Sukses

Pencemaran Udara Jakarta, MUI Bahas Fatwa tentang Perubahan Iklim

Merespons pencemaran udara Jakarta dan Indonesia yang kini tengah hangan, MUI tengah membahas penetapan fatwa mengenai perubahan iklim di mana emisi merupakan faktor utama penyebab krisis iklim ini

Liputan6.com, Jakarta - Perubahan iklim kini menjadi isu yang banyak dibahas. Salah satu yang menjadi sorotan adalah pencemaran udara di Indonesia, khususnya Jakarta.

Bertambah hari, kualitas udara Jakarta makin buruk. Jakarta yang menjadi pusat perekonomian Indonesia juga mempunyai karakteristik yang unik sehingga menghasilkan polutan yang lebih kompleks dibandingkan PM10, yaitu PM2,5.

PM2,5 adalah partikel halus dengan diameter kurang dari 2,5 µm, merupakan polutan udara yang diketahui dapat menyebabkan masalah kesehatan yang paling membahayakan.

Diperlukan langkah multipihak agar kualitas udara di Jakarta tidak makin memburuk. Itu termasuk lembaga berbasis keagamaan, seperti Ormas Islam.

Dr Hayu Prabowo, Ketua Lembaga Pemuliaan LH & SDA MUI menjelaskan, bagi umat Islam, Fatwa MUI no. 47/2014 tentang Pengelolaan Sampah untuk Mencegah Kerusakan Lingkungan merupakan acuan syariah dalam menangani permasalahan pencemaran udara ini.

MUI tengah membahas penetapan fatwa mengenai perubahan iklim di mana emisi merupakan faktor utama penyebab krisis iklim ini. Dunia, menurut Hayu, sudah menyadari bahwa kelompok agama belum dianggap sebagai sumber daya yang bernilai dalam mengatasi persoalan perubahan iklim karena sejatinya kerusakan bumi ini diakibatkan perilaku manusia yang eksploitatif terhadap bumi untuk kepentingan ekonomi jangka pendek semata.

"Oleh karenanya penanganan krisis iklim ini perlu dilakukan melalui pendekatan normatif agama," tulis Hayu, dalam ulasannya dikutip dari laman mui.or.id, Senin (28/8/2023).

 

Simak Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Bahaya Udara Tercemar

Di Indonesia, pencemaran udara menduduki peringkat empat dan termasuk ke dalam sepuluh risiko lingkungan paling signifikan. Beberapa sumber utama emisi atau polusi udara di Indonesia berasal dari penggundulan hutan disertai kebakaran lahan gambut, kendaraan bermotor, pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, debu, pembakaran sampah, dan pembakaran biomasa untuk memasak dan pemanasan.

Wilayah Metropolitan Jakarta (Jabodetabek) dan kota-kota sekitarnya (Kabupaten Bekasi, Bogor, Kabupaten Bogor, Depok, Tangerang Selatan, Tangerang, Kabupaten Tangerang), memiliki populasi lebih dari 30 juta. Semenjak 1990-an, rata-rata tahunan dari total suspended particle (TSP) di area Jabodetabek berada di atas standar internasional, dengan konsentrasi PM10 termasuk yang tertinggi di dunia.

Selain itu, Jakarta yang menjadi pusat perekonomian Indonesia juga mempunyai karakteristik yang unik sehingga menghasilkan polutan yang lebih kompleks dibandingkan PM10, yaitu PM2,5. ‘PM2,5’ adalah partikel halus dengan diameter kurang dari 2,5 µm, merupakan polutan udara yang diketahui dapat menyebabkan masalah kesehatan yang paling membahayakan.

Iqair.com menyatakan bahwa onsentrasi PM2.5 di Jakarta saat ini 7.4 kali nilai panduan kualitas udara tahunan WHO Tahun ini, Jakarta sudah dinobatkan sebagai kota paling tercemar di Asia, dan Asia adalah benua paling tercemar udaranya sejagat.

Polusi udara yang sangat tercemar ini dapat berdampak terhadap kesehatan masyarakat, terutama untuk partikulat PM2,5. Partikel tersebut sangat kecil sehingga dapat terhirup dan mengendap di organ pernafasan.

Jika terpapar dalam jangka panjang, PM2,5 dapat menyebabkan infeksi saluran pernafasan akut, terutama bagi anak-anak hingga kanker paru-paru.

