Sukses

Cerita Panjang Tas Asal Semarang yang Dinilai Setara Brand Louis Vuitton oleh Bea Cukai Rusia

Pihak Bea Cukai Rusia tak meloloskan tas produksi Semarang yang hendak dipamerkan, keluar dari bandara, gara-gara tak percaya harganya jauh di bawah brand Louis Vuitton.

Liputan6.com, Jakarta - "Mereka tanya siapa yang buat (tas), saya bilang saya sendiri. Terus mereka jawab, 'Impossible'," cerita pemilik merek tas asal Semarang, Rorokenes, Syahnaz Nadya saat dihubungi Liputan6.com lewat sambungan telepon, Selasa, 20 Agustus 2019, soal insiden yang dialaminya tempo hari dengan pihak imigrasi Rusia.

Tak terlintas dibenak Syahnaz bahwa niat untuk ikut pameran produk kerajinan tangan asal Indonesia di Moscow, Rusia, bakal berbuntut panjang. Turun pesawat dan melewati pemeriksaan, Syahnaz harus berurusan dengan pihak bandara gara-gara penampakan tas sebanyak dua troli yang jadi barang bawaannya.

Menjalani pemeriksaan tanpa pendampingan selama tak kurang dari empat jam di ruang terpisah, produk tas dengan bahan baku kulit kambing itu disangka berasal dari hewan eksotis.

"Mereka tanya bahan baku, harga, semuanya saya jawab. Saya juga sudah kasih surat-surat yang biasa saya bawa kalau ikut pameran ke luar (negeri). Jawabannya tetap, 'Impossible'," tutur Syahnaz.

Setela berjam-jam melakukan negosiasi alot dengan pihak Rusia, Syahnaz akhirnya diminta menandatangani surat. Ia pun minta didampingi penerjemah unuk menjelaskan isi surat secara detail.

Dibantu mahasiswa asal Indonesia yang diizinkan masuk pihak bandara di Rusia, dijelaskan bahwa tuduhan yang dialamatkan pada Syahnaz adalah membawa barang sekelas branded tanpa membayar pajak.

"Padahal, harganya juga cuma sekitar 90 dolar (Amerika). Mereka tidak percaya dengan harga yang saya sebutkan melihat kualitas tas-tas yang ditahan. Mereka bilang itu sudah sekelas branded secara kualitas. Salah satunya kan ada dari karung goni, nah saya tidak tahu kaung goni itu mahal di Rusia," ujarnya.

Alhasil, tas-tas yang harusnya dipamerkan itu malah ditahan. "Pas pameran, saya jadinya cuma manfaatin tas yang saya pakai buat dikasih lihat ke orang banyak," tambahnya.

"Sampai sekarang, tas saya masih di pihak custom Rusia. Masih ditahan untuk dipelajari. Sekarang saya lagi tunggu surat berisi jumlah denda yang harus saya bayar karena ya tadi itu, mereka pikir saya bawa barang branded, tapi tidak bayar pajak," paparnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Berawal dari Kegemaran pada Tas Branded

Syahnaz bercerita, Rorokenes merupakan jawaban atas tantangan yang dilayangkan sang ayahanda. "Saya itu dulu suka banget sama tas Bottega Veneta. Tapi, harganya mahal kan. Karena rewel itu, bapak saya akhirnya bilang, 'Beli itu gampang, bikin yang susah, bisa nggak kamu?'," katanya.

Ucapan itu kemudian menyentil hati Syahnaz dan membuatnya melaukan riset selama berbulan-bulan. "Cari kulit, tukang, belajar model dari nol. Semuanya saya lakuin sampai akhirnya Rorokenes rilis di April 2014 pas Semarang Great Sale saya ingat banget," tutur Syahnaz.

Sesuai dengan niat awalnya, tas-tas produksi Rorokenes berparas mirip, hanya saja memakai material berbeda dengan produk Bottega Veneta. Tapi, seiring waktu, ide-ide baru, mulai dari model sampai kombinasi bahan, muncul dan diadaptasi Syahnaz.

