Sukses

Waket Kadin DKI: May Day Jadi Libur Nasional Turunkan Daya Saing

"Urgensinya tidak ada menjadikan Hari Buruh menjadi hari libur nasional."

Liputan6.com, Jakarta - Mulai tahun ini, pemerintah menetapkan Hari Buruh Internasional pada 1 Mei (May Day) sebagai hari libur nasional. Hal ini dikritisi oleh Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Provinsi DKI Jakarta. Penambahan hari libur dinilai akan merugikan pengusaha.

"Urgensinya tidak ada menjadikan Hari Buruh menjadi hari libur nasional. Malah akan menurunkan produktivitas dan daya saing kita," ujar Wakil Ketua Kadin DKI Jakarta Sarman Simanjorang dalam pesan singkatnya kepada Liputan6.com di Jakarta, Rabu (30/4/2014).

"Kalau hanya karena di beberapa negara sudah menetapkan May Day menjadi hari libur, tentu situasi dan kondisi suatu negara akan berbeda-beda," imbuhnya.

Menurut Sarman, pemerintah seharusnya cukup mengeluarkan peraturan yang mewajibkan perusahaan industri melaksanakan perayaan Hari Buruh dengan berbagai kegiatan internal. Seperti pelatihan sumber daya manusia (SDM), olahraga, dan kesenian serta kegiatan lainnya yang berfungsi untuk meningkatkan daya saing, sehingga akan mampu bersaing pada ASEAN Economic Community yang akan diberlakukan pada 2015.

"Kalau hanya untuk membangun kebersamaan antar-pelaku hubungan industrial agar lebih harmonis secara nasional tidak perlu dengan menjadikan Hari Buruh menjadi hari libur nasional," tuturnya.

Rugi

Menurutnya, penetapan hari libur itu tidak menguntungkan bagi dunia bisnis. Pengusaha justru mengalami kerugian karena stop produksi.

"Dengan bertambahnya hari libur nasional sudah barang tentu yang menanggung kerugian adalah pengusaha apalagi tahun ini tahun politik, hari libur bertambah 3 hari, yaitu pileg, pilpres, dan Hari Buruh."

"Bisa dibayangkan berapa besar kerugian yang harus ditanggung pengusaha," keluh Sarman.

Ia pun mengambil contoh sebuah perusahaan padat karya bidang garmen jika libur 1 hari maka akan mengalami kerugian. Antara lain, perusahaan wajib bayar gaji karyawan Rp 100 juta/hari, kehilangan hasil produksi 7.500/hari x US$ 3 = US$ 22.500, sanksi dari buyer (pembeli) akibat target produksi tidak tercapai.

Dan untuk menghindari sanksi, maka terpaksa dilakukan overtime dengan pembayaran gaji 2 kali. "Dengan perincian itu, kita bayangkan berapa besar kerugian yang harus ditanggung dunia usaha industri belum termasuk perputaran bisnis dan transaksi keuangan yang berhenti," tutur Sarman.

"Jika memang dari sisi produktivitas dan daya saing kita semakin menurun maka tidak tertutup kemungkinan kebijakan tersebut ditinjau kembali. Dari pada turun ke jalan yang dapat mengganggu ketertiban umum dan berpotensi rusaknya sarana dan prasarana kota," pungkas Ketua Dewan Pengupahan DKI Jakarta itu. (Sss)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.