Sukses

Dampak Perubahan Iklim di Indonesia, Menambah Bentuk Bencana hingga Pengaruhi Sektor Pangan dan Ekonomi

Bumi sedang tidak baik-baik saja, hal ini sudah sangat terasa dengan berlangsungnya perubahan iklim. Bukan hanya memengaruhi kehidupan masyarakat terkait perubahan cuaca ekstrem, risiko bencana alam juga disebut akan meningkat di Indonesia dalam waktu dekat.

Liputan6.com, Jakarta - Bumi sedang tidak baik-baik saja, hal ini sudah sangat terasa dengan berlangsungnya perubahan iklim. Bukan hanya memengaruhi kehidupan masyarakat terkait perubahan cuaca ekstrem, risiko bencana alam juga disebut akan meningkat di Indonesia dalam waktu dekat.

Bahasan tersebut dikupas dalam Live Streaming Liputan6 Climate Talk bertajuk "Perubahan Iklim Perparah Bencana Alam, Apa Solusinya?" yang ditayangkan di berbagai platform pada Jumat (8/9/2023). Tayangan ini menghadirkan narasumber seperti Environment Officer USAID, Ryan Weddle dan Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi, serta Perempuan Adat Bathin Sembilan Batanghari di Jambi, Bik Teguh.

USAID sebagai lembaga pembangunan internasional Amerika Serikat (AS) telah meluncurkan berbagai rencana program di Indonesia, sebagai negara prioritas strategi global. Badan independen dari pemerintahan Negeri Paman Sam ini bertanggung jawab atas bantuan untuk bidang ekonomi, pembangunan, dan kemanusiaan untuk negara-negara lain di dunia dalam mendukung tujuan-tujuan kebijakan luar negeri AS.

"Indonesia jadi salah satu fokus kita terkait climate change karena banyak faktor seperti penduduknya yang banyak. Indonesia juga rentan mengalami banjir. USAID bersama pemerintah Indonesia bekerja sama untuk mengatasi perubahan iklim," ungkap Environment Officer USAID, Ryan Weddle mengawali perbincangan.

Bahkan kini keprihatinan akan kondisi bumi tak lagi disebut sebagai global warming atau pemanasan global, tapi sudah mengarah pada perubahan iklim yang luas dampaknya seperti terjadinya badai tropis, kekeringan, gelombang panas yang mencakup perubahan alam. "Perubahan iklim berpengaruh pada bencana, menambah bentuk dari bencana dari siklon tropis yang beberapa tahun ini mendekat ke khatulistiwa, kedua bentuk baru banjir rob menenggelamkan selatan Jawa dan pantai barat Sumatera," papar Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi. 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Multiefek Bencana Berdampak ke Pangan dan Ekonomi Indonesia

Lebih jauh Zenzi mengatakan, perubahan iklim juga memengaruhi siklus tahunan, masa panas lebih panjang dan musim hujan tidak terprediksi ini mengakibatkan multiefek bencana. Dengan itu pula, dampaknya juga ke bencana pangan karena kegagalan sektor lain.

Sejak beberapa tahun, suhu rata-rata harian meningkat di beberapa daerah di Indonesia. Hal ini menuntut manusia beradaptasi dari sisi sosial, terutama di desa perubahan iklim berdampak penurunan drastis angka nelayan, karena mereka berpindah jadi petani. Begitu juga generasi baru petani pindah ke kota dan beradaptasi.

"Bencana alam jika tidak ada interupsi, akan meluas dan meningkat banjir karena curah hujan di Indonesia sebenarnya tidak berubah tapi periode dan durasi. Kalau daya tampung ekosistem di indonesia tetap, tapi (nyatanya) menyusutnya lanskap hutan ini ikut memengaruhi risiko banjir," tambahnya.

Ia menyambung lagi, "Kekeringan, kemarau, menimbulkan rentetan bencana lain, berdampak pada gagal panen, asap, berujungnya menghambat pergerakan ekonomi di Indonesia."

