Sukses

Berkumur Air Garam karena Sakit Gigi Saat Puasa, Batalkah?

Berkumur dengan air garam dapat membantu mengurangi peradangan dan membunuh bakteri, apakah membatalkan puasa?

Liputan6.com, Jakarta - Salah satu cara menjaga kesehatan mulut dan gigi saat puasa adalah berkumur dengan air garam. Cara ini disampaikan oleh dokter gigi Eka Hospital BSD, Alexander Bryan.

“Berkumur dengan air dapat membantu mengurangi peradangan dan membunuh bakteri. Campurkan satu sendok teh garam dengan air hangat dan bilas mulut Anda selama 30 detik sebelum meludahkannya. Namun hati-hati tertelan di saat puasa ya,” kata Alexander dalam keterangan pers, Rabu (27/3/2024).

Lantas, apakah berkumur air garam dapat membatalkan puasa?

Menurut Pengasuh Pesantren Fathul Ulum Wonodadi, Blitar, Ustaz Muhammad Zainul Millah, orang puasa yang sakit gigi, kemudian berkumur dengan air garam dan dimuntahkan tanpa ada yang tertelan, hukum puasanya tetap sah.

“Karena tidak ada benda apapun yang masuk ke dalam tubuh yang dapat membatalkan puasa,” kata Zainul mengutip NU Online, Kamis (28/3/2024).

Hukum berkumur atau memasukkan sesuatu ke dalam mulut saat puasa adalah makruh, karena berpotensi membatalkan puasa jika tertelan.

Hukum makruh ini tidak berlaku jika ada kebutuhan yang mengharuskan untuk melakukannya (hajat), seperti untuk mengobati orang yang sakit gigi.   

Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar Al-Haitami disebutkan: 

وَ) عَنْ (ذَوْقِ الطَّعَامِ) وَغَيْرِهِ بَلْ يُكْرَهُ خَوْفًا مِنْ وُصُوْلِهِ إِلَى حَلْقِهِ  

Artinya:

“Dan dianjurkan untuk menghindari dari mencicipi makanan dan hal-hal lain, bahkan hal tersebut dimakruhkan karena takut makanan itu sampai ke tenggorokannya.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2001], juz I, halaman 521). 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Penjelasan Lain Soal Hilangnya Hukum Makruh

Sementara menurut Syekh Zakariya dalam kitab Tuhfatut Thullab, hukum makruh ini hilang jika ada kebutuhan untuk mencicipi atau memasukkan sesuatu ke dalam mulut:

 وَمَحَلُّ الْكَرَاهَةِ اِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَاجَةٌ اَمَّا الطَّبَّاحُ رَجُلًا كَانَ اَوِ امْرَاءَةً وَمَنْ لَهُ صَغِيْرٌ يُعَلِّلُهُ فَلَا يُكْرَهُ فِي حَقِّهِمَا ذَلِكَ قَالَهُ الزِّيَادِي  

Artinya:

“Hukum makruh itu jika tidak mempunyai keperluan. Adapun juru masak, baik laki-laki atau perempuan, dan orang yang mempunyai anak kecil yang sedang dia beri obat, maka tidak makruh bagi mereka untuk mencicipi dan mengunyahkan makanan. Demikian yang dikatakan Al-Ziyadi.” (Zakariya Al-Anshari, Tuhfatut Thullab, [Beirut, Darul Fikr: 2006], halaman 286).  

3 dari 4 halaman

Perlu Dilakukan dengan Hati-Hati

Intinya, berkumur dengan air garam harus dilakukan dengan hati-hati sesuai dengan kebutuhan. Pasalnya, jika dilakukan dengan berlebihan maka air garam dapat masuk ke dalam perut dalam keadaan sadar, dan hal ini dapat membatalkan.   

Dalam kitab Fathul Wahhab dijelaskan:

 لَا سَبْقُ مَاءٍ إِلَيْهِ بِمَكْرُوْهٍ كَمُبَالَغَةِ مَضْمَضَةٍ أَوِ اسْتِنْشَاقٍ) وَمَرَّةٍ رَابِعَةٍ فَيَضُرُّ لِلنَّهْيِ عَنْهُ بِخِلَافِهِ إِذَا لَمْ يُبَالِغْ أَوْ بَالَغَ لِغَسْلِ نَجَاسَةٍ لِأَنَّهُ تَوَلَّدَ مِنْ مَأْمُوْرٍ بِهِ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ  

Artinya:

“Tidak dimaafkan masuknya air sebab kemakruhan, seperti berlebihan dalam berkumur atau menghirup air dan melakukannya keempat kali, maka membatalkan karena dilarang. Berbeda halnya jika tidak berlebihan atau berlebihan untuk keperluan membersihkan najis, (maka tidak batal), karena masuknya air tersebut terjadi dari tindakan yang diperintahkan agama tanpa pilihannya.” ( Zakariya Al-Anshari, Fathul Wahhab, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2017], juz I, halaman 208).  

4 dari 4 halaman

Tak Masalah Jika Masih Ada Sisa Rasa

Setelah air garam dimuntahkan semua, tidak masalah jika masih ada sisa rasa yang dirasakan pada tenggorokan, karena itu hanya atsar atau bekas rasa yang tidak ada bentuknya. 

 فَرْعٌ  يُفْطِرُ) الصَّائِمُ أَيْضًا (بِوُصُولِ عَيْنٍ) وَإِنْ قَلَّتْ كَسِمْسِمَةٍ وَلَمْ تُؤْكَلْ عَادَةً كَحَصَاةٍ  مِنْ الظَّاهِرِ (فِي مَنْفَذٍ) … (مَفْتُوحٍ عَنْ قَصْدٍ) لِوُصُولِهَا (مَعَ ذِكْرِ الصَّوْمِ إلَى مَا يُسَمَّى جَوْفًا) …  وَخَرَجَ بِالْعَيْنِ الْأَثَرُ كَوُصُولِ الرِّيحِ بِالشَّمِّ إِلَى دِمَاغِهِ وَالطَّعْمِ بِالذَّوْقِ إلَى حَلْقِهِ  

Artinya:

“Cabang masalah: batal puasa bagi orang yang berpuasa dengan masuknya benda, meskipun kecil seperti biji wijen dan meskipun tidak biasa dimakan, seperti kerikil dari luar ke dalam lubang ... yang terbuka secara sengaja untuk memasukkannya, serta ingat sedang puasa sampai pada bagian yang disebut rongga dalam tubuh ... dan dengan kata “ain” atau “benda” dikecualikan “atsar” atau “bekas”, seperti masuknya angin dengan dihirup sampai ke otak dan sampainya rasa karena mencicipi makanan pada  tenggorokannya.” (Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2013], juz V, halaman 297).

“Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan, orang yang sakit gigi, kemudian berkumur dengan air garam dan memuntahkannya, hukum puasanya tetap sah dengan ketentuan dilakukan dengan hati-hati sesuai kebutuhan dan telah dimuntahkan semua tanpa ada yang masuk ke dalam tubuh. Wallahu a’lam,” tutup Zainul.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.