Sukses

Beragam Jenis dan Hak Kekayaan Intekektual yang Didapatkan Seniman Grafis

Seniman grafis meliputi berbagai karya seperti ilustrasi, gambar, logo, desain logo, banner, brosur, dan karya seni lainnya yang dihasilkan menggunakan software desain. Para seniman grafis mendapatkan pelindungan kekayaan intelektual dalam ranah hak cipta yang pada prinsipnya memberikan pelindungan untuk karya seni mereka.

Liputan6.com, Jakarta - Hasil karya para seniman memiliki banyak bentuk, dan perlindungannya juga tergantung pada kategori yang ada dalam hak kekayaan intelektual (HKI). Menurut World Intellectual Property Organization, kekayaan intelektual adalah kreasi pikiran berupa invensi, sastra, seni, simbol, nama, gambar, dan desain yang digunakan dalam kegiatan perdagangan.

Menurut Direktorat Hak Cipta dan Desain Industri Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), Kekayaan Intelektual (KI) untuk seniman grafis meliputi berbagai karya seperti ilustrasi, gambar, logo, desain logo, banner, brosur, dan karya seni lainnya yang dihasilkan menggunakan software desain. Dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com dari DJKI, Jumat, 12 Januari 2024, para seniman grafis mendapatkan pelindungan kekayaan intelektual dalam ranah hak cipta yang pada prinsipnya memberikan pelindungan untuk karya seni mereka.

Dalam Hak Cipta, para seniman grafis mendapatkan hak eksklusif dalam hal ini, yaitu hak yang hanya diperuntukkan bagi Pencipta, sehingga tidak ada pihak lain yang dapat memanfaatkan hak tersebut tanpa izin Pencipta. Hak eksklusif ini terdiri atas hak moral dan hak ekonomi.

Hak cipta sendiri adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hak cipta memberikan perlindungan otomatis terhadap karya seni yang diciptakan oleh seseorang.

Dengan kata lain, suatu karya cipta uamg dihasilkan oleh seorang seniman grafis sudah dilindungi sejak karyanya dipublikasikan ke khalayak ramai tanpa perlu mencatatkannya di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham RI. Hal ini mengingat bahwa pencatatan Ciptaan bukan merupakan syarat untuk mendapatkan Hak Cipta dan pencatatan hanya merupakan bukti awal kepemilikan suatu Ciptaan.

Meski begitu, pencatatan suatu ciptaan akan menjadi penting apabila terjadi sengketa dengan pihak lain dimana pencatatan ini menjadi dasar atas kepemilikan ciptaan dimaksud.  Situasi dan perkembangan pelindungan KI untuk seniman grafis saat ini menjadi sangat penting dalam mendukung keberlanjutan dan pertumbuhan industri kreatif dan seni.

Walaupun ada tantangan seperti pencurian dan pelanggaran hak cipta, terutama di era digital, teknologi baru seperti manajemen digital rights dan blockchain dapat membantu melindungi HKI. Sosialisasi dan edukasi tentang pentingnya HKI terus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran dan perlindungan hukum atas karya seniman grafis.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Kekayaan Intelektual Mengacu pada Kreasi Pikiran

Dari sisi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), pada prinsipnya semua karya pelaku ekonomi kreatif dapat dilindungi dengan Hak Kekayaan Intelektual (HKI), karena menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif telah didefinsikan sebagai sebagai perwujudan nilai tambah dari kekayaan intelektual yang bersumber dari kreativitas manusia yang berbasis warisan budaya, ilmu pengetahuan dan/atau teknologi.

Kekayaan Intelektual mengacu pada kreasi pikiran, seperti invensi; karya sastra dan artistik; desain; dan simbol, nama, dan gambar yang digunakan dalam perdagangan. Sedangkan Hak Kekayaan Intelektual adalah hak untuk memperoleh pelindungan secara hukum atas kekayaan intelektual tersebut.

Menurut Dr Sabartua Tampubolon, SH, MH selaku Direktur Pengembangan Kekayaan Intelektual Kemenparekraf pada Liputan6.com, Kamis, 11 Januari 2024, dalam perkembangannya, berdasarkan Perpres 96 Tahun 2019 jo Perpres 97 Tahun 2019, di Indonesia terdapat 17 (tujuhbelas) subsektor Ekonomi Kreatif.

Hal itu meliputi subsektor aplikasi, pengembangan permainan, arsitektur, desain interior, desain komunikasi visual, desain produk, fashion, film, animasi dan video, fotografi, kriya, kuliner musik, penerbitan periklanan, seni pertunjukan, seni rupa serta televisi dan radio. Seluruh karya milik pelaku ekonomi kreatif yang termasuk dalam cakupan subsektor ekonomi kreatif merupakan kekayaan intelektual yang dapat dilindungi HKI.

HKI diperoleh lewat sistem konstitutif dan sistem deklaratif. Sistem konstitutif atau first to file system mengatur bahwa pendaftaran adalah bentuk pelindungan hukum yang menimbulkan kepastian hukum. Terdapat beberapa rezim HKI yang menggunakan sistem konstitutif seperti Paten, Merek, Desain Industri, dan Desain Tata Letak Sirkuit Terbaru.

