Sukses

2 Penyebab Terbesar Kematian Mendadak saat Lari Maraton

Kematian mendadak yang terjadi saat lomba lari maraton di Indonesia baru-baru ini menimbulkan pertanyaan. Apa penyebabnya?

Liputan6.com, Jakarta Akhir-akhir ini, beberapa acara lari maraton memakan korban jiwa. Dalam waktu yang berdekatan, sudah ada tiga kali kejadian meninggalnya seorang pelari yang mengikuti lomba lari maraton di tiga tempat yang berbeda.

Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga dari Indonesia Sports Medicine Center dr. Andi Kurniawan mengatakan, paling tidak ada dua hal mematikan yang bisa terjadi saat lomba lari maraton. Dalam dua kasus yang terjadi di Bali dan Jakarta, dugaan terkuat adalah akibat sudden cardiac death atau kematian jantung mendadak.

"Di mana pasti akibat dari adanya kelainan di jantungnya atau karena ada koroner atau penyempitan di jantungnya, menyebabkan kematian mendadak," ungkap Andi yang juga seorang pelari ini saat ditemui Health Liputan6.com di kawasan Gelora Bung Karno, Jakarta pada Selasa (27/11/2018).

Andi menambahkan, ada satu penyebab kematian mendadak saat lari maraton lain yaitu heatstroke. Mengutip Mayo Clinic, heatstroke adalah kondisi yang menyebabkan tubuh menjadi terlalu panas. Biasanya disebabkan akibat paparan atau aktivitas fisik yang terlalu lama dalam suhu tinggi.

"Penyebab kematian mendadak pada maraton paling sering (ada) dua. Kalau tidak karena sakit jantung, pasti karena heatstroke," ujar Andi yang pernah terlibat sebagai dokter di Asian Games 2018 tersebut.

Simak juga video menarik berikut ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

1,6 KM Mendekati Akhir

Dalam pemaparannya saat sharing session bertajuk "Preparation For Safe and Fun Race", Andi mengungkapkan insiden kematian mendadak maraton di dunia adalah 1 banding 100 ribu. Sehingga, tiga kali kejadian di Indonesia menurutnya cukup memprihatinkan.

Andi mengutip New England Journal of Medicine tahun 2012. Kematian mendadak saat maraton lebih 84 persen lebih berisiko pada pria dengan rata-rata usia berkisar antara 13 hingga 42 tahun. Sementara, 24 persen kasus terjadi di kilometer 40 sampai 42.

Karena itu, Andi mengatakan pentingnya persiapan medis baik peserta maupun panitia. Terutama mendekati garis akhir.

"Kejadian meninggal mendadak paling sering terjadi di 1,6 kilometer terakhir," ujarnya. Maka, Andi menghimbau agar masyarakat tidak meremehkan maraton dengan berlari tanpa persiapan yang matang.

"Kita lari ingin sehat, jangan sampai terjadi masalah pada tubuh karena kita lari," kata Andi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.