Sukses

Pakar IPB Ingatkan Orangtua Bahaya Zat Kimia Aditif pada Jajanan Anak

Zat Kimia Aditif pada jajanan anak atau zat kimia kemasan yang berbahaya?

Liputan6.com, Jakarta - Dosen biokimia dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), Institut Pertanian Bogor (IPB), Syaefudin PhD mengatakan bahwa cemaran zat kimia aditif yang langsung dicampurkan pada pangan justru lebih berbahaya dibanding zat kimia pada kemasan.

Adapun contoh cemaran zat kimia aditif tersebut seperti penggunaan zat pewarna (Rhodamin) atau zat pengawet (formalin) pada jajanan anak, kayak otak-otak, cireng, dan lain-lain.

"Belum lagi minuman warna warni yang semakin beragam jenisnya, yang banyak dijual di pinggir jalan," katanya dikutip dari keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com pada Jumat, 6 Januari 2023.

Syaefudin menyadari bahwa saat ini ramainya isu tentang bahaya zat kimia pada kemasan pangan, khususnya kemasan air minum dalam kemasan (AMDK) memicu kekhawatiran masyarakat.

Menrutu dia, keamanan pangan dan kemasan menjadi dua hal yang berbeda, tapi sama-sama wajib diperhatikan masyarakat. Bagaimana juga kedua hal tersebut tak bisa dipisahkan, antara pangan dan kemasannya.

Mengenai hal tersebut, Syaefudin menjelaskan bahwa zat aditif pada pangan lebih berbahaya daripada zat pada kemasan pangan.

Sebab, zat kimia aditif pada pangan dapat langsung terkonsumsi tubuh tanpa adanya perantara. Sedangkan zat kimia dalam kemasan pangan, kata Syaefudin, sifatnya migrasi dan tidak terkonsumsi langsung oleh tubuh.

"Kalau dari segi kemungkinan masuk ke dalam tubuh, paling besar dari food additive karena langsung (masuk ke dalam tubuh) tapi kalau dari kemasan pangan itu kemungkinannya kecil," ujarnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Masih Aman

Meski begitu, lanjut Syaefudin, zat kimia aditif tetap dianggap aman untuk dicampur ke dalam pangan dengan syarat sudah memenuhi kualifikasi food grade.

Alasannya, zat kimia aditif yang food grade dapat dengan mudah di-metabolisme dan dikeluarkan tubuh sedangkan yang non food grade tidak.

"Kalau food grade additive tentu saja sudah diakui dan ketika masuk dalam tubuh bisa dimetabolisme. Hanya saja untuk bahan-bahan aditif yang tidak food grade biasanya masuk, lalu tubuh itu mengenalinya sebagai benda asing. Karena dia mengenalnya sebagai benda asing, dari itu harus dikeluarkan," katanya.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa proses metabolisme yang disebut glucuronidase, bertujuan untuk mengeluarkan zat kimia yang terkonsumsi tubuh dapat dikeluarkan melalui urine dan keringat. Hal ini disebabkan tubuh memiliki mekanisme sendiri.

 

3 dari 4 halaman

Memiliki Struktur yang Berbeda

Syaefudin lalu menerangkan bahwa setiap zat kimia memiliki karakteristik struktur yang berbeda. Jika struktur senyawanya mudah dikenali tubuh, akan lebih mudah dimetabolisme tubuh menjadi senyawa yang dapat dikeluarkan tubuh seperti halnya BPA.

"Nah itu kan masuk ke dalam tubuh (zat kimia) dan tubuh punya mekanisme sendiri. Misalkan kalau BPA bisa dikenali dan bisa dimetabolisme kalau ditoksikologi dan biokimia namanya glukoronidase dan sulfonasi. Jadi, dia bisa mengubah menjadi senyawa yang bisa dikeluarkan," dia menambahkan.

Akan tetapi melihat perkembangan kuliner saat ini banyak kasus oknum pedagang yang 'nakal' atau 'tidak paham' mencampurkan zat kimia aditif non food grade seperti zat pewarna ataupun pengawet ke dalam pangan.

"Biasanya kan penjual menggunakan itu (zat kimia aditif non food grade) karena bisa jadi mereka tidak tahu atau bisa jadi itu lebih murah dibandingkan food grade colour atau zat (kimia) pewarna yang food grade," kata Syaifudin.

 

4 dari 4 halaman

Selain Keamanan Pangan

Di samping itu Syaefudin juga menekankan bahwa tidak hanya keamanan pangan yang menjadi persoalan, mengenai kemasan pangan yang dipakai sebagai pembungkus makanan pinggir jalan atau warung nasi --- seperti styrofoam dan kertas nasi --- juga harus diperhatikan.

Menurut Syaefudin, kedua bungkus tersebut mengandung phthalate dan tidak ada jaminan bahwa kadar zat kimianya sesuai dengan ambang batas aman yang ditentukan.

"Styrofoam pada beberapa negara itu dilarang karena styrofoam atau plastik untuk bungkus nasi itu seperti yang di warung makan itu sebenarnya mengandung phthalate. Plasricizer sebenarnya itu yang buat bahan itu jadi lentur. Ketika masuk ke dalam tubuh, tubuh tidak bisa mengeluarkannya, susah," katanya.

"Sama seperti rhodamine, susah mengeluarkannya makanya biasanya ini dilarang," pungkas Syaefudin.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.