Sukses

Tolak Pajak Hiburan 40 sampai 75 Persen, Pelaku Usaha Spa Ajukan Judicial Review ke MK

Pelaku usaha spa bereaksi atas pajak hiburan naik 40 persen dan maksimal 75 persen dari sebelumnya hanya 15 persen. Ketentuan itu tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).

Liputan6.com, Jakarta - Pelaku usaha spa bereaksi atas pajak hiburan naik 40 persen dan maksimal 75 persen dari sebelumnya hanya 15 persen. Ketentuan itu sendiri tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).

"Kami mewakili penggugat ada 22 orang, baik di Jakarta maupun di Bali, kami sepakat untuk melakukan judicial review sehingga pada 3 Januari kita ke MK, kemudian diterima secara resmi itu 5 Januari 2024," kata Ketua Asosiasi Spa Terapis Indonesia (ASTI) Mohammad Asyhadi saat ditemui di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis, 11 Januari 2024.

Menurut pandangan pihaknya, proses penyusunan UU tersebut tidak melibatkan stakeholders. "Itu menjadi syarat MK bisa melakukan judicial review, yang menguji kembali apakah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 45, terutama rasa keadilan," kata Didi, begitu ia akrab disapa.

Pihaknya berfokus di Pasal 55 Ayat 1 dan Pasal 58 Ayat 2. "Pasal 55 Ayat 1 itu, kita (spa) dimasukkan dalam kategori hiburan, padahal kita tidak sama dengan hiburan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan terkait spa itu di Pasal 14 itu sendiri, spa di nomor 13," terangnya.

Didi menyebut pula dalam Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha Pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Pariwisata, spa tidak masuk di kategori hiburan. Karena objek spa adalah manusia, operasionalnya diatur oleh Kementerian Kesehatan, yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Spa Bukan Hiburan

"Jadi dengan dasar itu, spa bukan hiburan. Jadi kami judicial review, body of knowledge-nya jelas di kesehatan karena objeknya manusia," tegas Didi.

Soal besaran pajak, dikatakan Didi, sebenarnya tidak serta merta 40 persen. "Jadi, ada pajak lain misalnya PPh21, PPh23 badan, (PPh) Pasal 4 ayat (2) tentang sewa menyewa, itu saya hitung bisa 67 persen, itu cost ratio enggak masuk," jelasnya.

Ia menerangkan bahwa, "Kami menganggap ini sangat bertentangan dengan rasa keadilan."

Anggota Asosiasi Spa Indonesia (ASPI) sekaligus perwakilan Taman Sari Royal Heritage Spa, Kusuma Ida Anjani mengatakan selama pandemi Covid-19 banyak bisnis yang masih berjuang hingga tak sedikit pula yang tutup, termasuk di industri spa. Ia menyebut bahwa insentif dapat membantu pengembangan industri yang masuk dalam kategori wellness ini.

"Yang kami sebut insentif bisa dimulai dengan tidak memberatkan. Bila ditambah cost, 75 persen maksimal, 75 persen mungkin bisa melebihi cost business untuk beroperasi," katanya.

Ajeng, begitu ia akrab disapa, menambahkan ketika pelaku usaha dihadapkan dengan kondisi demikian, ada beberapa dampak yang tentunya akan terasa. "Yang pertama, pengurangan pekerja. Dampaknya PHK, ini akan berdampak sangat besar, tidak hanya satu usaha yang akan melakukan ini, tapi masif," lanjutnya.

"Kedua, memahami dari segi cost, tentu spa didukung produk-produk kosmetik, bahan baku naik, dengan ini berapa besar cost yang harus dikurangi," lanjutnya.

3 dari 4 halaman

Dampak-Dampak Kenaikan Pajak

 

Ia melanjutkan, "Bagaimana kita bisa memberikan pelayanan terbaik bila sangat terbatas dari sisi cost yang sangat besar yang harus dikurangi, kami tidak ingin ini berdampak pada kualitas."

Anggota Asosiasi Spa Indonesia (ASPI) sekaligus Direktur Martha Tilaar Spa, Wulan Tilaar menerangkan bahwa industri spa saat ini masih belum pulih. "Belum 100 persen back to normal," katanya saat ditemui pada kesempatan yang sama.

Walau begitu, ia bersyukur banyak orang sudah kembali menjalankan perawatan di spa kebugaran. "Tapi banyak juga orang yang masih paranoid untuk menjalankan treatment karena dia langsung body contact," tambahnya.

Wulan menjelaskan, "Jadi catatan bagi kami ke depannya, pajak 40 persen belum lagi kita punya pajak yang lain, PPN, PPh, PBB, ada sewa menyewa itu juga pasti masuk dalam cost kami."

Pihaknya juga fokus kepada para pelaku usaha yang masih di skala UMKM. "Kalau ini terjadi, pasti akan mematikan industri spa di Indonesia," terangnya.

Dikatakannya, Indonesia melihat potensi kekayaan alam, budaya, dan tradisi yang sudah dituangkan ke dalam treatment, yaitu etnowellness. "Di Indonesia berusaha kita promosikan sekuat tenaga, jangan sampai usaha-usaha yang kita lakukan bertahun-tahun itu akan gagal hanya karena pajak yang memberatkan industri ini," tegasnya.

4 dari 4 halaman

Potensi Besar Wisata Wellness

Di sisi lain, Ajeng turut mengungkapkan dampak spa terhadap berbagai faktor, mulai dari ekonomi, penciptaan lapangan pekerjaan, pemeliharaan budaya, menjaga kesejahteraan kebugaran masyarakat, dan tentunya di dalam Sustainable Development Goals. Pihaknya disebut telah menawarkan perawatan kebugaran dan juga kecantikan berbasis budaya.

"Kami selama 20 tahun lebih merasa beruntung dapat sampai di posisi ini karena kami bisa memperkenalkan spa dengan basis budaya Indonesia, tidak hanya di dalam negeri, tapi juga di mancanegara," jelasnya.

Pencapaian ini, dikatakan Ajeng, menjadi bukti masyarakat Indonesia dan turis asing menghargai perawatan kesehatan kebugarand ari spa yang berbasis warisan budaya Indonesia yang sangat kental. "Dalam industri ini, spa berfokus dalam tiga pilar, yaitu body, mind, and soul. Ini menjadi suatu daya tarik yang luar biasa yang bisa menjadi salah satu penyokong untuk industri pariwisata di Indonesia," lanjut Ajeng.

"Kontribusi spa dampak yang bisa diberikan kepada ekonomi, kita mengetahui bahwa wisata kebugaran memiliki potensi yang luar biasa besar di dunia, bahkan Indonesia saat ini masih ada di peringkat 17, harapan kami, kita bisa mencapai paling tidak top 5," tuturnya.

Wisata wellness, disebutkannya, juga berkontribusi tinggi bila dilihat dari data global. "Tercatat kenaikan sekitar 4,2 triliun dolar AS di tahun 2017 menjadi 4,5 triliun dolar AS di 2019," lanjutnya.

Dampak selanjutnya adalah penciptaan lapangan pekerjaan. "Kita semua memahami bahwa Indonesia saat ini memiliki strategi yang sangat penting untuk menyongsong Indonesia Maju, salah satu pilar penting adalah SDM," katanya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.