Sukses

Politisi Anti-Perang Dilarang Jadi Capres di Pemilu Rusia 2024

Politisi independen yang anti-perang dilarang maju di pemilu Rusia mendatang.

Liputan6.com, Moskow - Kandidat presiden yang tidak setuju perang di Ukraina dilarang untuk maju pemilihan umum 2024 di Rusia. Penolakan itu datang dari komisi pemilihan dengan alasan ada seratus "kesalahan" di formulir politisi tersebut.

Sosok politisi itu adalah Yekaterina Dunstova yang dulunya merupakan jurnalis TV. Ia berniat menantang Presiden Vladimir Putin di pemilu berikutnya.

Vladimir Putin dapat maju lagi sebagai capres meski sudah berkuasa selama 20 tahun lebih sebagai presiden dan perdana menteri. Hal ini karena ada perubahan konsitusi Rusia.

Dilaporkan BBC, Minggu (24/12/2023), Duntsova berkata pihaknya akan banding ke Mahkamah Agung di Rusia karena pelarangan ini.

Kepala komisi pemilihan di Rusia, Ella Pamfilova, berharap agar penolakan ini bisa menjadi pelajaran positif bagi Dunstova.

"Kamu adalah wanita mudah, kamu punya segalanya di depanmu. Segala minus selalu bisa berubah menjadi plus. Setiap pengalaman tetap merupakan sebuah pengalaman," ujar Pamfilova.

Jika tahap formulir ini lolos, maka seharusnya Duntsova lanjut ke pengumpulan tanda tangan.

Yekaterina Duntsova berkata dirinya tidak takut terhadap aksi penolakannya dalam menjadi capres Rusia.

"Setiap orang waras yang mengambil langkah ini akan takut, tetapi ketakutan tidak boleh menang," ujarnya kepada Reuters.

Duntsova terkenal karena suaranya yang oka untuk menghentikan perang di Ukraina, serta membebaskan para tahanan politik.

Komisi pemilihan Rusia menyebut sudah ada 29 orang yang mendaftar menjadi presiden, tetapi hingga kini hanya Vladimir Putin yang lolos untuk menjadi capres.

Pemilu Rusia berikutnya akan digelar pada Maret 2024. Ini akan menjadi pemilu pertama di negara itu sejak Presiden Vladimir Putin melancarkan invasi ke Ukraina.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Ukraina Butuh 500 Ribu Tentara Baru untuk Lawan Rusia

Sebelumnya dilaporkan, perang Rusia-Ukraina masih belum berhenti. Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy kini sedang mencari hingga setengah juta tentara tambahan untuk bertempur. Ia mengakui bahwa isu ini sensitif. 

Saat ini, Ukraina sedang mengalami masalah aliran pendanaan, sebab bantuan dari Amerika Serikat diblokir oleh Partai Republik, sementara bantuan dari Uni Eropa diblokir oleh pemerintah Hungaria. 

Dilaporkan BBC, Rabu (19/12/2023), Ukraina juga menghadapi kekurangan pasokan amunisi karena masih terus melawan invasi Rusia yang dimulai pada Februari 2022. Alhasil, ada ketakutan bahwa Rusia bisa mengalahkan Ukraina akibat persediaan senjata.

Angka tentara yang disebut Presiden Zelenskyy,yakni 450 ribu hingga 500 ribu orang, merupakan masukan dari para komandan militer Ukraina.

Presiden Ukraina juga menambahkan bahwa negaranya akan bisa memproduksi drone pada 2024 mendatang. Ukraina masih menolak negosiasi perdamaian dengan Rusia, kecuali wilayah Ukraina yang dianeksasi Rusia dikembalikan.

Ibu Negara Ukraina Olena Elenska berkata bahwa Ukraina sangat terancam jika tidak mendapatkan dukungan dari Barat.

Di lain pihak, Presiden Rusia Vladimir Putin masih percaya diri bahwa ia bisa menang di pernag Ukraina. Namun, Putin mengakui bahwa tentara Rusia mengalami kendala di sistem pertahanan udara dan komunikasi, serta Rusia perlu menambah produksi drone.

Pada laporan-laporan sebelumnya, Rusia memakai narapidana sebagai tentara. Para pemuda Rusia berbondong-bondong pergi ke luar negeri setelah Vladimir Putin mengumumkan butuh prajurit-prajurit baru.

3 dari 4 halaman

Putin soal Pernyataan Biden bahwa Rusia Berencana Menyerang NATO: Tidak Masuk Akal

Laporan sebelumnya, Vladimir Putin menolak klaim Amerika Serikat (AS) bahwa Rusia dapat menyerang NATO di masa depan. Dia menyebut itu omong kosong dan mengatakan bahwa konflik semacam itu akan bertentangan dengan kepentingan negaranya.

Pernyataan tersebut disampaikan Putin dalam wawancara dengan TV pemerintah Rusia pada Minggu (17/12), beberapa pekan setelah Presiden AS Joe Biden memperingatkan bahwa jika Putin meraih kemenangan di Ukraina maka dia mungkin berani menyerang sekutu NATO, sehingga memicu Perang Dunia III.

"Benar-benar tidak masuk akal dan saya rasa Presiden Biden memahami itu," ungkap Putin kepada stasiun televisi Rossiya, seperti dilansir Al Jazeera, Selasa (19/12).

"Rusia tidak punya alasan, tidak punya kepentingan--tidak punya kepentingan geopolitik, ekonomi, politik atau militer - untuk berperang dengan negara-negara anggota NATO."

Putin menambahkan bahwa Biden mungkin mencoba mengobarkan ketakutan untuk membenarkan kebijakannya yang salah di kawasan tersebut.

4 dari 4 halaman

Hadiah Natal bagi Putin

Hubungan AS-Rusia merosot ke titik terendah dalam beberapa dekade sejak invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022.

Sepanjang perang yang berlangsung selama 22 bulan ini, AS telah memberi Ukraina senjata, peralatan, dan bantuan lainnya senilai USD 111 miliar, untuk menangkis serangan Rusia dan merebut kembali sebagian wilayahnya.

Biden bersikeras mengirimkan lebih banyak bantuan ke Ukraina, meski dilaporkan terjadi penurunan minat di Kongres terhadap perang Ukraina. Kebuntuan hingga saat ini masih terjadi, di mana beberapa anggota parlemen Partai Republik memblokir paket bantuan yang termasuk dukungan untuk Ukraina dan menuntut Gedung Putih terlebih dahulu mengambil tindakan keras terhadap isu keamanan perbatasan.

Pada 12 Desember, Biden mengatakan penolakan anggota parlemen sayap kanan untuk menyetujui paket tersebut berisiko memberikan hadiah Natal berupa kemenangan kepada Putin.

"Putin mengandalkan AS yang gagal mencapai tujuan Ukraina," kata Biden saat konferensi pers dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy. "Kita harus … membuktikan bahwa dia salah."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.