Sukses

Pakar Farmasi Sebut Jamu Perlu Data Empiris Sebagai Bukti Aman untuk Dikonsumsi Masyarakat

Tanaman obat dan produk jamu nusantara perlu dilengkapi dengan data empiris. Hal itu bisa sebagai bukti nyata keamanan untuk dikonsumsi masyarakat.

Liputan6.com, Jakarta - Sebagai minuman tradisional, jamu sebaiknya tetap ada data empris (hasil percobaan atau observasi). Hal itu dikemukakan para farmasi yang merupakan Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Prof Suwijiyo Pramono.

Ia mengemukakan tanaman obat dan produk jamu nusantara perlu dilengkapi dengan data empiris sebagai bukti nyata keamanan untuk dikonsumsi masyarakat. "Pengertian turun temurun atau empiris ini di antaranya, telah digunakan lebih dari tiga generasi. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), disebut turun temurun karena telah digunakan lebih dari 50 tahun, atau telah tercantum dalam buku kuno tentang obat tradisional," kata Suwijiyo Pramono dalam sebuah webinar Mengenal Jamu Nusantara yang dikutip dari Antara, 8 September 2021.

Suwijiyo mengatakan ada sejumlah tanaman obat dan produk jamu nusantara yang telah terpublikasi khasiatnya dalam buku kuno tentang obat tradisional seperti Primbon Serat Jampi Jawi, buku Heyne, Cabe Puyang Warisan Nenek Moyang, Obat Asli Indonesia, buku Kloppenburg, Usada Bali dan Serat Centini.

Selain kriteria tersebut, obat tradisional juga perlu memenuhi ramuan bahan baku yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian atau gelatik atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan serta sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.

Suwijiyo juga mengungkap berbagai tantangan dalam memenuhi kriteria data empiris baik pada obat tradisional maupun jamu nusantara yang kini menghinggapi kalangan produsen di Tanah Air

"Dosisnya masih berupa dosis tradisional dari bahan segar serta saran pembuatan dan penyajiannya tidak mudah dikomersialkan. Sering berisi bahan yang tidak mudah diperoleh bahkan ramuan empiris yang sesuai indikasi yang banyak diinginkan industri jumlahnya terbatas," terangnya.

Salah satu contohnya, kata dia, adalah penentuan dosis dengan ukuran tradisional. "Misalnya penentuan dosis satu genggam tangan, itu tangannya siapa?, yang membuat obat atau yang mau mengonsumsi obat?," katanya.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Klaim Khasiat Jamu Harus Rasional

Suwijiyo juga mengungkap bahwa kalangan industri masih kesulitan dalam memenuhi persediaan obat tradisional sebab bahan baku tertentu yang terlarang maupun yang sulit ditemukan.

"Contohnya 'arcangelisia flava' atau akar kuning yang tumbuh di daerah rawa di Kalimantan Tengah. Tanaman itu mengandung alkaloid berberin yang hepatotoksik sehingga dilarang oleh BPOM sebagai penyusun formula produk obat tradisional. Namun pada fakta lain, suku Dayak merebus akar kuning tidak dengan air biasa, tetapi dengan air payau dan ternyata pada uji toksisitas tidak hepatotoksik," tuturnya.

Suwijiyo menambahkan data empiris juga perlu dilengkapi dengan jaminan keamanan penggunaan seperti tidak mengandung bahan toksik, tidak mengandung bahan kimia obat, memenuhi persyaratan bahan baku dan memiliki klaim penggunaan yang rasional dan sesuai peraturan perundang-undangan.

Klaim khasiat juga harus rasional. Misalnya, satu produk jamu tidak dapat digunakan untuk banyak indikasi. "Selain itu tidak boleh ada klaim yang sangat bombastis seperti dapat menurunkan berat badan 60 kg dalam sepuluh hari dan tidak boleh ada indikasi yang bertentangan satu dan lainnya. Misalnya dapat menurunkan tensi, dapat menaikkan tensi bagi penderita darah rendah," tutupnya.

 

3 dari 4 halaman

Jamu yang Tidak Boleh Dikonsumsi

Ada berbagai macam ramuan jamu yang punya segudang khasiat. Tapi, pemanfataan jamu tidak dilakukan hanya dengan cara diminum. Dalam ulasan Jaringan Gastronomi Indonesia yang bekerja sama dengan ACARAKI, dilansir dari laman Google Arts & Culture, Rabu, 26 Juli 2023, masyarakat Jawa melakukan klasifikasi jamu secara rinci berdasarkan jamu yang boleh dikonsumsi dan jamu yang tidak boleh dikonsumsi.

Jamu yang tidak boleh dikonsumsi diklasifikasikan menurut tempat penggunaannya. Dari sekian banyak, berikut beberapa di antaranya.

1. Pilis

Jamu ini berisi ramuan yang ditaruh di dahi, diletakkan di atas ubun-ubun bayi sampai balita.

2. Tapel

Ini merupakan ramuan yang dioleskan di perut, kadang sampai dada.

3. Boreh

Ini mengandung ramuan yang dioleskan ke seluruh tubuh.

4. Singgul

Singgul adalah ramuan yang digunakan sebagai "pencegah" dlingo bengle yang dihaluskan, lalu dioleskan ke belakang telinga saat penggunanya berduka atas kematian.

5. Lulur body scrub

Formulasinya digunakan untuk membersihkan pori-pori atau menghaluskan kulit.

6. Pyok-pyok

Ini digunakan untuk menepuk bagian wajah yang dibersihkan menggunakan bedak dingin.

 

4 dari 4 halaman

7. Sampo Jamas

Ini menggunakan air abu merang, yakni batang padi yang dikeringkan setelah bulir padinya diambil saat proses panen. Abu yang direndam semalaman kemudian disaring untuk digunakan kembali. Jamas adalah sampo alami tanpa busa maupun bahan kimia tambahan.

8. Rambang

Ini adalah cara untuk menyembuhkan, membersihkan, atau mengobati mata akibat iritasi dan gatal-gatal. Caranya biasanya menggunakan daun sirih yang dihaluskan, kemudian disaring. Air teh wayu, yang didiamkan semalaman sebelum digunakan, juga bisa digunakan untuk manfaat yang sama.

9. Jamu Sembur

Ini adalah praktik seseorang menyembur jamu atau air yang telah diberi mantra atau doa oleh dukun. Sembur umumnya banyak digunakan untuk mengobati anak yang sedang demam, batuk, atau kesurupan.

Di luar empat metode penyembuhan, seperti mantra, ritual, pijat, atau gosok serta konsumsi ramuan tanaman obat, masyarakat Jawa percaya ada kekuatan ilahi sebagai "pemilik dan penyembuh sejati." Karena itu, sebelum mengonsumsi atau menggunakan jamu, biasanya ada mantra atau doa yang dibacakan.

 

Disclaimer: Jamu adalah ramuan tradional berbahan alami yang bisa membantu kesehatan tubuh. Bila ada keluhan kesehatan, sebaiknya dikonsultasikan kepada dokter.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini