Sukses

MK Tak Terima Uji Materi UU Pilpres Yusril

MK menyatakan tidak berwenang menafsirkan pasal-pasal yang diajukan oleh Yusril.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak bisa menerima uji materi Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan oleh Yusril Ihza Mahendra. MK menyatakan tidak berwenang menafsirkan pasal-pasal yang diajukan.

"Permohonan Pemohon untuk menafsirkan pasal 4 ayat 1 dan Pasal 7C dikaitkan dengan Pasal 22E ayat 1, ayat 2, dan ayat 3, dan penafsiran Pasal 6A ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak dapat diterima," kata Ketua MK Hamdan Zoelva saat membacakan putusan di Jakarta, Kamis (20/3/2014).

"Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya," tambah hamdan.

Yusril mengajukan uji materi Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU Pilpres terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 7C, Pasal 22E ayat (1) ayat (2) ayat (3) UUD 1945. Menurut Yusril, pengajuan calon presiden dan wakil presiden harus dilakukan sebelum pelaksanaan pemilihan umum legislatif yang pesertanya adalah partai politik. Pencalonan presiden dan wakil presiden tidak bisa dilakukan sebelum pemilu presiden dan wakil presiden maupun pemilihan DPD. Karena dua pemilihan itu pesertanya perorangan, bukan partai politik.

Namun menurut Mahkamah, alasan yang diajukan Yusril tidak bisa diterima. MK menggunakan dasar putusan uji materi UU Pilpres pada 23 Januari 2014 yang diajukan Effendi Gazali dkk. Putusan itu menyatakan Pilpres dan Pileg dilaksanakan serentak mulai Pemilu 2019. Mahkamah menilai substansi pasal-pasal yang diujikan oleh Yusril itu telah sejalan dengan pertimbangan putusan nomor 14/PUU-XI/2013 yang memberikan pertimbangan pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tidak mampu menjadi alat transformasi perubahan sosial ke arah yang dikehendaki.

"Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum," demikian putusan MK.

Yusril kecewa dengan putusan MK ini. Dia mempertanyakan pertimbangan MK yang menyatakan tidak berwenang menafsirkan UUD. "Kali ini MK menyatakan tidak berwenang menafsirkan, jadi saya tertawa," kata dia.

"Kenapa MK menyatakan tidak bisa menafsirkan. Ada apa dengan MK, mereka berwenang menafsirkan konstitusi, kalau mereka tidak bersedia menafsirkan ya bisa saja, tapi untuk apa ada MK kalau tidak berwenang menafsirkan konstitutusi," tambah Yusril. (Raden Trimutia Hatta)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.