"Sekarang sudah macam-macam. Ada yang pakai anyaman gedek, anyaman 12345, kombinasi dengan tenun. Saya juga pakai tenun sebagai bahan anyaman. Aplikasi kulitnya juga beragam, ada yang zig zag, macam-macam," terangnya.

Syahnaz menambahkan, proses pembuatan tasnya dijamin handmade. Mesin jahit adalah satu-satunya mesin yang digunakan dalam proses pembuatan. Ketika mencoba model baru, Syahnaz akan melakukannya dengan sangat serius selama tak kurang dari tiga minggu.

"Mulai dari gambar, menerjemahkan pola, mockup biar bisa dilihat mana yang kurang. Terus biasanya saya pakai dulu. Kalau sudah dipakai kan buat evaluasinya gampang, enak dan nggak enak di mana. Setelah cocok baru finishing," Syahnaz menjelaskan.

Dibantu tujuh pekerja, Rorokenes sanggup memproduksi rata-rata 350 tas per bulan. "Kalau (buat tas) sampai ribuan, hati saya kayaknya belum terpanggil. Karena ini kan artisan. Jadi, semua yang dibuat itu memang dari hati. Saya pun sangat menikmati setiap proses anyaman, eksplorasi bahan, semuanya," ucap Syahnaz.

3 dari 3 halaman

Ramah Lingkungan

Syahnaz menyebutkan, karena melakukan produksi sendiri dari awal sampai akhir, ia bisa secara langsung terlibat dalam proses ramah lingkungan yang dicanangkan dalam pembuatan tas Rorokenes. "Sisa produksi Rorokenes itu total hanya tiga persen. Itu pun sering ditekan karena saya biarin anak-anak (pekerja) buat segala macam supaya tidak terbuang sama sekali," tuturnya.

Juga, mengingat target pasar brand satu ini adalah perempuan usia 27--48 tahun, Syahnaz menyisipkan informasi-informasi terkait masalah perempuan di rentang usia demikian. "Saya sisipkan semacam pamflet tentang organisasai yang saya dukung namanya Pundi Perempuan di dalam setiap pembelian tas," katanya.

Lewat produk jualannya, Syahnaz ingin memberi dampak positif yang lebih luas dan nyata, khususnya bagi para perempuan. Aplikasi kesetaraan ini sudah dipraktikan di lingkungan kerja Rorokenes. "Body shaming dan segala macamnya itu sangat tidak boleh di sini. Saya mau mendapat kesan positif dari dalam dulu, supaya semua nyaman," ujar Syahnaz.

Soal desain, tas yang sudah sempat ikut pameran di dalam dan luar negeri, seperti Inggris, Australia, dan Tiongkok ini mengusung kesan timeless, elegan, dan etikal dengan harga mulai dari Rp1 juta.

"Paling mahal itu Rp3 juta. Jadi, logika pembeli harusnya sudah bisa berubah. Ketimbang beli tas KW, lebih baik beli produk lokal dengan harga bersaing dan kualitas terjamin," paparnya.

Kini, Syahmaz menjelaskan, Roorkenes tengah dalam proses negosiasi untuk dikirim ke Rusia. "Masih bicarain harga dan desain. Nanti juga saya bakal ada meeting sama orang Bali yang mau pasarin di Kanada," terangnya.

Pemesanan keluar ini sayangnya masih belum bisa memakai label Rorokenes. "Setiap keluar itu pasti off-label. Wacana ini juga yang sudah sering saya ajukan ke pemerintah. Kami ini butuh Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) internasional supaya urus legalisasinya mudah," ceritanya.

"Kami butuh jaminan pendampingan legal di negara-negara yang jadi sasaran pemasaran produk kami. Kalau ini sudah bisa, pasti ekspansinya bisa maksimal dan pakai nama merek kami sendiri," tutupnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.