Sukses

AS Batasi Penggunaan Media Sosial pada Anak, Ini 3 Alasannya

Amerika Serikat (AS) akan menerapkan kebijakan pembatasan penggunaan media sosial pada anak. Mengapa medsos dapat meracuni kesehatan mental anak?

Liputan6.com, Jakarta - Negara bagiah Utah di Amerika Serikat (AS) akan mewajibkan perusahaan media sosial untuk memiliki aturan tentang persetujuan orangtua saat anak-anak mendaftar ke aplikasi media sosial.

Selain itu, perusahaan media sosial juga akan diwajibkan memverifikasi bahwa pengguna setidaknya berusia 18 tahun, melansir BBC.

Menurut Gubernur Utah, Spencer Cox, dia telah menandatangani dua langkah besar untuk melindungi anak dan remaja di negara bagian tersebut.

Tak hanya itu, persetujuan orangtua atau wali diperlukan sebelum anak-anak dapat membuat akun di aplikasi media sosial.

Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) yang mulai berlaku pada Maret 2024 tersebut, terdapat juga pemberlakuan jam malam media sosial. Aturan ini dilakukan dengan memblokir akses anak-anak antara pukul 22:30 dan 06:30, kecuali ada penyesuaian tertentu dari orang tua.

Perusahaan Media Sosial Tak Bisa Akses Data Anak 

Berdasarkan RUU tersebut, perusahaan media sosial tidak lagi bisa mengumpulkan data anak.

"Kami tidak lagi ingin membiarkan perusahaan media sosial terus merusak kesehatan mental kaum muda kami,” tulis Spencer pada akun Twitter-nya.

Sebagai pemimpin dan orang tua, ia juga mengajak para orang tua memiliki rasa tanggung jawab untuk melindungi generasi muda. Langkah ini dilakukan karena meningkatnya kekhawatiran atas dampak media sosial terhadap kesehatan mental anak hingga remaja.

Mengapa penggunaan media sosial yang berlebihan pada anak dan remaja dapat meracuni kesehatan mental mereka?

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Masa Anak dan Remaja Mendambakan Validasi Sosial

Masa anak-anak menuju remaja adalah periode pertumbuhan yang membuat mereka rentan terpengaruh, dilansir dari laman NPR.

Pada masa ini, remaja mendambakan validasi sosial dari sekelilingnya. Namun, di saat yang sama, mereka kurang mampu untuk menahan diri.

Kepala staf sains di American Psychological Association (APA), Mitch Prinstein, mengungkap bahwa masa pubertas membuat area otak yang menginginkan validasi sosial berkembang jauh sebelum bagian otak yang berfungsi untuk pengendalian diri.

“Saat anak-anak memasuki masa pubertas, area otak yang terkait dengan keinginan kita untuk mendapat penghargaan sosial, seperti ingin dilihat, perhatian, dan umpan balik positif dari teman, cenderung berkembang jauh sebelum bagian otak yang terkait dengan kemampuan kita untuk mencegah perilaku kita dan menolak godaan," ia menjelaskan.

Dengan begitu, platform media sosial yang memiliki fitur "likes" dan "followers" dapat memicu dan memenuhi keinginan anak dan remaja tersebut.

Hal ini dapat membuat mereka selalu merasa tidak puas dengan dirinya, sehingga bisa stres dan depresi.

3 dari 4 halaman

Fitur “Likes” Dapat Menormalisasikan Hal Buruk

Mitch menjelaskan, anak dan remaja juga bisa menormalisasi hal atau perilaku yang buruk. Hal ini berkaitan dengan fitur “likes” yang membuat batas antara hal yang baik dan buruk menjadi kabur.

Ketika mereka melihat perilaku ilegal atau berbahaya di media sosial dengan banyak likes, lama-lama mereka akan menganggap hal tersebut wajar atau normal.

"Hal ini menunjukkan bahwa fitur likes mungkin dapat meningkatkan kecenderungan mereka terhadap perilaku berbahaya dan ilegal," ia menerangkan.

Dengan kata lain, perilaku buruk tak lagi dianggap buruk ketika mereka melihat orang lain menyukainya.

4 dari 4 halaman

Cyberbullying Itu Nyata

Intimidasi yang berujung pada cyberbullying terhadap anak dan rermaja dapat memakan nyawa.

Menurut Mitch, pelecehan secara daring mengaktifkan bagian otak yang sama dengan area yang merespons rasa sakit fisik.

"Otak orang dewasa dan remaja mengungkapkan bahwa pelecehan online mengaktifkan daerah yang sama dari otak yang merespon rasa sakit fisik. Ini memicu reaksi yang mereplikasi serangan fisik, lalu merusak kesehatan mental," ia menambahkan. 

Selain itu, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, anak hingga remaja yang melaporkan tindakan bullying lebih mungkin untuk juga melaporkan kecenderungan bunuh diri.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.