3 dari 5 halaman

Perlindungan HKI

Sedangkan sistem deklaratif (first to use system) merupakan sistem pelindungan yang tidak mewajibkan pendaftaran HKI untuk memperoleh pelindungan hukum, karena perlindungan hukum bersifat otomatis sejak karya tersebut dipublikasikan meskipun tidak didaftarkan. Pelindungan hukum bagi pencipta pertama telah dijamin oleh undang-undang. Sistem deklaratif berlaku untuk rezim Hak Cipta dan Rahasia Dagang. Untuk Hak Cipta, dapat dilakukan pencatatan namun tidak bersifat wajib

"Sebagai informasi, pelindungan HKI dapat diproses ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM. Proses pendaftaran dan pencatatan sudah menggunakan proses digital dan dapat diakses melalui: https://dgip.go.id/,” terang Sabartua Tampubolon.

“Situasi dan perkembangan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia sudah mengalami kemajuan, meskipun sosialisasi dan edukasi HKI masih sangat perlu ditingkatkan, bukan saja di kalangan pelaku ekonomi kreatif, tetapi juga masyarakat luas. Proses kreatif dan inovasi akan terus berkembang, apabila penghargaan terhadap sebuah karya kreatif dan inovasi tersebut juga terjamin," tambahnya.

Dalam kaitan ini, Kemenparekraf/Baparekraf terus berupaya untuk mengembangkan ekonomi kreatif sekaligus perlindungan hukumnya. Hal ini dapat dilihat dari Indikator Kinerja Utama Kemenparekraf/Baparekraf yang diupayakan untuk meningkatkan pengembangan ekonomi kreatif melalui:

1. Peningkatan Nilai tambah Ekonomi Kreatif

Pada 2022, nilai tambah ekonomi kreatif mencapai kurang lebih Rp1.280 triliun, sedangkan tahun 2023 sesuai data hingga September 2023 mencapai Rp1.050,44 triliun rupiah.

4 dari 5 halaman

2. Peningkatan Ekspor Ekonomi Kreatif

Pada tahun 2022, ekspor ekonomi kreatif Indonesia mencapai 26,94 miliar dolar AS. Sedangkan pada 2023, sesuai data per September 2023 ekspor ekonomi kreatif senilai 17,38 miliar dolar AS.

3. Peningkatan Jumlah Tenaga Kerja Ekonomi Kreatif

Pada 2022 jumlah tenaga kerja ekonomi kreatif Indonesia mencapai 23,98 juta orang, sedangkan tahun 2023 sudah mencapai 24,34 juta orang yang menjadi tenaga kerja ekonomi kreatif.

“Dalam pengembangan HKI, berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan termasuk dengan World Intellectual Property Organization (WIPO) dalam pengembangan IP Branding,” jelas Sabartua Tampubolon.

Sementara itu, Ari Juliano Gema selaku Partner di kantor hukum Assegaf Hamzah & Partners mengatakan, pelindungan hak cipta pada dasarnya memberikan hak kepada seniman grafis untuk melarang pihak lain atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakan karyanya, dengan pembatasan-pembatasan yang diatur dalam UU Hak Cipta. 

Hak cipta pada dasarnya terdiri dari hak moral dan hak ekonomi. Hak moral terdiri dari hak untuk diakui sebagai pencipta dari karyanya (hak atribusi), dan hak agar karyanya tidak dimutilasi atau dimodifikasi (hak integrasi). Sedangkan hak ekonomi pada dasarnya terdiri dari hak mengumumkan dan hak menggandakan.

5 dari 5 halaman

Perlindungan Hak Cipta Secara Otomatis

Perlindungan hak cipta bersifat deklaratif, artinya pelindungan hak cipta secara otomatis diterima pencipta sejak pertama kali karyanya dipublikasikan. “Namun, seniman grafis dapat juga mencatatkan karyanya di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual untuk mendapatkan Surat Pencatatan Ciptaan yang dapat menjadi bukti awal apabila terjadi sengketa atau pelanggaran hak cipta atas karyanya,” jelas Ari pada Liputan6.com, Jumat, 12 Januari 2024.

Ia menambahkan, dengan berkembangnya teknologi Artificial Intelligence (AI) saat ini, setiap orang dapat dengan mudah menggunakan aplikasi generative AI untuk menghasilkan karya grafis. Padahal pengembang generative AI tersebut kemungkinan besar menggunakan karya-karya seniman grafis sebagai data latihnya, yang dilakukan secara tanpa izin, tanpa atribusi, dan/atau tanpa kompensasi.

Karya-karya yang dihasilkan generative AI tersebut mungkin saja tidak orisinal karena mengandung unsur-unsur yang bersifat substansial dari karya-karya grafis yang menjadi data latihnya.

“Oleh karena itu, para seniman grafis perlu menyadari hak-haknya terhadap kemungkinan penggunaan karya-karyanya sebagai data latih dalam pengembangan generative AI secara tanpa izin, tanpa atribusi, dan/atau tanpa kompensasi,” pungkasnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini