Sukses

Usai Debat Cawapres, Akankah JKN Temui Titik Terang?

Tidak satu pun cawapres berani menyinggung potensi sumber pendanaan inovatif untuk meningkakan kapasitas fiskal pembiayaan JKN.

Liputan6.com, Jakarta Isu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan BPJS kembali mencuat dalam debat cawapres yang berlangsung hari Minggu, 17 Maret 2019 lalu.

Isu mengenai JKN muncul dalam dua sesi debat, yakni pada penjelasan visi kedua cawapres dan sesi pertanyaan tentang kesehatan. Pada sesi pertanyaan, cawapres diminta menjelaskan strategi peningkatan kualitas layanan JKN dan masalah pembiayaan yang rendah. Namun, Planning and Policy Specialist dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Yurdhina Meilissa menilai, kedua cawapres lebih fokus pada membangun citra diri daripada memberikan solusi nyata.

Menurut Yurdhina Meilissa, kubu petahana lebih fokus pada keberhasilan JKN dengan menekankan peningkatan kepesertaan JKN. Hingga saat ini, JKN sudah menjangkau 81% masyarakat Indonesia, masih di bawah target akhir tahun 2019 yaitu 95%.

Sementara Sandiaga lebih menekankan pada masalah terkait kualitas layanan dan defisit pembiayaan JKN yang berdampak luas pada pembayaran klaim rumah sakit tertunda, tenaga kesehatan tidak mendapat insentif tepat waktu dan pembayaran obat ke perusahaan farmasi terhambat.

“Tetapi keduanya tidak menjabarkan secara rinci strategi untuk meningkatkan kualitas layanan dan pembiayaan kesehatan. Padahal, perihal pembiayaan JKN yang jauh di bawah perhitungan aktuaria bukanlah hal baru dan sudah menjadi masalah kebijakan politis yang belum terselesaikan,” ujar Yurdhina.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Upaya Promotif Preventif

Kedua Cawapres menekankan pentingnya program promotif di era JKN. Ma’ruf Amin kembali menjelaskan keberhasilan pemerintah saat ini yang mencakup Gerakan Masyarakat Sehat (Germas), Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK), serta penurunan prevalensi stunting.

Sandiaga juga menyebutkan beberapa rencana kebijakan preventif promotif, seperti program olahraga 22 menit setiap hari serta posyandu dan pemberian makanan tambahan (PMT). Meskipun program preventif promotif penting untuk menurunkan beban ekonomi kesehatan dalam jangka panjang, hal ini tidak menjawab kekurangan pembiayaan JKN dan rendahnya kualitas layanan saat ini.  

“Presiden memiliki kuasa paling besar untuk menentukan arah JKN, termasuk perihal pembiayaan dan peningkatan kualitas layanan. Dengan kekuasaan sebesar itu, dalam debat Cawapres diharapkan setiap kubu memberikan solusi yang dihadapi JKN dengan langkah yang lebih strategis dari sekedar membuat penduduk berolahraga setiap hari atau meneruskan program yang sudah ada,” demikian tanggapan Yurdhina.

3 dari 3 halaman

Dapatkah Pembiayaan JKN Menemui Titik Terang?

Sejak pertama kali diluncurkan di tahun 2014, JKN telah mengalami defisit triliunan rupiah yang terus meningkat. Hal ini disebabkan iuran yang belum sesuai hitungan aktuaria dan ketidakmampuan BPJS melakukan kendali biaya dan mutu. Tanpa harus mencari ahli aktuaria terbaik dari Hongkong, pemerhati JKN telah memahami betul bahwa iuran JKN saat ini jauh di bawah hitungan aktuaria.

Pemerintah saat ini masih berkelit dari upaya peningkatan iuran sesuai aktuaria karena bukan merupakan pilihan kebijakan populis. Upaya pengendalian mutu dan biaya pun banyak memunculkan protes dan kontroversi. Meskipun kedua kubu setuju dan seakan paham akan kompleks nya permasalahan JKN, tidak satu pun mengangkat strategi yang akan dilakukan untuk meningkatkan kapasitas fiskal anggaran kesehatan.

Anggaran kesehatan saat ini masih di batas minimal yang diamanatkan UU Kesehatan, yaitu 5% dari belanja negara. Padahal kenaikan anggaran dari jumlah minimal tersebut sudah jelas dibutuhkan pemerintah apabila betul berkomitmen dalam meningkatkan kualitas layanan.

Yurdhina menilai, tidak satu pun cawapres berani menyinggung potensi sumber pendanaan inovatif untuk meningkakan kapasitas fiskal pembiayaan JKN.

“Padahal kajian akademik secara konsisten menunjukkan manfaat optimalisasi pajak dosa berupa peningkatan tarif cukai rokok atau penetapan cukai gula, garam dan lemak. Langkah kebijakan ini dapat menjadi upaya nyata dalam meningkatkan pembiayaan JKN saat ini, serta menurunkan biaya dan menurunkan jumlah penyakit katastropik dalam jangka panjang. Rokok yang selalu disebut sebagai faktor risiko penyakit yang selama ini menyedot kas BPJS Kesehatan, dapat dikendalikan konsumsinya dengan kenaikan cukai, yang juga akan berdampak pada kenaikan penerimaan negara,” tambah Yurdhina.

Namun memang isu kenaikan cukai ini selalu terbentur dengan kepentingan industri, sehingga tidak mengherankan apabila tidak menjadi pilihan jawaban kedua cawapres.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.