semua kalangan. Cinta kasihnya yang luar biasa besar, membuatnya juga dicintai oleh umat agama lain.

Diterimanya sosok Buya Syafii di seluruh umat ini jelas membuktikan pribadinya yang penuh dengan kasih sayang.

"Saya sama umat lain diterima dengan baik, saya ga tahu kenapa. Mungkin karena tampang saya tidak mengancam," kata tokoh yang lahir 31 Mei 1935 ini saat ditemui Liputan6.com beberapa hari lalu di kediamannya.

Cinta kasih inilah yang membuat sang istri, Nurkhalifah yang disebutnya 'si kecil', selalu setia mendampinginya hingga saat ini.

Walaupun perbedaan yang mencolok, baik dari usia maupun strata sosial, perbedaan itu justru menjadi bumbu pengawet pernikahan Buya dengan istrinya yang pada bulan ini telah melewati usia 53 tahun.

"Kami lama menciptakan harmonisasi. Kadang seperti rumah tangga lain juga, ada percikan-percikan dan kadang masih terjadi sampai hari ini. Tapi kami bertahan dengan suka dukanya. Memang tidak mudah berumah tangga," tutur mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ini.

Buya mengakui perjalanan rumah tangganya penuh lika liku, sama seperti keluarga lain. Karena itu, ia tidak memiliki resep khusus mempertahankan pernikahan hingga lebih dari setengah abad.

"Ga ada, sama saja. Kita berantem juga, tapi yang jelas saya tidak pernah memukulnya, nanti balik lagi," kata anggota Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) ini.

Ia bersyukur mempunyai istri yang sangat pengertian, yang telah menemaninya mengarungi susah manisnya kehidupan berumah tangga. Ia heran kepada istrinya, yang termasuk perempuan cantik, terpandang, dan dari keluarga saudagar kaya, namun mau menikah dengannya dan menjalani masa-masa keprihatinan pada awal pernikahan di Yogyakarta.

"Dia bunga desa di sana dan sementara secara materi saya tak punya bekal apapun, termasuk tidak punya persiapan untuk sekadar membayar mas kawin," tutur Buya Syafii.

 

2 dari 3 halaman

Numpang Tempat Tinggal

Buya dan istrinya pernah tinggal di rumah Nyonya Amir Kotagede secara cuma-cuma, dan Buya bekerja menulis buku pelajaran sekolah dan korektor Suara Muhammadiyah (SM).

Saat itu ia juga kuliah doktoral di IKIP Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta), dan menempuh perjalanan sejauh 7 kilometer dari Kotagede ke Kota Yogya dengan mengayuh sepeda usang.

"Itu sepeda paling buruk di dunia," katanya.

Lambat laun kehidupannya mulai membaik. Pada dua tahun menikah, tepatnya 1 Juni 1967, Buya diangkat sebagai pegawai negeri dengan jabatan asisten pegawai negeri. Gajinya saat itu Rp 868. Buya juga mendapat honor sebagai korektor di Suara Muhammadiyah.

"Saya juga bingung, dia itu hidup mapan kenapa mau hidup prihatin," ucap Buya tentang istrinya.

Jarak usia Buya dengan istrinya, 9 tahun. Perbedaan usia yang jauh ini tentu menimbulkan banyak perbedaan dalam pandangan berumah tangga. Namun perbedaan itu dapat dikelola dengan baik, walaupun tak jarang berujung pertengkaran.

"Kalau saya jangan takut bertengkar. Keluarkan saja, jangan dipendam nanti jadi penyakit. Tapi harus ada penyelesaian dan perbedaan bisa tetap dikelola," kata ayah dari Mohammad Hafiz ini.

Buya mengaku beberapa kali bertengkar hebat dengan sang istri.

"Saya beberapa kali gebrak meja, ini baru satu istri gimana kalau 3 atau 4," katanya.

Namun, kata Buya, istrinya yang dipanggilnya Lip tangguh hidup dengannya. Lip, ujar Buya, juga memiliki sifat dermawan yang melebihi dirinya.

"Waktu itu istri saya mau operasi di PKU, tapi tahu karena istri saya mereka tidak mau dibayar, habis biaya sekitar Rp 80-90 juta. Besoknya dia kasihkan uangnya ke PKU ratusan juta. Dermawannya melebihi saya," kata Buya memuji sang istri.

 

3 dari 3 halaman

Diterpa Hoax

Buya dan Lip menikah pada 5 Februari 1965. Namun, setahun sebelum menikah atau selama bertunangan, Buya diterpa hoax yang menyebutkan Buya sudah mempunyai anak di Baturetno dan Lombok. Kabar itu sempat membuat calon istrinya menderita dan tertekan.

"Istri saya boleh disebut bunga desa, anak orang terpandang. Kok bisa dapat saya anak piatu yang miskin, mungkin di situ ada yang tidak senang. Nah, waktu itu saya lama merantau, dikata sudah punya anak di Lombok atau Baturetno," ungkap Buya.

Kabar tersebut jelas-jelas bohong, karena saat itu menghidupi dirinya sendiri, Buya tak mampu. Bahkan cincin pertunangan yang dipasang di jari istrinya, dibeli sendiri oleh Lip.

"Jodoh memang tidak dapat direncanakan. Begitulah aku dan si kecil akhirnya berumah tangga setelah diterpa berbagai info yang negatif. Tetapi pertunangan tidak sampai kandas di tengah jalan," ucap Buya.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Â