Selain itu, PM2,5 dapat meningkatkan kadar racun dalam pembuluh darah yang dapat memacu stroke, penyakit kardiovaskular dan penyakit jantung lainnya, serta dapat membahayakan ibu hamil karena berpotensi untuk menyerang janin. Pada konsentrasi tinggi PM2,5 dapat dilihat sebagai asap atau kabut, tetapi pada konsentrasi yang terlalu rendah untuk dapat terlihat dapat menyebabkan efek kesehatan yang serius.

Sebuah studi terbaru menyebutkan paparan polusi udara sebelum pembuahan atau bahkan selama bulan pertama kehamilan dapat meningkatkan risiko cacat lahir pada anak.

Polusi udara, terutama yang sangat halus seperti PM 2,5 amat berbahaya bagi kesehatan terutama kelompok rentan seperti bayi, anak-anak, ibu hamil dan lanjut usia.

Penyakit yang dapat terjadi akibat PM 2,5 yang tinggi ini antara lain stroke, penyakit jantung, infeksi saluran pernapasan, kanker dan penyakit paru kronis.

World Health Organization (WHO) merekomendasikan standar PM2,5 setiap harinya rata-rata di bawah 25 µg/m3 (25 mikrogram per meter kubik) untuk kualitas udara yang sehat. Sementara, pemerintah Indonesia merekomendasikan batas ambien PM2,5 sebesar 65 µg/m3.

Data pemantauan kualitas udara Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk periode 1 Januari hingga 17 Mei 2018 menunjukkan bahwa konsentrasi rata-rata PM2,5 adalah 29,37 µg / m3, yang melebihi rata-rata tahunan WHO (10 µg/m3) serta Standar kualitas udara rata-rata harian WHO (25 µg/m3).

Secara umum, isu terkait polusi udara belum ditangani secara terpadu, terprogram dan berjangka panjang. Isu polusi udara perlu ditangani lintas SKPD dan secara skala besar, lintas pemerintah daerah

3 dari 3 halaman

Udara Jakarta Memburuk pada Malam Hari

Mengutip kanal News Liputan6.com, Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) A Fachri Radjab mengatakan, berdasarkan pengamatan BMKG, polusi udara di Jakarta cenderung memburuk saat malam hari.

Menurut Fachri, konsentrasi particulate matter atau PM 2.5 di Jakarta meninggi hingga menjelang pagi hari. Hal ini disampaikan Fachri dalam acara Diskusi Publik Quick Response Penanganan Kualitas Udara Jakarta di Hotel Shangri-La, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (28/8/2023).

"Kalau kita lihat siklus hariannya memang konsentrasi PM 2.5 cenderung lebih tinggi pada malam hari hingga menjelang pagi. Kemudian pagi hari juga seiring dengan meningkatnya aktivitas masyarakat konsentrasi PM 2.5 juga meningkat," kata Fachri.

Dia menjelaskan, kondisi buruknya kualitas udara di Jakarta saat malam hari dipengaruhi lapisan inversi. Ketebalan lapisan inversi disebut mengecil saat malam hari.

"Polutan ataupun partikel-partikel yang menyebabkan terjadinya polusi itu kontributor kenapa cenderung tingginya itu di malam hari itu karena adanya yang kita sebut dengan lapisan inversi, yaitu lapisan pembalik," jelas dia.

Fachri menyampaikan, lapisan inversi menjadi tempat berkumpulnya polutan. Pada malam hari saat ketebalan lapisan inversi mengecil, konsentrasi polutan justru bakal meninggi.

"Kalau kita kenal suhu, makin tinggi tempat makin dingin ya, tapi pada ketinggian tertentu dia akan tetap stabil suhunya tidak turun, itu yang disebut lapisan inversi," kata dia.

"Nah pada lapisan inilah polutan-polutan itu berkumpul. Ketika malam hari ketebalan lapisan inversi itu mengecil, sehingga konsentrasinya akan semakin tinggi," sambung dia.

Fachri menuturkan, hal inilah yang juga menjadi perhatian BMKG. Pengamatan Rawinsonde atau Radiosonde dengan menerbangkan seperangkat balon untuk mengukur parameter atmosfer di lapisan inversi pun dilakukan.

"Kami melakukan pengamatan yang namanya radiosonde, kami melepas balon untuk mengamati ketebalan lapisan inversi ini. Harapannya, lapisan inversi ini berkurang polutannya. Itu yang kita harapkan," ujar dia.

Tim Rembulan

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.