Sukses

Kenapa Herbal Sulit Menembus Izin untuk Penanganan COVID-19 di Indonesia?

Di masa pandemi COVID-19 seperti ini, peminat herbal kian banyak karena efek sampingnya yang hampir tidak ada tapi khasiatnya bisa setara obat.

Liputan6.com, Jakarta Sejumlah herbal telah lama dikenal dan dipercaya masyarakat Indonesia untuk meningkatkan kekebalan tubuh. Apalagi di masa pandemi COVID-19 seperti ini, peminat herbal kian banyak karena efek sampingnya yang hampir tidak ada namun khasiatnya bisa setara obat.

Namun ada beberapa keluhan terkait perizinan herbal untuk dijadikan obat. Ketua Umum Persatuan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI) Dr Inggrid Tania, M.Si mengatakan, sejumlah pakar dari LIPI, Balitbangkes, Kalbe dan BPOM sedang melaksanakan uji klinis untuk jamu sebagai imunodulator untuk COVID-19. Namun ternyata di lapangan ada banyak hambatan sehingga sampai saat ini herbal ini belum bisa dipasarkan.

"Terkesan memang begitu banyak obat tradisional, baik yg belum punya izin edar atau pun yang memiliki izin edar. Namun ada banyak yang menyatakan klaim sebagai obat, hanya berdasarkan testimoni," ujar Inggrid saat diskusi publik Diskusi Publik Polemik Beragamnya Klaim Temuan Obat dan Jamu Herbal Penangkal Covid19 yang ditengahi oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), ditulis Rabu (1 Juli 2020).

Lantas, bagaimana pembuktian khasiatnya?

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Aturan ketat uji klinik

Menurut Inggrid, banyak produsen jamu saat ini tidak mampu melakukan uji klinik karena keterbatasan biaya dalam membayar lembaga penelitian. Padahal, dengan adanya jamu tradisional di pasaran, minuman ini bisa meningkatkan imunitas.

Pada kasus COVID-19 ini, penelitian herbal cenderung disamakan dengan obat yang harus melalui 4 fase uji klinik. Padahal secara manfaat, jamu ini telah beredar di masyarakat. "Potensi dari bahan alam Indonesia lebih optimal. Namun untuk uji klinik sesuai peraturan yang dibantu BPOM/Balitbangkes sangat lama dan banyak faktor politis," imbuhnya.

Sementara itu, mantan Direktur RSCM, Prof Akmal Taher menanggapi, klaim obat dan jamu dilakukan sama karena masyarakat juga harus dilindungi. 

"Karena katakan lah (herbal) ini berhasil (melewati fase uji klinik), maka nggak bisa otomatis langsung dipakai. Setiap dokter juga harus memberikan obat atau herbal sesuai dengan standar pelayanan," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini