Sukses

Subvarian BA.5 Mendominasi, Lama Waktu Bertemu dan Jarak Antarorang Pengaruhi Risiko Tertular COVID-19

Berdasarkan pengamatan terhadap jumlah kasus harian yang terjadi selama beberapa waktu terakhir, diketahui virus BA.5 yang merupakan subvarian Omicron memiliki daya tular yang lebih cepat dibandingkan varian sebelumnya.

Liputan6.com, Jakarta - Penularan virus Corona penyebab COVID-19 masih terus terjadi. Hingga Sabtu, 27 Agustus 2022, tercatat ada 4.170 kasus baru di Indonesia.

Berdasarkan pengamatan terhadap jumlah kasus harian yang terjadi selama beberapa waktu terakhir, diketahui virus BA.5 yang merupakan subvarian Omicron memiliki daya tular yang lebih cepat dibandingkan varian sebelumnya.

"Tampaknya bahwa varian ini bisa menginfeksi lebih cepat. Terbukti bahwa jumlah kasus yang terjadi tampaknya meningkat dibandingkan bulan-bulan sebelumnya," ujar Guru Besar Departemen Patologi Klinik Univ. Kristen Krida Wacana Prof Dr dr Tonny Loho, DMM, Sp.PK (K) dalam Talkshow: Perkembangan Gejala pada Subvarian BA.5, Jumat, 26 Agustus 2022 secara daring.

Tonny yang merupakan anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik Indonesia pun menyampaikan, peningkatan jumlah kasus juga terlihat pada banyaknya individu yang menjalani pemeriksaan di laboratorium. Sebelum subvarian BA.5 muncul, hanya sekitar 10 hingga 30 orang yang menjalani pemeriksaan dan hasil positif pun hanya pada kisaran 10-20 persen dari total yang memeriksakan diri.

"Tetapi setelah adanya varian baru ini maka yang memeriksakan di laboratorium rumah sakit meningkat. Kurang lebih kalau di rumah sakit-rumah sakit yang biasa-biasa saja itu mencapai 100 orang per hari atau lebih sedikit dan juga persentase positifnya itu meningkat sampai ke 50 - 60 persen. Nah, itu yang tampak dari pemeriksaan sehari-hari," lanjutnya.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Departemen Pulmonologi dan Kedokteran FKUI dan RSUP Persahabatan dr Prasenohadi, PhD, SpP(K), KIC menjelaskan, hanya diperlukan 1000 virus partikel untuk seseorang bisa tertular penyakit.

"Virus itu sebenarnya kalau dari teori, kalau ada orang yang sakit dengan COVID-19 atau dengan kuman, kalau teori itu hanya membutuhkan sekitar 1.000 virus partikel untuk bisa menularkan, jadi enggak terlalu banyak," jelasnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Durasi, Jarak dan Aktivitas Interaksi Pengaruhi Penularan

Durasi waktu, jarak dan aktivitas antarorang ketika berinteraksi pun turut berperan dalam penularan penyakit akibat virus, dalam hal ini COVID-19. 

Prasenohadi memberi contoh, ketika berinteraksi dengan pasien yang terkonfirmasi COVID-19 namun tidak bercakap-cakap, maka memerlukan waktu sekitar 1 jam untuk tertular. "Nah, kalau kita diam saja berhadapan dengan pasien yang COVID-19, kalau hanya bernapas itu hanya 20 virus partikel. Jadi kira-kira dibutuhkan hampir 1 jam lah untuk tertular," imbuhnya.

Sebaliknya, ada 200 virus partikel yang keluar dari aktivitas berbicara sehingga hanya perlu waktu sekitar 5 menit untuk terpapar virus penyebab COVID-19.

"Jadi sekali lagi, waktu dan jarak antarorang itu menjadi penting. Apalagi kalau batuk atau bersin, itu jutaan virus akan keluar. Jadi ya memang penularannya sangat tinggi, tapi sekali lagi tergantung dari daya tahan tubuh seseorang."

Jika daya tahan tubuh seseorang baik, virus atau kuman bisa segera dimatikan. Namun, jika tidak dan kekuatan virus sangat kuat atau jumlahnya sangat banyak, seseorang yang terinfeksi bsia menjadi sakit. 

 

3 dari 4 halaman

Masih Terinfeksi Meski Sudah Vaksinasi

Mengenai adanya individu yang tetap terinfeksi COVID-19 meski telah divaksinasi, Tonny menjelaskan, ada 3 komponen yang berpengaruh dalam prinsip dasar penyakit infeksi. Ketiga komponen tersebut yakni agent (virus sebagai penyebab sakit), host yaitu manusia yang terinfeksi, dan lingkungan.

Tonny mencontohkan, seseorang yang makan bersama dengan sekelompok orang dalam jumlah besar memiliki kemungkinan terpapar virus jika ada diantara orang tersebut yang positif COVD-19.

"Ketika makan, mereka akan membuka masker lalu kemudian berinteraksi. Di situlah bisa kalau ada 1-2 orang atau lebih yang positif akan mengeluarkan virus itu ke udara dan kemudian terhirup oleh seseorang ini. Nah. kalau virus itu yang masuk banyak sehingga bisa mengatasi sistem pertahanan tubuh yang ada di hidung dan mungkin saluran napas bagian bawah, itu kemudian orang itu akan terinfeksi," jelas Tonny.

Jika individu yang terinfeksi sudah divaksin, kata Tonny, ada sistem kekebalan tubuh yang bersifat seluler yaitu dari limfosit T atau dikenal sebagai CD4 dan mungkin juga ada antibodi yaitu immunoglobulin, sistem kekebalan yang bersifat humoral, akan bekerja sama menghalau virus penyebab COVID-19.

Jika seseorang yang terinfeksi tidak memiliki komorbid, kolaborasi kekebalan tubuh seluler dan humoral akan bekerja sangat baik mengatasi COVID-19.

"Kalau orang ini tidak punya komorbid mungkin, sistem ini akan berjalan sangat baik dan kemudian orang ini akan mengalami gejala yang enteng saja dan kemdian sembuh atau mungkin tidak mengalami gejala sama sekali."

"Kalau virus yang masuk itu banyak sedangkan dia punya komorbid, nah, mungkin ini bisa membuat lebih berat," tambah Tonny.

 

4 dari 4 halaman

Tetap Waspada

Meski saat ini kasus COVID-19 didominasi oleh subvarian Omicron, Prasenohadi mengatakan, bukan berarti varian terdahulu menghilang. Karenanya masyarakat diminta untuk tetap waspada dan menerapkan protokol kesehatan dengan baik. 

Mengenai gejala varian Omicron yang relatif lebih ringan dibandingkan varian sebelumnya dan batuk menjadi gejala umum, Praseno mengatakan kemungkinan daya tahan tubuh di saluran napas menjadi baik.

"Jadi sepertinya daya tahan tubuh kita di saluran napas itu menjadi baik. Jadi sistem imun di saluran napasnya seperti makrofag atau sel-sel yang lain itu menjadi lebih tangguh ya, dan mungkin juga karena mutasi tadi, virusnya itu jadi bertambah lemah," terangnya.

Praseno menjelaskan, dua kemungkinan efek mutasi yakni virus menjadi bertambah kuat atau bertambah lemah. Pada varian Omicron beserta subvariannya, virus senang berada di saluran napas bagian atas.

"Jadi mutasi itu bisa menjadi dua, virusnya bertambah kuat atau virusnya bertambah lemah. Nah, memang virus ini paling senang di saluran napas atas, seperti tadi di rongga hidung, atau di saluran napas bagian lain seperti faring. Makanya kenapa pemeriksaannya PCR, diswab baik tenggorok maupun di hidung."

Sebelum virus mencapai saluran napas bawah, virus sudah bisa dieliminir oleh daya tahan tubuh sehingga tidak menyebabkan keluhan yang lebih berat

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.