Sukses

Ada Bantuan Pihak Lain, PERKENI Klaim Tak Pernah Bayar Iuran Perhimpunan

Ketua Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD, KEMD, FINASIM mengatakan bahwa anggota tidak pernah membayar iuran perhimpunan.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD, KEMD, FINASIM mengatakan bahwa anggota tidak pernah membayar iuran perhimpunan.

Meski secara teori ada ketentuan bayar iuran, tapi khusus di PERKENI, anggotanya tidak mengandalkan uang iuran karena ada bantuan dari pihak lain.

“Teoritisnya ada tapi kita nda pernah bayar iuran. PERKENI sih enggak terlalu (mengandalkan) iuran, untung ada support yang lain,” kata Ketut saat ditemui di Jakarta, Senin 20 Maret 2023.

Menurut Ketut, PERKENI membantu pemerintah dalam mengedukasi dan menangani penyakit, khususnya diabetes.

Dalam memberi bantuan ini, pihak Ketut mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak seperti perusahaan perawatan kesehatan global Novo Nordisk.

Menyusul Pernyataan Ketua IDI

Sebelumnya, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi merinci anggaran yang dikeluarkan oleh dokter dalam mengurus Surat Izin Praktik (SIP), Surat Tanda Registrasi, hingga iuran perhimpunan.

Terkait iuran perhimpunan, nominalnya Rp100 ribu. Namun, angka ini menyesuaikan dengan berbagai perhimpunan. Artinya nominal iuran di perhimpunan dokter spesialis ortopedi, spesialis penyakit dalam, dan yang lainnya akan berbeda-beda.

Bila dokter spesialis merogoh Rp100 ribu per bulan maka dalam lima tahun yang dikeluarkan adalah angka Rp6 juta.

“Rata-rata Rp100 ribu per bulan, kali 12, kali lima tahun, ini yang kemudian muncul angka Rp 6 juta. Itu adalah iuran perhimpunan," katanya dalam public hearing RUU Kesehatan di Jakarta Selatan, Jumat 17 Maret 2023.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Disebut Ribet dan Mahal

Penjelasan Adib soal pengeluaran dokter dilakukan usai mendengar pernyataan Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin yang menyebut proses SIP dokter yang ribet dan mahal.

Rekomendasi izin praktik digunakan dokter untuk mendapatkan SIP yang dikeluarkan pejabat kesehatan berwenang di kabupaten/kota tempat praktik.

“Kalau ini enggak saya jawab nanti kesannya IDI sebagai lembaga masyarakat yang non formal menghimpun uang lebih besar," kata Adib.

"Tadi saya sudah koordinasikan juga dengan Pak Wamen (Dante Saksono) karena ada statement dari Pak Wamen juga,” lanjut Adib.

Sebelumnya, Menkes Budi bertanya kepada Dante mengenai biaya pembuatan dan perpanjangan SIP sekitar Rp6 juta untuk dokter spesialis.

3 dari 4 halaman

Rincian Nominal Versi Adib

Terkait hal ini, Adib membeberkan rincian nominalnya. Adib mengatakan ada iuran IDI sebesar Rp30 ribu per bulan. Selama lima tahun berarti dokter perlu membayarkan sebesar Rp1,8 juta. Menurut Adib, iuran dalam kelembagaan adalah hal lazim.

"Iuran IDI artinya ini adalah sebuah hal yang normal di dalam lembaga masyarakat menghimpun adanya iuran,” jelasnya Adib.

Lalu, ada biaya KTA (kartu tanda anggota) IDI elektronik sebesar Rp30 ribu.

Adib juga mengatakan biaya rekomendasi sebagai salah satu syarat mengantongi satu surat izin praktik (SIP) adalah Rp 100 ribu. Ia mengakui masih melakukan sosialisasi kepada para dokter terkait angka itu.

“Ini memang PR bagi kami untuk mensosialisasikan dengan teman-teman. Rp100 ribu per 5 tahun untuk satu surat izin praktik (SIP). Lalu, resertifikasi 100 ribu di Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), bukan di kita, jadi nominal yang dikeluarkan kalau total selama lima tahun adalah Rp4,4 juta.”

Audit Keuangan

Adib juga mengungkapkan bahwa dana yang masuk juga melalui proses audit.

“Kita tegaskan juga itu melalui proses audit. Di PB IDI setiap tahun diaudit, dan duit kita duit eksternal, internal kita sampaikan kepada anggota, dan juga muktamar juga setiap tiga tahun kita sampaikan.” katanya.

4 dari 4 halaman

Di Negara Lain

Adib menjelaskan bahwa pembaruan STR dan SIP setiap lima tahun dilakukan guna mempertahankan kualitas dokter. Ia pun membandingkan STR di Indonesia dengan negara lain.

“Kalau di Indonesia cukup lama setiap lima tahun, kalau di negara lain seperti Amerika setiap dua tahun,” kata Adib.

Menurut Adib, munculnya IDI sebagai lembaga yang diberikan amanah oleh negara di UU Praktik Kedokteran No 24 yang mengawal, melakukan pembinaan, kendali mutu, dan juga kendali biaya selama ini tidak pernah mendapatkan anggaran dari negara.

“Dulu pernah zaman tahun 2008, tapi sekarang sudah tidak. Ini mengklarifikasi supaya kita sampaikan tidak ada kesan IDI menghimpun dana begitu besar,” katanya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.