3 dari 4 halaman

Solusi Memperlambat Perubahan Iklim

Tentu manusia tidak bisa diam saja melihat bencana dan perubahan besar yang akan terjadi jika perubahan iklim tak diatasi. Ryan menyebut bahwa manusia bisa memperlambat dampak perubahan iklim, mulai dari penanganan polusi, sektor energi, mengurangi penggunaan transportasi, hingga mencegah deforestasi.

"Kita bisa mencegah pembabatan hutan seperti yang ada di Kalimantan dan Sumatera untuk memperlambat perubahan iklim di seluruh dunia," tegasnya.

Pihak UNSAID pun memberikan solusi kepada petani tentang pertanian berbasis natural dalam program Smart Agriculture. Selain itu ada upaya untuk membuat ruang terbuka hijau makin banyak tersedia di kota-kota besar. 

"Tapi bukan hanya infrastruktur saja, juga sistem inofrmasi terhadap perubahan iklim agar masyarakat mengetahui ini (mencegah dampak perubahan iklim)," katanya lagi.

USAID pun sudah bekerja sama dengan pemerintah mengidentifikasi hal-hal yang memperparah perubahan iklim. Menyarankan industri untuk berhenti menggunakan batu bara agar polusi bisa berkurang, manajemen air, dan bahkan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang memiliki visi hutan kota bisa sangat baik untuk mengubah perubahan iklim.

4 dari 4 halaman

Masyarakat Bertanggung Jawab Akan Perubahan Iklim

Kembali menyambung, Zenzi mengatakan secara global manusia harus mengubah pandangannya terhadap gaya hidup sekarang yang tidak ramah lingkungan dan berpotensi jadi bencana di masa depan. "Saya lihat kontribusi besar terhadap pelepasan emisi, kalau mau membuat selamat, regulasi yang menjadi pelepasan emisi harus diubah," tambahnya.

Selain itu dalam kajian, Indonesia membutuhkan dua regulasi, untuk penurunan pelepasan emisi. Pertama Undang-Undang keadilan iklim yang mengatur lingkungan alam dan komisi khusus penegakan lingkungan. "Indonesia meletakkan ekonomi pada Sumber Daya Alam (SDA) tapi tidak membuat badan penegakkan, justru membuat badan penanganan bencana," tukasnya.

Seharusnya pula, dengan ketergantungan pada SDA, Indonesia harus patuh pada kaidah prinsip pelestarian lingkungan. Menyambung pelestarian alam, Perempuan Adat Bathin Sembilan Batanghari di Jambi, Bik Teguh, menyampaikan bahwa hutan perlu dilestarikan, khususnya untuk dirinya sebagai masyarakat yang bergantung hidupnya dari hutan.

"Perempuan dan anak banyak beraktivitas di hutan sehari-hari jadi kami sangat penting dengan hutan kami," sebut Bik Teguh.

Namun banyak yang berubah dari hutan saat ini. Pada 2015, ia melihat sudah ada ratusan hektarehutan dibabat habis. "Cari madu dan rotan, sudah sangat sulit perkebunan sawit harus ada ijazah, selain kerja buruh mengangkat sawit tidak ada yang bisa dilakukan," ceritanya. 

Deforisasi hutan juga membuat tumbuhan obat sulit dicari, meskipun tanaman seperti pasak bumi, akar-akaran, masih ada tapi sebagian besar sudah sangat jarang ditemukan. Ia pun bersama perempuan adat lainnya berusaha menjaga hutan dengan patroli, meskipun tetap kecolongan. 

Namun Bik Teguh bersama kelompoknya yang berangotakan lima orang pada 2019 sudah menanam sekitar 100 hektare lahan dengan pohon baru. Ia pun memiliki harapan pada pemerintah, "Janganlah beri izin kelompok (membabat lahan) kalau kasih izin 100 hektare bisa babat 200 hektare." 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini