Sukses

Menkes Sebut Harga Vaksin COVID-19 Booster Rp100 Ribu di Masa Endemi

Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Menkes RI) Budi Gunadi Sadikin menyampaikan strategi vaksinasi COVID-19 usai pencabutan status pandemi.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Menkes RI) Budi Gunadi Sadikin menyampaikan strategi vaksinasi COVID-19 usai pencabutan status pandemi COVID-19. Salah satu strateginya yakni menerapkan vaksinasi booster menjadi berbayar Rp100.000 di masa endemi.

“Vaksinasi untuk booster kita siapkan, harga vaksini ini sebetulnya di bawah Rp100 ribu, itu belum pakai ongkos. Harusnya ini pun bisa di-cover oleh masyarakat secara independent (mandiri),” kata Budi dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI yang disiarkan daring pada Rabu 8 Februari 2023.

Menurut Budi, nominal sebesar Rp100 ribu untuk mendapatkan vaksinasi booster bagi masyarakat ekonomi menengah ke atas masih masuk akal. 

“Tiap enam bulan sekali Rp100 ribu menurut saya sih suatu angka yang masih make sense," kata Budi.

Sementara itu, bagi masyarakat yang kurang mampu bisa mendapatkan vaksinasi booster COVID-19 ditanggung oleh BPJS Kesehatan.

"Sedangkan bagi masyarakat yang kurang mampu nanti kita cover melalui mekanisme PBI (penerima bantuan iuran).”

Lantas, hingga kapan vaksinasi booster ditanggung pemerintah dan kapan mulai ditanggung masyarakat secara independen?

Terkait hal ini Budi mengatakan bahwa dalam Undang-Undang terkait wabah sudah dibahas. Selama kondisi pandemi itu artinya masih dinyatakan darurat, maka negara masih memiliki kewajiban untuk membayar keperluan vaksin masyarakat.

“Memang di Undang-Undang Wabah itu ditulis, selama ini masih di-declare darurat, negara masih bayar. Itu menjadi diskusi di kita sekarang.”

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Keppres Pandemi Masih Berlaku

Sementara itu, mengenai kedaruratan kesehatan diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres). Di mana saat ini kondisi masih pandemi COVID-19. 

“Keppres-nya masih hidup, kedaruratan bahasa populernya itu pandemi, jadi Keppres Pandemi itu masih berlaku dan itu menginduk ke Keppresnya WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) yang namanya Public Health Emergency of International Concern (PHEIC).”

Mengingat pandemi berlaku secara global, maka tidak memungkinkan untuk memutuskan sendiri soal kedaruratan tersebut.

“Karena ini pandemi global, kalau kita putusin sendiri kan lucu, harusnya putusinnya dengan mereka (WHO).”

3 dari 4 halaman

Menkes Konsultasi dengan WHO

Beberapa negara telah mendeklarasikan bahwa status kedaruratan pandemi mereka akan berakhir pada Mei tahun ini. Negara-negara tersebut termasuk Jepang dan Amerika Serikat.

Melihat hal tersebut, Budi pun melakukan konsultasi dengan WHO. Hasil diskusi tersebut menyatakan bahwa keputusan mengenai kedaruratan adalah wewenang masing-masing negara.

“Ini diplomatis. Pertama, keputusan mengenai kedaruratan adalah wewenang masing-masing negara. Nomor dua, dia kasih pesan seakan-akan begini ‘Tapi kalau jalan sendiri kan lucu juga’ orang bisa ketawa tiba-tiba Indonesia jadi satu-satunya negara yang bilang ‘kita endemi’ yang lain enggak, itu kan lucu juga,” kata Budi.

4 dari 4 halaman

Harus Ada Faktor Ilmiah

Berdasarkan diskusi dengan WHO, organisasi tersebut memberi tahu beberapa faktor-faktor ilmiah yang mendasarinya pencabutan status kedaruratan kesehatan.

“WHO menyarankan, yang menjadi konsideran ilmiahnya adalah hospitalisasi, ICU, dan kematian. Masalahnya tidak semua negara memasukkan data hospitalisasi, ICU, dan kematian. Di region-nya kita hanya Bangladesh yang memasukkan data itu.”

WHO pun meminta Indonesia untuk memasukkan data-data terkait angka hospitalisasi, ICU dan kematian akibat COVID-19 Mendengar permintaan tersebut, Kemenkes akan ikut memasukkan data-data tersebut ke WHO.

“Dan kita akan komunikasi intens dengan WHO agar pada saat nanti kita mendeklarasikan, maka ini jadi enggak aneh dan mereka sudah tahu. Dan tidak kelihatan kita nyelonong sendiri.”

“Saya juga minta teman-teman segera buka komunikasi dengan Amerika dan Jepang untuk melihat perkembangan mereka, timeline-nya mereka, dan skedulnya mereka seperti apa. Jadi kalau pun kita mendeklarasikan, maka kita akan sama protapnya (prosedur tetap) dengan negara-negara maju dan dengan sepengetahuan WHO.”

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.