Sukses

Wacana Vaksin Booster Rp100 Ribu Saat Endemi, Epidemiolog: Selama Masih Wabah Harus Terjangkau

Usai pencabutan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) wacananya vaksin booster COVID-19 akan berbayar Rp100 ribu.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menuturkan bahwa ada rencana mengenai vaksin booster berbayar setelah pandemi dicabut. Saat masuk endmi COVID-19 dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI yang disiarkan daring pada Rabu 8 Februari 2023.

Vaksinasi untuk booster kita siapkan, harga vaksin ini sebetulnya di bawah Rp100 ribu, itu belum pakai ongkos. Harusnya ini pun bisa di-cover oleh masyarakat secara independent (mandiri),” kata Budi.

Hal ini pun mendapat tanggapan dari beberapa pihak salah satunya epidemiolog Masdalina Pane. Menurutnya, selama masa wabah, berbagai infrastruktur baik vaksin hingga alat kesehatan (alkes) harus terjangkau olah masyarakat.

“Selama kondisi wabah, baik itu epidemi, pandemi maupun endemi, maka pemerintah harus menyiapkan infrastruktur vaksin, masker, oksigen, obat dan alkes dengan terjangkau,” kata Masdalina kepada Health Liputan6.com melalui pesan teks pada Jumat (10/2/2023).

Budi pun sempat menyampaikan, nominal sebesar Rp100 ribu untuk mendapatkan vaksinasi booster bagi masyarakat ekonomi menengah ke atas masih masuk akal.

“Tiap enam bulan sekali Rp100 ribu menurut saya sih suatu angka yang masih make sense," kata Budi.

Pernyataan ini pun tak luput dari perhatian Masdalina. Menurutnya, vaksin booster setiap enam bulan tidak begitu perlu mengingat vaksin dosis 2 pun belum sampai 70 persen.

Ngapain vaksin terus tiap enam bulan? Seperti tidak ada kerjaan saja, padahal 70 persen dosis 2 sampai sekarang enggak nyampe-nyampe,” katanya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Varian Baru Butuh Jenis Vaksin Baru

Lebih lanjut, Masdalina menyampaikan bahwa varian-varian baru COVID-19 membutuhkan jenis vaksin baru yang sesuai dengan varian.

“Varian-varian baru seharusnya memiliki jenis vaksin yang baru, yang sesuai dengan jenis variannya. Jadi selama secara epidemiologi kondisi terkendali, tidak ada VoC (variant of concern) baru yang virulen kita tidak membutuhkan booster,” jelasnya.

Senada dengan Masdalina, epidemiolog Dicky Budiman juga menilai bahwa vaksin booster enam bulan sekali bukanlah hal yang diharuskan bagi setiap orang.

“Kebutuhannya sebetulnya enggak mesti enam bulan sekali, belum tentu semua orang harus booster terus. Ini bisa hanya pada kelompok berisiko tinggi. Jadi, saat ini masih terlalu dini untuk mengatakan semua harus booster enam bulan sekali, kecenderungannya tampaknya tidak seperti itu.”

Yang pasti, lanjut Dicky, polanya akan seperti vaksin flu atau influenza di mana pemberiannya satu tahun sekali pada orang yang berisiko seperti lanjut (usia) lansia atau orang dengan mobilitas tinggi.

3 dari 4 halaman

Imunitas Bisa Bertahan 12 Bulan

Dicky juga menyampaikan riset terakhir soal hybrid immunity. Riset menunjukkan, imunitas yang terbentuk pada orang yang sudah divaksinasi lengkap dapat bertahan 12 bulan.

“Misalnya orang divaksinasi tiga kali, kemudian terinfeksi oleh subvarian Omicron, hybrid immunity yang terbentuk itu bertahan 12 bulan rata-rata.”

“Jadi urgensi atau dasar enam bulan menjadi enggak esensial. Ditambah lagi jika itu menyangkut kelompok muda atau yang risikonya kecil. Nah ini kenapa saya tidak melihat urgensi (booster) per enam bulan,” pungkas Dicky.

4 dari 4 halaman

Universal Health Coverage

Dicky pun menanggapi soal vaksin booster yang diwacanakan akan dibayar mandiri oleh masyarakat.

Menurutnya, alih-alih mempersiapkan pembayaran mandiri, negara-negara di dunia terutama negara maju dan sebagian negara berkembang sudah menyiapkan mekanisme penyediaan vaksin booster dengan pembiayaan universal health coverage.

“Jadi sebenarnya enggak beli (vaksin), masyarakat mendapatkan haknya karena dia melakukan kewajiban membayar premi dari asuransinya kalau di Indonesia BPJS Kesehatan. Ini termasuk untuk masyarakat yang kaya atau menengah,” ujar Dicky.

Sedangkan, untuk masyarakat kurang mampu, maka tergolong dalam penerima bantuan iuran atau PBI, artinya dibantu oleh negara, tambahnya.

Bagi masyarakat yang ingin membeli vaksin dari fasilitas kesehatan swasta maka boleh saja, tapi peran pemerintah tidak hilang.

“Sebagaimana jenis-jenis vaksin yang sifatnya menjadi masalah kesehatan masyarakat, itu (vaksin booster) harus difasilitasi oleh pemerintah.”

“Mekanismenya kalau begitu sebenarnya tidak terlalu memberatkan pemerintah karena kan kalau di BPJS ada sistem subsidi silang, yang kaya bantu yang miskin. Seharusnya itu yang dikembangkan,” pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.