Sukses

Ogoh-ogoh Sebagai Simbol Keburukan Manusia, Begini Perannya dalam Perayaan Nyepi

Ogoh-ogoh representasi dari sifat-sifat negatif yang ada dalam diri manusia dan alam semesta

Liputan6.com, Jakarta Ogoh-ogoh adalah patung yang menjadi bagian integral dari perayaan Nyepi, sebuah hari raya penting dalam agama Hindu di Bali. Patung ini diarak keliling desa menjelang Hari Raya Nyepi sebagai bagian dari rangkaian upacara yang meriah. Ogoh-ogoh sebagai simbol keburukan manusia melambangkan tokoh Hindu bernama Bhuta Kala, yang merupakan simbol dari keburukan sifat manusia dan hal negatif dalam alam semesta. 

Selama prosesi arak-arakan ogoh-ogoh, masyarakat Bali bergabung dalam perayaan dengan penuh semangat. Mereka membawa ogoh-ogoh sebagai simbol keburukan manusia dengan diiringi oleh gamelan Bali yang disebut bleganjur, menciptakan suasana yang meriah dan khidmat. Arak-arakan ini juga menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk bersatu dan merayakan warisan budaya mereka.

Bagi umat Hindu, ogoh-ogoh bukan hanya sekadar karya seni, melainkan juga memiliki makna mendalam. Patung ini merupakan representasi dari sifat-sifat negatif yang ada dalam diri manusia dan alam semesta. Dengan mengarak ogoh-ogoh, umat Hindu diharapkan dapat membersihkan diri dari keburukan dan memulai tahun yang baru dengan pikiran yang jernih dan hati yang suci. 

Setelah diarak keliling desa, ogoh-ogoh kemudian dimusnahkan dalam prosesi tawur agung kesanga. Dalam prosesi ini, ogoh-ogoh dibakar, melambangkan pemusnahan dari segala keburukan dan ketidaksempurnaan. Berikut ulasan lebih lanjut tentang ogoh-ogoh sebagai simbol keburukan manusia yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Selasa (12/3/2024).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Ogoh-ogoh dalam Ajaran Hindu Bali

Ogoh-ogoh adalah bagian penting dari ritual yang dipraktikkan oleh masyarakat Hindu menjelang perayaan Nyepi. Menurut informasi dari laman bulelengkab.go.id, istilah "ogoh-ogoh" berasal dari bahasa Bali yang memiliki arti "sesuatu yang digoyang-goyangkan".

Pada tahun 1983, tradisi pembuatan patung yang mewakili Bhuta Kala dimulai sebagai bagian dari ritual Nyepi di Bali. Sejak saat itu, masyarakat di berbagai tempat di Denpasar dan sekitarnya mulai membuat perwujudan dari makhluk-makhluk tersebut, yang disebut ogoh-ogoh. Budaya ini semakin meluas ketika ogoh-ogoh menjadi bagian dari Pesta Kesenian Bali ke XII.

Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala dianggap sebagai kekuatan alam semesta dan waktu yang tak terukur dan tak terbantahkan. Dalam representasi ogoh-ogoh, Bhuta Kala biasanya digambarkan sebagai sosok besar, menakutkan, dan berwujud raksasa. Seringkali, ogoh-ogoh juga diwujudkan sebagai makhluk-makhluk yang diyakini hidup di alam semesta Hindu, seperti naga, gajah, atau widyadari. Bahkan, ada ogoh-ogoh yang dibuat menyerupai tokoh-tokoh terkenal, seperti pemimpin dunia, artis, atau tokoh agama.

Melalui pembuatan dan penggambaran ogoh-ogoh ini, umat Hindu dapat merenungkan tentang kekuatan dan siklus alam semesta, serta menghadapi sifat-sifat yang mewakili kejahatan dan ketidaksempurnaan manusia. Proses pembuatan ogoh-ogoh juga merupakan wujud nyata dari kesatuan dan kekompakan masyarakat dalam menjalankan tradisi keagamaan mereka.

3 dari 3 halaman

Peran Ogoh-ogoh dalam Perayaan Nyepi

Fungsi utama ogoh-ogoh dalam perayaan nyepi adalah sebagai representasi dari Bhuta Kala, yang melambangkan kekuatan alam semesta dan waktu dalam ajaran Hindu Dharma. Dalam proses pembuatan ogoh-ogoh, masyarakat mengungkapkan keinsyafan mereka akan kekuatan ini, yang mencakup Bhuana Agung (alam raya) dan Bhuana Alit (diri manusia), serta pemahaman akan tattwa atau filsafat yang menyatakan bahwa kekuatan ini memiliki potensi untuk membawa kebahagiaan atau kehancuran bagi makhluk hidup dan dunia.

Meskipun ogoh-ogoh pada dasarnya tidak memiliki hubungan langsung dengan acara utama Nyepi, namun mereka tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kemeriahan upacara. Rangkaian pawai dengan ogoh-ogoh dimulai setelah selesainya upacara pokok, dan diiringi oleh irama gamelan Bali yang khas. Prosesi ini membawa ogoh-ogoh menuju sema atau tempat persembahyangan umat Hindu, yang juga digunakan sebagai tempat persemayaman sebelum pembakaran mayat.

Selama prosesi arak-arakan, ogoh-ogoh diarak keliling desa dengan diikuti oleh para peserta upacara yang kadang-kadang meminum minuman keras tradisional (arak) sebagai bagian dari tradisi. Setelah sampai di tempat tujuan, ogoh-ogoh tersebut kemudian dibakar dalam sebuah prosesi yang khidmat. Proses pembakaran ogoh-ogoh menandai pemusnahan simbolis dari kekuatan negatif yang diwakili oleh Bhuta Kala, dan menjadi langkah awal dalam menjalani hari penyepian atau Nyepi.

Ogoh-ogoh tidak hanya menjadi bagian dari kemeriahan upacara Nyepi, tetapi juga membawa makna mendalam dalam pemahaman akan kekuatan alam semesta dan waktu dalam ajaran Hindu, serta merupakan simbol pemurnian diri dan pemulihan keseimbangan dengan alam semesta. Pada masa sekarang, ogoh-ogoh tidak hanya dibuat dalam bentuk Bhuta Kala yang menyeramkan, tapi juga banyak tokoh-tokoh jahat seperti koruptor.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.