Sukses

Soal Wacana Pencabutan PPKM, Epidemiolog: Jangan Sekarang, Setelah Nataru Saja

Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) kemungkinan akan berakhir di penghujung 2022. Wacana ini disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

Liputan6.com, Jakarta Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) kemungkinan akan berakhir di penghujung 2022. Hal ini disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi kemarin, Rabu, 21 Desember 2022.

Terkait hal tersebut, epidemiolog Dicky Budiman mengatakan bahwa PPKM saat ini masih diperlukan. Pasalnya, RI sebentar lagi menghadapi perayaan Natal dan tahun baru (Nataru) 2023.

PPKM masih dibutuhkan untuk pencegahan penularan COVID-19 di momen yang akan memicu peningkatan mobilisasi masyarakat tersebut.

“Jadi pencabutannya menurut saya jangan sekarang, tapi nanti setelah Nataru karena di Nataru ini 16 persen penduduk Indonesia mobilitas,” ujar Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara, Kamis (22/12/2022).

Dicky tak memungkiri bahwa kasus COVID-19 di Indonesia memang sudah membaik. Namun, pandemi belum mencapai garis finish.

“Situasi Indonesia sudah baik, ya kita syukuri itu, tapi belum sampai finish. Ibarat lari maraton ini sudah dekat, sedikit lagi, jadi sabar. Toh PPKM-nya tidak harus level 3 atau 4. Level 1 saja enggak terlalu terlihat mencolok.”

PPKM ini sebetulnya masih dibutuhkan untuk memberi dampak psikologis kepada masyarakat dan pemangku kepentingan agar tetap waspada. Penerapan di lapangan pun sebetulnya tidak mengganggu aktivitas masyarakat sehari-hari.

“Yang saya khawatirkan adalah ketika PPKM dicabut akhirnya banyak yang lebih abai lagi.”

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Pencabutan PPKM Tanda Masuk Endemi?

Lantas, apakah rencana pencabutan PPKM ini pertanda bahwa Indonesia memasuki masa endemi?

Terkait pertanyaan ini, Dicky menjelaskan bahwa sebagai negara, Indonesia memiliki otoritas untuk mendeklarasikan bahwa situasinya terkendali, endemi, atau kondisi lainnya.

“Mau dikatakan endemi kek atau apapun, tapi harus dipahami, memperlakukan endemi, memperlakukan seakan terkendali dengan fakta bahwa ini memang terkendali itu dua hal yang berbeda.”

Faktanya, secara sains dan dari aspek epidemiologi terutama secara global, belum ada satu pun epidemiolog dunia yang sudah menyatakan bahwa COVID-19 ini sudah dalam status endemi.

“Bahkan pelajaran 100 tahun lalu, virus H1N1 yang menyebabkan pandemi itu butuh 20 tahun untuk jadi endemi. Tapi bukan berarti kita harus pandemic selama 20 tahun, tidak, tapi setidaknya kita tahu kewenangan mencabut pandemi ini jelas ada di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).”

Mengingat wewenang pencabutan pandemic ada di World Health Organization, maka negara dan masyarakat yang ada di dalamnya memiliki tanggung jawab sendiri. Yakni mengarahkan pengendalian pandemi ini ke arah yang semakin terkendali.

3 dari 4 halaman

Jika PPKM Dicabut Usai Nataru

Dicky menambahkan, jika PPKM benar-benar dicabut usai Nataru masyarakat tetap harus waspada. Mengingat, subvarian yang masih ada saat ini atau yang kemungkinan ada di masa mendatang bisa menembus barikade antibodi.

Termasuk pula bagi masyarakat yang sudah divaksinasi hingga dosis penguat atau booster sekalipun.

“Meskipun modal imunitas lebih baik harus diingat bahwa subvarian yang ada saat ini dan prediksi saya 2023 akan ada subvarian baru, ini bisa menembus barikade atau pertahanan dari vaksinasi.”

Dicky pun mengatakan bahwa dirinya sempat terkena COVID-19 walaupun sudah mendapat suntikan vaksin 5 dosis.

“Ini harusnya menyadarkan pada kita bahwa modal imunitas itu jangan jadi sesuatu yang diagungkan. Karena tetap, kewaspadaan, kombinasi dengan perilaku hidup bersih sehat, serta upaya mitigasi lain juga tetap harus dilakukan.”

4 dari 4 halaman

Modal Imunitas Masih Bolong-Bolong

Pakar global health security ini juga mengingatkan bahwa modal imunitas di Indonesia masih bolong-bolong.

“Apa bolongnya? Pertama, booster kita masih jauh di bawah 50 persen, apalagi kalau bicara kelompok rentan seperti lanjut usia (lansia) itu lebih berbahaya.”

Bolong lainnya ada pada kelompok anak di bawah usia enam. Mereka belum mendapatkan vaksinasi.

“Bahkan vaksinasi primer anak usia 6 sampai 12 tahun itu masih rendah lho. Jadi ini mesti diingat oleh kita. Situasi yang sudah baik kita syukuri tapi jangan lengah, jangan sampai kita menjadi negara yang masih bergejolak gelombangnya,” pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.