Sukses

Bencana Hidrometeorologi adalah Pengaruh Perubahan Iklim dan Kerusakan Lingkungan

Risiko terjadinya bencana hidrometeorologi adalah banjir, banjir bandang, longsor, cuaca ekstrem, kekeringan, el nino, la nina, serta kebakaran hutan dan lahan.

Liputan6.com, Jakarta Mengenal bencana hidrometeorologi adalah terjadi oleh parameter meteorologi seperti curah hujan, kelembapan, temperatur, dan angin. Potensi bencana hidrometeorologi adalah tak hanya pada musim hujan, tetapi pada musim kemarau juga.

Melansir Antara, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 13 Oktober 2021, mencatat 98 persen frekuensi kejadian bencana di Indonesia dalam 10 tahun terakhir adalah bencana hidrometeorologi karena perubahan iklim.

Perubahan iklim yang menjadi penyebab bencana hidrometeorologi adalah terjadi pada iklim, curah hujan, dan suhu udara pengaruh peningkatan gas karbon dioksida dan gas-gas lain. Tak hanya perubahan iklim yang ektrem, penyebab utama bencana hidrometeorologi adalah terjadinya kerusakan lingkungan yang semakin masif.

Gangguan di atmosfer membuat kondisi bumi yang semakin panas memicu banyak perubahan di atmosfer. Risiko terjadinya bencana hidrometeorologi adalah banjir, banjir bandang, longsor, cuaca ekstrem, kekeringan, el nino, la nina, serta kebakaran hutan dan lahan.

BNPB juga mencatat jenis bencana yang paling sering terjadi karena bencana hidrometeorologi adalah banjir. Berikut Liputan6.com ulas lebih dalam tentang bencana hidrometeorologi adalah pengaruh perubahan iklim dan kerusakan lingkungan, Minggu (21/11/2021).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Pencegahan Bencana Hidrometeorologi Menurut BMKG

Potensi terjadinya bencana hidrometeorologi memang besar di Indonesia, tetapi bukan berarti tidak bisa dicegah. Melansir Antara, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada 15 November 2021, menyarankan pemerintah daerah melakukan mitigasi bencana hidrometeorologi untuk meminimalkan dampak buruknya.

Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG A Fachri Radjab mengemukakan pentingnya penghijauan, perbaikan tata kelola air, dan penataan lingkungan untuk meminimalkan risiko banjir saat hujan deras turun. Imbauan ini ditujukan kepada pemerintah daerah, masyarakat, dan semua pihak yang terkait.

Ditegaskan oleh Fachri, karena potensi dampak bencana hidometeorologi, maka penebangan pohon di daerah lereng mesti dicegah dan sampah harus dikelola dengan baik. Selain itu, pendataan kondisi pepohonan yang berada di kawasan jalan dan permukiman serta pemangkasan pohon-pohon yang sudah rapuh perlu dilakukan.

Fachri pun menyampaikan pentingnya koordinasi, sinergi, dan komunikasi antar-pemangku kepentingan dalam upaya memperkuat mitigasi dan meningkatkan kesiapan menghadapi bencana hidrometeorologi. Melakukan kegiatan sosialisasi dan edukasi untuk meningkatkan pemahaman, kepedulian, kapasitas pemerintah daerah, masyarakat, dan pihak terkait mengenai pencegahan bencana hidrometeorologi perlu digencarkan.

3 dari 4 halaman

Pencegahan Bencana Hidrometeorologi Menurut Greenpeace Indonesia

Peneliti Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari kepada Liputan6.com, mengatakan bencana hidrometeorologi seperti kebakaran hutan dan kekeringan sebenarnya sudah terjadi sejak dulu. Akan tetapi dengan adanya krisis iklim, maka bencana-bencana tersebut akan semakin sering intensitasnya dan semakin parah ke depannya.

Ia menjelaskan, ketika ada gangguan di atmosfer, misalkan gas rumah kaca yang jumlahnya ekstrem, maka akan mengganggu semua sistem di atmosfer termasuk cuaca dan keadaan hidrometeorologi. Kondisi bumi yang semakin panas memicu banyak perubahan di atmosfer. Air laut menjadi cepat menguap, awan semakin banyak, dan curah hujan menjadi ektrem.

"Kayak misalkan hujan tahun baru 2020 di Jakarta, kan terekstrem selama 150 tahun atau yang di Kalimantan, hujannya berhari-hari dan terjadi banjir terbesar dalam 50 tahun. Yang seperti itu akan semakin sering ke depannya,” kata Adila.

4 dari 4 halaman

Status Siaga Bencana Hidrometeorologi di Indonesia

Pada awal November 2021, BMKG menetapkan sejumlah daerah di Indonesia dalam status siaga bencana hidrometeorologi. Tercatat pada 7 November 2021, sudah terjadi banjir di 32 lokasi.

Banjir bandang yang melanda Kota Batu, Malang, Jawa Timur, 4 November 2021, merupakan salah satu yang paling menyita perhatian masyarakat. Setidaknya tujuh warga tewas, 35 rumah rusak, dan 33 rumah lainnya terendam lumpur. BNPB menyebut penyebab banjir bandang karena adanya bendung alam yang jebol di kawasan hulu.

Daerah Garut, Jawa Barat, juga diterpa bencana banjir bandang pada 6 November 2021, yang menyebabkan sebuah jembatan putus sehingga 1.200 warga kampung terisolasi, karena tidak punya pilihan akses jalan yang lain. Menurut perangkat desa setempat, banjir terjadi karena hutan beralih fungsi menjadi lahan yang ditanami kopi dan sayuran.

Sejumlah wilayah di Jakarta juga terendam banjir setelah hujan deras yang turun pada Minggu 7 November 2021. Ketapang, Kalimantan Barat juga diterjang banjir, sedangkan di Mamasa, Sulawesi Barat, bukan hanya banjir, tapi juga terjadi bencana tanah longsor setelah hujan lebat yang mengguyur.

BNPB mencatat, dalam kurun waktu lima tahun terakhir pada periode 2016 hingga 2020, ada sebanyak 17.032 kali bencana yang terjadi di Indonesia. Nyaris 99 persen bencana yang dilaporkan tersebut merupakan jenis bencana hidrometeorologi.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.