Sukses

Brunei Catat Tingkat Kelebihan Berat Badan Tertinggi di Asia Tenggara, Indonesia Nomor Berapa?

Brunei mencatat bahwa 28,2 persen warganya mengalami masalah kelebihan berat badan.

Liputan6.com, Jakarta - Brunei Darussalam memuncaki daftar negara dengan tingkat kelebihan berat badan tertinggi di Asia Tenggara. Ini merujuk pada data terbaru The World Factbook Central Intellange Agcie pada 2016 hingga 2024.

Brunei mencatat bahwa 28,2 persen warganya mengalami masalah kelebihan berat badan. Angka itu hampir lima kali lipat dari data Indonesia yang berada di peringkat ke-6 dengan 6,9 persen warganya mengalami masalah berat badan, dilansir dari Says, Jumat, 23 Februari 2024.

Posisi ke-2 ditempati Malaysia dengan 19,7 persen. Disusul Singapura dan Thailand dengan 11,6 persen di posisi ke-3 dan ke-4. Menggenapi lima besar, ada Filipina dengan 9,3 persen. Kemudian, Myanmar, Laos, dan Kamboja dengan presentase 5,8 persen, 5,6 persen, dan 3,8 persen.

Vietnam mencatatkan persentase terendah di antara negara-negara ASEAN dengan angka 1,7 persen. Terakhir adalah Timor Leste yang berada di posisi terbawah dengan 1,1 persen.

Kendati demikian, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI sebelumnya melaporkan bahwa kasus obesitas di Indonesia meningkat signifikan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, dari 10,5 persen pada 2007 jadi 21,8 persen pada 2018.

"Obesitas saat ini telah digolongkan sebagai penyakit yang perlu diintervensi secara komprehensif," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes Eva Susanti, dilansir Tim News Liputan6.com dari Antara, 9 Juli 2023.

Ia mengatakan, obesitas merupakan masalah multifaktor yang dipengaruhi peningkatan asupan energi, perubahan pola makan dari tradisional ke modern, urbanisasi, dan penurunan aktivitas fisik. Faktor tersebut didukung kontribusi faktor lain, seperti aspek sosial ekonomi, budaya, perilaku, dan lingkungan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Penyebab Obesitas

Selain itu, kata Eva, obesitas juga dipicu kurangnya aktivitas fisik. Ini kemudian dikaitkan dengan fenomena daerah urban, yaitu berkurangnya ruang publik sebagai arena bermain dan berolahraga.

Kemudahan mengakses sarana modern berteknologi tinggi, menurutnya, juga jadi faktor penyebab kurangnya aktivitas fisik remaja, terutama di perkotaan. Kemenkes mengklasifikasikan obesitas sebagai faktor risiko penyakit tidak menular. seperti diabetes melitus, jantung, kanker, hipertensi, dan penyakit metabolik maupun nonmetabolik lain.

Eva mengatakan, obesitas berkontribusi pada penyebab kematian akibat penyakit kardiovaskular sebesar 5,87 persen dari total kematian, serta penyakit diabetes dan ginjal 1,84 persen dari total kematian.

Kemenkes, lanjutnya, berupaya menahan laju prevalensi obesitas di Indonesia tetap sebesar 21,8 persen hingga akhir tahun 2024 sesuai indikator dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Eva mengatakan, ada tiga pilar penting terkait upaya pencegahan dan pengendalian obesitas. Pertama, mendorong komunikasi isu obesitas untuk pembicaraan formal maupun informal oleh masyarakat, tenaga kesehatan, pemangku kebijakan, organisasi masyarakat, serta pihak terkait lain.

3 dari 4 halaman

Tidak Semata Masalah Individu

Kedua, strategi pengendalian dengan menjadikan obesitas sebagai upaya kolektif demi mengubah persepsi kondisi ini merupakan masalah individu. Pihaknya juga mengedukasi orang untuk memahami peran masyarakat dan faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap obesitas.

Ketiga, merumuskan upaya nasional untuk mendorong percakapan dan gerakan kolektif yang mengarah pada suatu tindakan. "Rencana Aksi Nasional perlu dibangun untuk mengambil tindakan proaktif dan berbasis bukti guna mencegah dan mengatasi obesitas," katanya.

Upaya menangani masalah berat badan memang telah digagas banyak pihak melalui serangkaian ide. Namun, ada salah satu solusi yang membuat "orang mengernyitkan dahi," karena melibatkan karyawan obesitas.

Forum Obesitas Nasional di Inggris, Tam Fry, mengatakan pada Telegraph, dikutip dari NY Post, 1 Januari 2024, bahwa Inggris bisa mencontoh Jepang. Negeri Sakura memiliki tingkat obesitas yang jauh lebih rendah (4,97 persen) dibandingkan dengan Amerika (36,47 persen) dan Inggris (27,88 persen), menurut data World Obesity Federation

Ia menyebut, Inggris bisa belajar dari negara lain, seperti Jepang, yang bersikeras bahwa lingkar pinggang pekerja boleh diukur berdasarkan UU Metabo, dan mereka akan didenda jika "ukurannya terlalu besar."

4 dari 4 halaman

Hukum Metabo

"Hukum Metabo," diambil dari sindrom metabolik yang mencakup sekelompok penyakit yang berhubungan dengan berat badan, bertujuan mencegah kondisi lebih serius, seperti penyakit jantung dan stroke yang dapat datang di kemudian hari.

"Jika Anda mengidap sindrom metabolik atau salah satu komponen sindrom metabolik, perubahan gaya hidup yang agresif dapat menunda, bahkan mencegah berkembangnya masalah kesehatan yang serius," demikian isi undang-undang tersebut, menurut The Florida Times-Union.

Undang-undang tersebut mengamanatkan bahwa semua karyawan yang berusia antara 45 dan 74 tahun harus mengukur lingkar pinggang mereka setiap tahun, memastikan angkanya ideal. Para karyawan juga akan menerima panduan jika berat badan mereka yang dianggap berlebih tidak turun setelah tiga bulan.

Fry juga beranggapan, penting untuk mendesak agar pengukuran pinggang dilakukan setiap tahun sejak seorang anak pertama kali bersekolah. Komentar Fry merujuk pada panduan yang diterbitkan National Institute for Health and Care Excellence Inggris (Nice) pada April 2023.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini