Sukses

Ubah Kebiasaan Belanja supaya Lebih Ramah Lingkungan

Kontribusi untuk membangun kebiasaan belanja ramah lingkungan nyatanya dapat dilakukan dari hal-hal kecil.

Liputan6.com, Jakarta - Tanpa sadar, kebiasaan belanja sehari-hari bisa berdampak buruk bagi lingkungan jika tidak dilakukan dengan bijak. Dengan mengubah kebiasaan belanja dan konsumsi produk, sesungguhnya Anda bisa berkontribusi mengurasi polusi plastik dunia.

Kontribusi itu bisa dimulai dari hal-hal sederhana, seperti mengganti plastik dengan wadah yang bisa digunakan berulang kali atau belanja sesuai kebutuhan saja. Praktik gaya hidup berkelanjutan ini kemudian dibahas lebih mendalam melalui panel diskusi Indonesia Green Living Festival yang diselenggarakan Project Planet ID.

Konsep belanja ramah lingkungan ini juga didukung fasilitas yang kerap disebut bulk store. Serupa dengan minimarket pada umumnya, toko seperti ini menjual kebutuhan sehari-hari, hanya saja tanpa menggunakan kemasan, terlebih kemasan plastik.

Bulk store umumnya mengusung konsep belanja sehat tanpa limbah. Sama halnya dengan yang dilakukan BulkSource, bisnis dengan dua outlet di Menteng dan Kemang, Jakarta.

“Berangkat dari kekhawatiran terhadap limbah dan sampah di Jakarta, terutama sampah plastik, BulkSource hadir membantu mengenalkan green living pada sebanyak-banyaknya masyarakat dan kenapa masyarakat harus melakukan perubahan,” ujar Putri Arif Febrila, Co-Founder dan CEO BulkSource dalam panel diskusi "Am I a Guilty Shopper? Ways to Redesign Your Grocery Shopping Habits", Sabtu, 12 September 2020.

Menurutnya, ada tiga kebiasaan belanja yang tanpa disadari membahayakan lingkungan. Pertama, masyarakat cenderung membeli produk yang sebenarnya tak dibutuhkan dan tak memberi nilai signifikan dalam hidup.

“Hanya karena banyak perusahaan yang memprioritaskan kepentingan mereka sendiri tanpa memikirkan jangka panjang atau siklus penggunaan produk, mereka akan terus mendorong kita membeli produk yang sebenarnya tidak kita butuhkan,” ucapnya.

Kedua, budaya sekali pakai yang berkembang, di mana masyarakat tak terbiasa menggunakan barang yang dapat digunakan kembali hingga jadi kebiasaan belanja. Terakhir, yaitu tentang pola pikir yang mewajarkan keberadaan limbah plastik dan material lain yang tak bisa didaur ulang.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Ubah Rutinitas Berbelanja

Silvija Rumiha, Founder of Zero Waste Bali, menambahkan bahwa kebiasaan belanja masyarakat harus diubah. Berawal dari pola pikir masing-masing.

“Sebelum beli sesuatu, kebiasaan yang harus kita ubah mulai dari mempertanyakan diri sendiri. 'Apakah saya benar-benar membutuhkannya? Apakah saya menyukainya? Seberapa sering saya akan menggunakannya?’. Dengan begitu, perlahan kita setidaknya bisa lebih bijak saat belanja,” ungkapnya.

Ia mengatakan, tidak ada salahnya membeli sesuatu yang diinginkan karena semua orang bebas berekspresi. Tapi, alangkah baiknya jika membeli seperlunya saja dan tidak berlebihan, sama seperti konsep berbelanja di bulk store.

Oleh karena itu, Putri juga menambahkan, penting untuk membuat rencana sebelum berbelanja sehingga barang yang dibeli tidak melebihi kebutuhan dan tidak jadi sia-sia. Menurutnya, pola belanja juga harus diatur agar tak terjebak membeli sesuatu yang tidak perlu.

“Di Jakarta, misalnya. Kadang kita juga terbiasa menghabiskan akhir pekan dengan pergi ke mal dan tanpa sadar berbelanja hal yang tidak kita butuhkan. Jika pola pikir itu tidak diubah, kita akan terpancing terus untuk membelinya,” tambahnya.

 

3 dari 3 halaman

Pentingnya Komunitas dalam Mengedukasi Masyarakat

Salah satu program lain yang mendukung konsep belanja ramah lingkungan berasal dari Siklus, organisasi nirlaba di bidang kesehatan masyarakat. Program tersebut dinamakan Gerobak Refill Station Program, yang mana menjual berbagai kebutuhan sehari-hari dengan konsep isi ulang dan harga terjangkau bagi masyarakat berstatus ekonomi rendah.

Jane Von Rabenau, Co-Founder dan CEO Siklus, mengatakan bahwa tantangan terbesar pihaknya, yakni mengedukasi masyarakat tentang kebiasaan menggunakan wadah yang dapat digunakan berulang kali. Terutama, bagi mereka yang terbiasa dengan kemasan sachet yang murah dan praktis.

“Sulit menjelaskan bagaimana hal ini bekerja. Padahal, praktiknya sangat mudah. Hanya dengan membawa wadah sendiri, mereka bisa isi ulang prosuk seperti sampo, sabun, dan lainya dengan harga lebih bersahabat dibanding (produk) sachet,” katanya.

Oleh karena itu, di sinilah komunitas berperan mengedukasi masyarakat tentang sistem belanja ramah lingkungan. Tak semata membangun usaha, penting pula untuk melahirkan komunitas demi tujuan baik.

Mereka mengatakan praktik ini dapat dimulai dari hal-hal kecil. Tak perlu membandingkan usaha yang dilakukan orang lain, tapi semuanya bisa dikerjakan secara perlahan, tapi pasti. Dimulai dari diri sendiri, baru ditularkan ke orang terdekat.

Silvija mengungkapkan, zero waste hanyalah konsep, tapi sesungguhnya tidak ada kehidupan yang benar-benar bebas limbah. “Anda tentu bisa membawa plastik sendiri saat berbelanja, itu tidak masalah. Maksimalkan penggunaan barang-barang di rumah Anda dan gunakan secara berulang. Inilah konsep zero waste saat berbelanja di bulk store sesungguhnya yang dapat membantu mengurangi dampak pencemaran," terangnya.

“Tidak perlu jadi sempurna dalam mempraktikkan zero waste. Yang penting terus dilakukan. Maka, gerakan sekecil apa pun bisa berdampak. Gunakan cara sendiri untuk mulai, cobalah untuk mengeleminasi hal-hal yang tidak diperlukan,” tambah Jane. (Brigitta Valencia Bellion)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.