Sukses

5 Cara Mendidik Anak agar Memiliki Kepribadian Tangguh

Salah satu hal terpenting yang dapat dilakukan untuk mereka adalah membantu mereka memiliki kepribadian yang tangguh.

Liputan6.com, Jakarta - Sebagai orang tua, pasti ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anak. Pasti ingin mereka tumbuh menjadi individu yang bahagia, sehat, dan sukses.

Salah satu hal terpenting yang dapat dilakukan untuk mereka adalah membantu mereka memiliki kepribadian yang tangguh.

Sayangnya, orang tua dan guru seringkali hanya berfokus pada pengembangan keterampilan seperti membaca dan berhitung untuk membantu anak-anak meraih masa depan yang lebih cerah. Padahal penelitian menunjukkan bahwa keterampilan sosial dan emosional jauh lebih penting untuk kesuksesan di masa depan.

Dilansir dari CNBC, sebuah studi tahun 2015 dalam American Journal of Public Health menemukan bahwa anak-anak dengan kompetensi emosional, mental, dan sosial yang tinggi di taman kanak-kanak akan lebih mungkin untuk sukses di masa depan.

Mereka lebih mungkin untuk pergi ke perguruan tinggi, bekerja penuh waktu pada usia 25 tahun, dan terhindar dari masalah seperti putus sekolah, masalah hukum, dan penyalahgunaan obat-obatan.

Namun, ternyata masih banyak mahasiswa yang belum siap secara emosional untuk perguruan tinggi. Sebuah survei tahun 2015 menunjukkan bahwa 60% mahasiswa tahun pertama merasa tidak siap secara emosional. Hal ini dapat menyebabkan kinerja akademis yang buruk dan pengalaman perguruan tinggi yang negatif.

Oleh karena itu, penting bagi orang tua dan guru untuk memfokuskan pengembangan keterampilan sosial dan emosional anak-anak sejak dini. Hal ini akan membantu mereka menjadi lebih sukses dan bahagia di masa depan.

Berikut 5 hal yang dapat dilakukan oleh orang tua dalam mendidik anak untuk bermental tangguh.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

1. Mengajarkan Anak Mengelola Perasaan

Menenangkan anak dengan perkataan, "Tenang! Ini bukanlah hal yang besar," atau "Jangan takut. Semuanya akan baik-baik saja," ternyata tidak membantu mereka berkembang.

Perasaan anak-anak itu nyata, dan mengatakan bahwa perasaan mereka tidak valid tidak akan membantu. Orang tua yang cerdas mengajarkan anak-anak bahwa perasaan mereka itu sah dan membantu mereka mengatasi perasaan tersebut dengan cara yang sehat.

Orang tua dapat mengatakan hal-hal seperti, "Boleh saja merasa marah, tetapi tidak boleh memukul."

Hal ini membantu anak-anak untuk memahami dan mengidentifikasi emosi mereka dan belajar bagaimana mengungkapkannya dengan cara yang konstruktif.

Penting bagi orang tua untuk bersabar dan pengertian ketika membantu anak-anak mereka mengatasi perasaan mereka. Membutuhkan waktu dan latihan bagi anak-anak untuk belajar bagaimana mengelola emosi mereka secara efektif.

3 dari 6 halaman

2. Mendidik Anak untuk Mengontrol Emosi

Orang tua yang berhasil tidak selalu menenangkan anak saat marah atau menghiburnya saat sedih. Mereka justru membekali anak dengan alat untuk mengatur emosi mereka sendiri.

Orang tua proaktif membantu anak menemukan strategi koping yang sesuai. Mewarnai mungkin membantu mengatasi kesedihan, sedangkan anak lain mungkin lebih suka mendengarkan musik.

Pendekatan ini membantu anak-anak mengembangkan kemandirian emosional dan kepercayaan diri. Mereka belajar bahwa mereka mampu mengatasi perasaan mereka sendiri dan tidak selalu bergantung pada orang tua untuk mendapatkan bantuan.

Dengan membekali anak dengan alat untuk mengatur emosi mereka sendiri, orang tua membantu mereka membangun mental yang tangguh dan mempersiapkan mereka untuk menghadapi berbagai situasi dalam hidup.

4 dari 6 halaman

3. Kesalahan Merupakan Pelajaran Berharga untuk Anak

Bagi orang tua, melihat anak mereka berbuat salah memang menyakitkan. Namun, orang tua yang bijaksana justru melihat kesalahan sebagai kesempatan belajar yang berharga.

Kesalahan, beserta konsekuensi alami yang menyertainya, bisa menjadi guru terbaik bagi anak. Misalnya, jika anak lupa membawa botol minumnya, mereka akan merasakan haus.

Jika mereka menunda mengerjakan tugas pelajaran hingga menit-menit terakhir, mereka akan merasakan stres dan mungkin mendapatkan nilai yang kurang baik.

Orang tua yang cerdas tidak akan buru-buru menyelamatkan anak mereka dari konsekuensi ini. Sebaliknya, mereka akan membantu anak belajar dari pengalaman tersebut sehingga bisa membuat keputusan yang lebih baik di masa depan.

5 dari 6 halaman

4. Melibatkan Anak Dalam Pemecahan Masalah

Orang tua yang cerdas memahami bahwa memarahi atau menghukum anak karena lupa mengerjakan tugas rumah atau nilai yang buruk bukanlah solusi yang tepat. Alih-alih, mereka akan melibatkan anak dalam proses pemecahan masalah.

Mereka akan menanyakan pertanyaan seperti, "Apa yang menurutmu bisa membantumu lebih bertanggung jawab?" dan bekerja sama dengan anak untuk membuat rencana yang dapat mereka laksanakan bersama. Hal ini memungkinkan anak untuk belajar dari kesalahannya dan mengembangkan keterampilan yang mereka butuhkan untuk menjadi lebih mandiri.

Konsekuensi atas tindakan yang salah tetap diperlukan, disiplin yang diterapkan oleh orang tua cerdas berfokus pada pengajaran daripada hukuman. Tujuannya adalah untuk membantu anak belajar dan berkembang, bukan untuk membuat mereka merasa malu.

Pendekatan ini membantu anak-anak untuk membangun rasa percaya diri dan mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri.

6 dari 6 halaman

5. Melatih Keterampilan dengan Merasakan Ketidaknyamanan

Orang tua yang cerdas memahami bahwa ketidaknyamanan adalah bagian dari proses pembelajaran. Mereka memberi anak-anak kesempatan untuk berlatih keterampilan mereka dengan membiarkan mereka merasakan kebosanan, kekecewaan, dan frustrasi.

Hal ini tidak berarti mereka mengekspos anak-anak pada situasi yang keras hanya untuk membuat mereka lebih kuat. Justru, mereka ingin anak-anak belajar bagaimana menghadapi situasi yang tidak menyenangkan dengan cara yang sehat.

Orang tua yang cerdas tidak selalu berusaha membantu anak-anak mereka "tidak merasa takut". Sebaliknya, mereka mendorong anak-anak mereka untuk berani menghadapi rasa takut mereka.

Dengan menanggung rasa tidak nyaman, anak-anak mendapatkan kepercayaan diri dalam kemampuan mereka. Mereka belajar bahwa mereka dapat melakukan hal-hal yang tidak mereka sukai, dan bahwa mereka mampu bangkit kembali dari kekecewaan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.