Sukses

6 Masjid Tertua dan Bersejarah di Indonesia, Usia Ratusan Tahun

Daftar Masjid Tertua dan Bersejarah di Indonesia

Liputan6.com, Jakarta - Di Indonesia Agama Islam diperkirakan masuk sekitar abad ke-11, dibawa oleh para pedagang Gujarat, India dan akhirnya berkembang hingga sekarang.

Namun, ada teori lain yang menyebut bahwa Islam sudah masuk ke Indonesia sejak zaman sahabat Nabi, pada abad ke-7. Salah saktu buktinya adalah kompleks makam di Barus.

Diyakini Islam masuk Indonesia pada zaman Khalifah Utsman bin Affan pada tahun 44 Hijriah yang jika dikonversikan ke kalender masehi terjadi pada abad 7.

“Selain bukti-bukti sejarah banyak ditemui di Kota Barus, juga ada makam Aulia 44. Makam Syekh Rukunuddin di Mahligai, Syekh Machmud di Papan Tinggi yang wafat pada tahun Hamim yang diterjemahkan oleh ahli sejarah tahun 40 Hijriah,” kata Bonaran Situmeang, Bupati Tapteng periode 2011-2016, dikutip dari Tapteng.go.id.

Tahun 40 Hijriah dalam sejarah Islam, berarti pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan, yaitu pada abad ke-7 Masehi.

Terlepas dari kapan waktu pasti masuknya Islam ke Indonesia, salah satu bukti berkembangnya agama Islam di Indonesia adalah dengan banyaknya jumlah masjid yang tersebar di seluruh pelosok wilayah. Beberapa di antaranya memiliki nilai sejarah lebih, karena menjadi yang tertua di Indonesia.

Berikut ini adalah masjid tertua dan bersejarah di Indonesia, mengutip berbagai sumber.

 

Saksikan Video Pilihan ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 7 halaman

1. Masjid Langgar Tinggi

Masjid ini merupakan salah satu masjid tertua di wilayah DKI Jakarta. Pada papan di atas pintu masuk masjid ditulis bahwa Masjid Langgar Tinggi didirikan pada tahun 1249 H/1829 M.

Seorang sejarawan yang banyak meneliti sejarah kota Jakarta, tahun 1249 H itu bertepatan dengan 1833 M atau 1834 M, dan bukan 1829 M. Sehingga jika berpedoman pada tahun, maka masjid itu didirikan sekitar tahun 1833 M.

Arsitektur masjid ini merupakan perpaduan gaya arsitektur Eropa, Tionghoa, dan Jawa. Pengaruh Eropa tampak pada pilar-pilar bergaya neoklasik Toskan. Sementara pengaruh Tionghoa tecermin pada hiasan penyangga balok, dan pengaruh Jawa pada denah dasarnya. Hiasan serupa tugu kecil di atas atap adalah warisan pengaruh Moor.

Lantai masjid terbuat dari bilah-bilah papan kayu yang tebal. Di sisi barat masjid terdapat mihrab dan sebuah mimbar kayu. Mimbar tua (buatan tahun 1859) ini dibawa dari Palembang, sebagai penghargaan bagi Sa'id Na'um.

3 dari 7 halaman

2. Masjid Shiratal Mustaqiem

Masjid tertua di Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur yang dibangun pada tahun 1881 ini pernah menjadi pemenang ke-2 dalam festival masjid-masjid bersejarah di Indonesia pada tahun 2003.

Pada tahun 1881, empat tiang utama (soko guru) mulai dibangun oleh Said Abdurachman bersama warga. Menurut legenda yang beredar, berdirinya empat tiang itu karena bantuan seorang nenek misterius yang hingga kini belum diketahui keberadaannya. Kala itu, banyak warga yang tak mampu mengangkat dan menanamkan tiang utama. Berkali-kali dilakukan, tetap saja gagal.

Beberapa menit kemudian, datanglah seorang perempuan berusia lanjut. Dengan tenang dia mendekati warga yang sedang gotong royong. Nenek tadi meminta izin kepada warga untuk mengangkat dan memasang tiang. Warga yang mendengar ucapan sang nenek, langsung tertawa.

Namun Said Abdurachman malah sebaliknya, Dia menyambut kedatangan nenek itu. Said pun meminta warga untuk memperkenankan si nenek untuk melakukan apa yang diinginkan. Nenek pun meminta warga dan Said Abdurachman balik ke rumah masing-masing.

Esok harinya usai shalat Subuh, warga berbondong-bondong mendatangi lokasi pembangunan masjid. Seperti tak percaya, empat tiang utama telah tertanam kokoh. Warga pun kaget, tetapi tak satupun orang yang mampu menemukan keberadaan nenek itu.

