Sukses

Bolehkan Menikah dengan Mahar Ular Piton, Apa Hukumnya?

Kecintaan terhadap ular, atau dikenal juga dengan istilah "ophiophilia," adalah perasaan atau minat yang kuat terhadap ular. Jika kedua mempelai berhobi sama, bolehkah menikah dengan mahar ular piton?

Liputan6.com, Jakarta - Kecintaan terhadap ular, atau dikenal juga dengan istilah "ophiophilia," adalah perasaan atau minat yang kuat terhadap ular. Bagi orang lain keciantaan ini seolah berlebihan.

Beberapa orang mengembangkan perasaan positif terhadap ular karena alasan tertentu, seperti rasa kagum pada keindahan, keunikan, atau sifat-sifat unik yang dimiliki ular.

Kecintaan dan hobi ini terkadang harus dibawa ke setiap lini kehidupan, jika cinta ular, pakaian bisa bermotif ular, termasuk saat foto prawedding pun membawa serta ular kecintaannya tersebut.

Lalu, bagaimana jika kecintaan terhadap ular tersebut dijadikan sebagai mahar perkawinan? Karena akhir-akhir ini banyak terjadi mahar perkawinan unik, seperti segelas air putih dan juga sandal jepit.

Seperti diketahui, mahar perkawinan merupakan sejumlah hadiah atau pemberian yang diberikan oleh pihak pengantin pria kepada pihak pengantin wanita sebagai bentuk tanda kasih sayang, apresiasi, dan penghormatan.Umumnya, berupa uang, perhiasan, harta benda, atau barang berharga lainnya.

Bolehkah seseorang memberikan mas kawin atau mahar pernikahan berupa hewan, karena sesama pecinta ular piton, misalnya memberi mahar berupa ular piton, apa kukumnya?

 

Simak Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Dalam Syariat Tidak Diatur Jenis dan Bentuk Mahar

Mengutip nu.or.id maskawin atau mahar pernikahan merupakan harta yang wajib diberikan suami kepada istri karena akad nikah. Salah satu tujuannya adalah menunjukkan kesungguhan untuk menikahi tambatan hati dan memenuhi hak-hak perempuan.

Adapun besarannya, menurut syariat, tidak dibatasi. Begitu pun jenis dan bentuknya. Demikian seperti yang disebutkan Mushthafa al-Khin dalam kitabnya:

لا حدّ لأقل المهر، ولا لأكثره، فكلّ ما صحّ عليه اسم المال، أو كان مقابلاً بمال، جاز أن يكون مهراً، قليلاً كان أو كثيراً، عيناً أو ديناً، أو منفعة: كسجادة، أو ألف ليرة، أو سكنى دار، أو تعليم حرفة.

Artinya: “Tidak ada batasan dalam minimal dan maksimalnya mahar. Intinya, segala sesuatu yang sah disebut harta dan dapat ditukar dengan harta, boleh menjadi mahar, besar ataupun kecil, dibayar tunai ataupun dihutang, bisa juga berupa manfaat seperti sajadah, uang tunai senilai 1000 lira (mata uang Turki), manfaat tinggal di suatu rumah, atau jasa mengajar baca walau hanya satu huruf.” (Lihat: Musthafa al-Khin, al-Fiqhu al-Manhaji, juz IV/77).

Walhasil, syariat tidak menentukan jenis dan bentuk mahar. Apa pun yang dapat dikategorikan sebagai harta: ada nilainya, ada harganya, ada manfaatnya, dan dapat diperjualbelikan, bisa dijadikan mahar pernikahan.

Dengan demikian, mengenai boleh dan tidaknya menjadikan hewan semacam burung peliharaan sebagai mahar pernikahan sementara sudah terjawab mengingat hewan termasuk benda yang bernilai, berharga, dan biasa diperjualbelikan.

Kendati demikian, memberi mahar berupa hewan tetap harus memperhatikan aspek manfaat, kegunaan, dan kesenangan bagi si penerima, sebab mahar sepenuhnya adalah milik perempuan.

 

3 dari 3 halaman

Mahar Ular Tidak Diperbolehkan dalam Syariat

Hanya saja, dalam syariat, tidak semua hewan sah dimiliki dan boleh dimakan. Biasanya, hewan yang tidak sah dimiliki menurut syariat dan tidak boleh dimakan, tidak boleh diperjualbelikan.

Termasuk ke dalam kategori ini adalah semua perkara najis dan haram dimakan. Hal itu seperti yang ditegaskan Syekh Wahbah az-Zuhaili:

لو اتفق الزوجان بدون مهر، أو سميا ما لا يملك شرعاً كالخمر والخنزير والنجس كروث دواب، صح العقد عند الجمهور غير المالكية، ووجب للمرأة مهر المثل، بالدخول أو الموت

Artinya, “Seandainya, suami-istri sepakat menikah tanpa mahar, atau menyebut perkara yang tidak boleh dimiliki menurut syariat, seperti menyebut khamer, babi, atau benda najis seperti kotoran binatang, maka akadnya tetap sah menurut jumhur ulama selain Maliki, dan wajib bagi si perempuan diganti mahar mitsil karena sebab dukhul (gaul suami-istri) atau kematian.” (Lihat: Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu wa adillatuhu, juz IX/6762).

Berkaca kepada petikan di atas, syariat tidak mengakui pemberian mahar berupa benda najis, makanan, atau minuman yang haram dikonsumsi. Termasuk ke dalamnya adalah hewan yang diharamkan oleh syariat, seperti hewan najis, hewan bertaring, burung pemangsa, pemakan bangkai, hewan membahayakan, dan hewan menjijikan.

Ular piton, meski tidak termasuk ular berbisa, tetapi termasuk hewan yang membahayakan dan boleh dibunuh menurut syariat, sebagaimana hadis Rasulullah SAW.

اقْتُلُوا الْعَقْرَبَ، وَالْحَيَّةَ عَلَى كُلِّ حَالٍ

Artinya, “Bunuhlah kalajengking dan ular dalam keadaan apa pun,” (HR. Abdur Razzaq).

Mengenai keharaman dagingnya, ular masuk ke dalam kaidah fiqih yang mengatakan:

مَا أُمِرَ بِقَتْلِهِ مِنْ الْحَيَوَانِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ

Artinya, “Hewan yang diperintahkan untuk dibunuh, maka memakannya adalah haram.” (Lihat: Imam an-Nawawi, al-Majmu Syarh al-Muhadzab, juz IX, 22).

Dengan demikian, memberi mahar berupa ular piton tidak diperbolehkan oleh syariat, meskipun memberi nilai manfaat bagi para penggemarnya, mengingat ular termasuk hewan yang membahayakan, boleh dibunuh, dan haram dikonsumsi.

Sementara memberi mahar berupa hewan yang boleh dikonsumsi dagingnya, sah dimiliki, atau boleh diperjual-belikan oleh syariat dan aturan perundang-undangan yang berlaku, seperti kucing sebagaimana menurut an-Nawawi, dalam arti bukan satwa yang dilindungi, tentunya diperbolehkan. Wallahu a’lam.

Penulis: Nugroho Purbo

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.