Sukses

Penelitian Terbaru: Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca Ternyata Tak Cukup Lawan Perubahan Iklim

Menurut penelitian terbaru, untuk mengatasi perubahan iklim, diperlukan tindakan lebih dari sekadar mengurangi emisi gas rumah kaca.

Liputan6.com, Jakarta - Menurut penelitian terbaru di Oxford Open Climate Change, untuk mengatasi perubahan iklim, diperlukan tindakan lebih dari sekadar mengurangi emisi gas rumah kaca. Temuan ini didasarkan pada penelitian data iklim yang dipimpin oleh peneliti, James Hansen.

Melansir dari Phys.org, Minggu (10/12/2023), sejak abad ke-19, para ilmuwan telah menyadari bahwa gas-gas penyerap sinar inframerah, yang dikenal sebagai gas rumah kaca, menyebabkan pemanasan pada permukaan Bumi. Kuantitas gas rumah kaca dapat berubah secara alami atau akibat aktivitas manusia.

Pada tahun 1965, Roger Revelle, seorang ilmuwan yang mempelajari pemanasan global, mencatat bahwa industrialisasi membawa manusia ke dalam eksperimen geofisika besar, dengan membakar bahan bakar fosil, yang meningkatkan kadar karbon dioksida (CO2) di atmosfer. Kini, kadar CO2 telah mencapai level yang belum pernah terjadi selama jutaan tahun.

Isu yang telah lama menjadi perhatian adalah seberapa besar suhu global akan meningkat jika kadar CO2 naik.

Sebuah penelitian pada tahun 1979 yang diterbitkan oleh United States National Academy of Sciences menyatakan bahwa peningkatan dua kali lipat kadar CO2 dalam atmosfer dengan kondisi lapisan es yang stabil dapat mengakibatkan kenaikan suhu global antara 1,5 hingga 4,5 derajat Celsius.

Rentang ini sangat luas, dan ada juga ketidakpastian tambahan mengenai penundaan pemanasan yang mungkin terjadi akibat pengaruh luasnya lautan di Bumi.

Studi terbaru tersebut melakukan peninjauan ulang terhadap reaksi iklim berdasarkan data mengenai kondisi iklim masa lalu yang lebih terperinci, dan menemukan bahwa iklim lebih responsif daripada diperkirakan sebelumnya.

Dalam penelitian terbaru ini, sensitivitas iklim dievaluasi ulang dengan mempertimbangkan data paleoklimat yang lebih andal, dan hasilnya menunjukkan bahwa iklim lebih peka daripada perkiraan sebelumnya.

Berdasarkan penelitian ini, perkiraan terbaik untuk kenaikan suhu global ketika kadar CO2 dua kali lipat adalah sekitar 4,8 derajat Celsius, jauh lebih tinggi dari perkiraan terbaik yang diberikan oleh badan PBB Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), yang mencapai sekitar 3 derajat Celsius.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Perubahan Aerosol dan Dampaknya Terhadap Pemanasan Global

Para peneliti juga menyatakan bahwa sebagian besar pemanasan akibat gas rumah kaca selama abad terakhir telah diimbangi oleh efek penyejukan dari aerosol buatan manusia, partikel halus di udara.

Jumlah aerosol telah mengalami penurunan sejak tahun 2010 sebagai akibat dari upaya pengurangan polusi udara di China dan aturan global terhadap emisi aerosol dari kapal. Pengurangan aerosol tersebut bermanfaat bagi kesehatan manusia, karena partikel polusi udara dapat menyebabkan kematian jutaan orang setiap tahun dan memiliki dampak negatif pada kesehatan lebih banyak orang.

Namun, pengurangan aerosol kini mulai menampakkan dampak pemanasan dari gas rumah kaca yang sebelumnya tersembunyi oleh efek pendinginan aerosol.

Para peneliti telah lama menggambarkan efek pendinginan aerosol sebagai kesepakatan Faustian karena ketika manusia akhirnya mengurangi polusi udara, maka imbalannya adalah peningkatan pemanasan yang harus dihadapi.

Studi terbaru ini memprediksi bahwa percepatan pemanasan global setelah tahun 2010 akan segera melebihi fluktuasi alami iklim. Kenaikan suhu rata-rata global dari tahun 1970 hingga 2010 sekitar 0,18 derajat Celsius per dekade, diperkirakan akan meningkat menjadi minimal 0,27 derajat Celsius per dekade dalam beberapa dekade setelah tahun 2010.

Oleh karena itu, diperkirakan bahwa kenaikan suhu global sebesar 1,5 derajat Celsius akan terjadi dalam dekade ini, dan ambang batas 2 derajat Celsius akan terlampaui dalam dua dekade mendatang.

3 dari 5 halaman

Pandangan Peneliti untuk Masa Depan Energi dan Perubahan Iklim

Pada bagian akhir, James Hansen membagikan pandangannya berdasarkan pengalamannya bertahun-tahun dalam mencoba memengaruhi kebijakan pemerintah.

Pertama-tama, menurutnya, untuk berhasil mengurangi emisi CO2 dengan cepat, diperlukan peningkatan biaya karbon di dalam negeri dengan penerapan bea masuk pada produk-produk dari negara-negara yang tidak menerapkan biaya karbon. Selain itu, ia juga mendukung penggunaan tenaga nuklir modern bersama dengan energi terbarukan.

Selanjutnya, ia berpendapat bahwa negara-negara Barat, yang memiliki sebagian besar tanggung jawab terhadap perubahan iklim, perlu bekerja sama dengan negara-negara berkembang untuk membantu mereka beralih ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan dan sesuai dengan keberlanjutan iklim untuk kebaikan semua pihak.

Lebih jauh lagi, James Hansen meyakini bahwa meskipun upaya-upaya tersebut dilakukan, pemanasan global akan mencapai tingkat yang membawa risiko serius. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa penelitian dan pengembangan tindakan sementara yang dapat membantu mengatasi ketidakseimbangan besar dalam energi di Bumi saat ini juga harus difokuskan.

4 dari 5 halaman

Energi dan Pemanasan Global Jadi Tantangan Besar di Abad Ini, Setara 400.000 Bom Atom Hiroshima Tiap Hari

Satu dekade lalu, James Hansen mengamati bahwa Bumi mengalami ketidakseimbangan energi sekitar 0,6 W/m2 (watt per meter persegi). Artinya, energi yang masuk dari matahari lebih banyak daripada yang keluar, atau radiasi panas ke luar angkasa.

Kelebihan energi tersebut menjadi penyebab langsung dari pemanasan global, setara dengan 400.000 bom atom Hiroshima setiap hari, dan sebagian besar energinya diserap oleh lautan. Saat ini, karena penurunan konsentrasi aerosol, ketidakseimbangan tersebut telah meningkat dua kali lipat menjadi sekitar 1,2 W/m2.

Ketidakseimbangan yang besar tersebut menyebabkan pemanasan global yang cepat dan menimbulkan peningkatan laju pencairan es di kutub. Hal berpotensi mengganggu sirkulasi laut, berdampak pada kenaikan tinggi permukaan air laut yang besar dan cepat pada akhir abad ini.

Makalah tersebut menyatakan bahwa langkah-langkah untuk mencegah geotransformasi yang lebih drastis harus diambil.

Beberapa tindakan yang dapat dilakukan termasuk penyuntikan aerosol ke stratosfer, meskipun peristiwa letusan gunung berapi dapat memberikan petunjuk relevan, namun tidak sepenuhnya memadai.

5 dari 5 halaman

Tantangan dan Tindakan dalam Mengatasi Krisis Iklim

Selain itu, penyemprotan air laut asin menggunakan perahu layar otonom di daerah yang rentan terhadap penyemaian awan juga menjadi opsi yang perlu dipertimbangkan.

Hansen menyarankan agar generasi muda berfokus pada isu mendasar yang berkembang di negara-negara demokrasi barat, terutama di Amerika Serikat. Dia mengkritik pernyataan bahwa prinsip "satu orang, satu suara" telah digantikan oleh realitas bahwa "satu dolar, satu suara," ungkap James Hansen.

Ia juga menambahkan, "Kepentingan khusus dari sektor finansial seperti industri bahan bakar fosil, kimia, kayu, dan makanan, diberi keleluasaan untuk memengaruhi politisi dengan uang."

"Tak heran jika situasi iklim semakin tidak terkendali dan dampak negatif terhadap lingkungan semakin bertambah, termasuk degradasi habitat serangga termasuk penyerbuk, praktik pengelolaan hutan yang tidak tepat, serta sistem pertanian yang lebih berfokus pada profit daripada kesejahteraan masyarakat dan kualitas nutrisi," jelas James Hansen.

"Kita tinggal di planet ini dengan pola iklim yang menunjukkan reaksi yang lambat, yang menyebabkan ketidakadilan antar-generasi," ujar James Hansen.

Ia juga berpendapat bahwa generasi muda harus menyadari hal ini dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan masa depan yang cerah bagi diri mereka sendiri dan keturunan mereka.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.