Setelah itu, Said Abdurachman dan tokoh masyarakat membangun masjid. Selama sepuluh tahun, pada 1891, atau tepat pada 27 Rajab 1311 Hijriyah, akhirnya Masjid Shirathal Mustaqiem rampung dari pengerjaannya. Sultan Kutai Adji Mohammad Sulaiman, sekaligus menjadi imam masjid pertama yang memimpin shalat.

4 dari 7 halaman

3. Masjid Sultan Suriansyah

Masjid Sultan Suriansyah atau Masjid Kuin merupakan masjid bersejarah di Kota Banjarmasin. Masjid ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Suriansyah (1526-1550), Raja Banjar pertama yang memeluk agama Islam.

Masjid Kuin merupakan salah satu dari tiga masjid tertua yang ada di kota Banjarmasin pada masa Mufti Jamaluddin (Mufti Banjarmasin).

Masjid ini terletak di Jalan Kuin Utara, Kelurahan Kuin Utara, kawasan yang dikenal sebagai Banjar Lama, situs ibu kota Kesultanan Banjar yang pertama. 

Masjid yang didirikan di tepi sungai Kuin ini memiliki bentuk arsitektur tradisional Banjar, dengan konstruksi panggung dan beratap tumpang. Pada bagian mihrab masjid ini memiliki atap sendiri yang terpisah dengan bangunan induk.

5 dari 7 halaman

4. Masjid Jami' Gresik

Masjid Jami' Gresik atau Masjid Alun-Alun Gresik adalah salah satu tempat ibadah umat Islam yang berdiri di wilayah Kelurahan Pekauman, Kecamatan Gresik, Kabupaten Gresik. Masjid ini pertama kali didirikan oleh Nyai Ageng Pinatih, yang merupakan ibu asuh dari Sunan Giri. 

Masjid ini mulai digagas dan dibangun pada tahun 1458 ketika Nyai Ageng Pinatih ditunjuk sebagai Syahbandar Pelabuhan Timur oleh Kerajaan Majapahit.

Diketahui masjid ini mengalami perpindahan lokasi setelah insiden terbakar bangunan pada pertama kalinya.

Sebelum terbakar, Sunan Maulana Malik Ibrahim sempat mengupayakan pemindahan dan pelebaran bangunan masjid dikarenakan perlunya penambahan kebutuhan ibadah para pengunjung dan jamaah.

6 dari 7 halaman

5. Masjid Al-Imam Koto Baru

Masjid Al-Imam Koto Baru termasuk salah satu masjid tertua di Kabupaten Pesisir Selatan. Masjid ini tepatnya berlokasi di Kampung Balai Kamis, Nagari Kambang, Kecamatan Lengayang, Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat.

Masjid Al-Imam didirikan pada tahun 1924 bersamaan dengan lahir dan berkembangnya Nagari Kambang.

Masjid ini dibangun satu lantai dengan luas keseluruhan bangunan 306 meter persegi. Dibangun di atas tanah wakaf seluas 1.200 meter persegi. Masjid dibangun empat persegi yang memiliki ciri khas dengan tiang yang sangat banyak, baik di dalam maupun di luar masjid.

Di ruang utama, di sebelah barat masjid terdapat mihrab. Di sisi kiri dan kanan mihrab terdapat dua bangunan dengan ukuran yang sama yang menyerupai selasar. Ruangan di bagian kiri seolah-olah menjadi lorong karena tertutup oleh bangunan tambahan berupa bangunan tempat wudhu.

7 dari 7 halaman

6. Masjid Kali Pasir

Masjid Kali Pasir adalah masjid tertua di Kota Tangerang peninggalan Kerajaan Pajajaran. Masjid ini berada di sebelah timur bantaran Sungai Cisadane, tepatnya di tengah pemukiman warga Tionghoa kelurahan Sukasari. Bangunannya pun bercorak Tionghoa, yang mencerminkan kerukunan umat beragama pada masanya. Hingga kini masjid yang sudah berusia ratusan tahun tersebut masih digunakan sebagai tempat beribadah. Namun, masjid ini tidak lagi digunakan untuk shalat Jumat.

Masjid Kali Pasir dibangun bersebelahan dengan Klenteng Boen Tek Bio yang saat itu sudah berdiri tegak. Masjid yang berukuran sekitar 288 meter persegi ini didirikan pada tahun 1700 oleh Tumenggung Pamit Wijaya yang berasal dari Kahuripan Bogor.  Awalnya, Tumenggung Pamit Wijaya ingin melakukan syiar Islam dari Kesultanan Cirebon ke wilayah Banten. Namun, ia singgah di Tangerang dan mendirikan sebuah masjid. Pembangunan masjid dilakukan oleh warga muslim sekitar dan dibantu oleh warga Tionghoa.

Penulis : Putry Damayanty

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.