Sukses

Ketua DPR AS Kevin McCarthy Bertekad Luncurkan Penyelidikan Pemakzulan Joe Biden

Penyelidikan terkait tuduhan bahwa Presiden Amerika Serikat Joe Biden menerima keuntungan dari kesepakatan bisnis putranya, Hunter Biden, dengan pihak asing. Selain itu, Biden juga diduga menggunakan jabatannya untuk mengoordinasikan koneksi-koneksinya dan menerima perlakuan khusus dari pemerintahannya sendiri.

Liputan6.com, Washington - Ketua DPR Amerika Serikat (AS) Kevin McCarthy mengumumkan pada Selasa (12/9/2023) bahwa para anggota akan meluncurkan penyelidikan pemakzulan terhadap Presiden Joe Biden untuk menginvestigasi tuduhan bahwa dia menerima keuntungan dari kesepakatan bisnis putranya, Hunter Biden, dengan pihak asing.

"Tuduhan-tuduhan ini menggambarkan sebuah budaya korupsi," kata McCarthy kepada wartawan seperti dikutip VOA Indonesia, Rabu (13/9).

"Kami menemukan bahwa Presiden Biden berbohong kepada rakyat AS tentang apa yang dia ketahui soal kesepakatan bisnis asing keluarganya. Sejumlah saksi mata bersaksi bahwa sang presiden terlibat dalam sejumlah pembicaraan telepon, melakukan banyak interaksi, jamuan makan malam yang menghasilkan mobil-mobil dan uang jutaan dolar yang masuk ke kantong putra-putranya dan rekan bisnis putranya."

McCarthy menambahkan, "Kami tahu catatan perbankan menunjukkan bahwa pembayaran senilai hampir USD 20 juta dikirim ke anggota keluarga Biden dan rekan-rekannya melalui berbagai perusahaan cangkang."

Selain itu, McCarthy juga menuduh Biden menggunakan jabatannya untuk mengoordinasikan koneksi-koneksinya dan menerima perlakuan khusus dari pemerintahannya sendiri.

Meski demikian, beberapa komite DPR belum menemukan bukti untuk mendukung klaim-klaim tersebut.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Partai Demokrat AS: Penyelidikan Tidak Masuk Akal

Juru bicara Gedung Putih Ian Sams mengatakan, "Anggota DPR dari Partai Republik telah menyelidiki presiden selama sembilan bulan dan mereka tidak menemukan bukti pelanggaran. Anggota Partai Republik sendiri mengatakan demikian. Dia bersumpah akan mengadakan pemungutan suara untuk membuka (kasus) pemakzulan, namun kini dia plin-plan karena tidak mendapatkan dukungan. Itulah contoh terburuk politik ekstrem."

Pemimpin Mayoritas Senat AS Chuck Schumer pekan lalu menyebut bahwa penyelidikan itu tidak masuk akal.

Jumlah anggota Partai Republik DPR AS hanya lima kursi lebih banyak dari Partai Demokrat. Beberapa anggota Partai Republik pun khawatir akan dampak penyelidikan pemakzulan menjelang tahun pemilu 2024.

Ken Buck, anggota DPR dari kubu Republik, yang juga anggota Kaukus Kebebasan DPR dan Komite Peradilan DPR, mengatakan kepada NBC News pada Minggu (10/9), "Waktu untuk melakukan pemakzulan adalah ketika ada bukti yang mengaitkan Presiden Biden – apabila memang ada bukti yang mengaitkan Presiden Biden – dengan tindak pidana berat atau pidana ringan. Bukti itu tidak ada sekarang."

3 dari 3 halaman

Keberlangsungan Operasional Pemerintah AS Jadi Taruhan

Pengumuman McCarthy tentang penyelidikan itu dilakukan ketika Kongres AS harus berhadapan dengan Gedung Putih untuk mencapai kesepakatan yang akan menjamin keberlangsungan operasional pemerintah AS setelah 30 September, yang merupakan tenggat waktu kesepakatan pendanaan pemerintahan. DPR AS yang saat ini dikuasai Partai Republik hanya memiliki sisa beberapa hari kerja untuk dapat mengesahkan resolusi jangka pendek (Continuing Resolution/CR) pendanaan itu, kalau tidak maka operasional pemerintahan harus dihentikan.

Jika operasional pemerintahan berhenti, komite-komite DPR tidak akan bisa melakukan penyelidikan pemakzulan. McCarthy telah mengajukan resolusi jangka pendek kepada kolega konservatifnya, dengan tujuan untuk dapat melanjutkan penyelidikan itu serta mengulur waktu untuk bisa menegosiasikan anggaran pemerintah agar lebih sejalan dengan prioritas Partai Republik.

Ketua DPR itu menghadapi tekanan yang semakin besar dari kolega konservatifnya musim panas ini setelah menyetujui kesepakatan dengan presiden untuk menaikkan plafon utang demi menghindari gagal bayar.

"Mungkin pasal-pasal pemakzulan itu juga tidak akan pernah sampai ke lantai Senat," kata Michael Thorning, direktur demokrasi struktural di Bipartisan Policy Center kepada VOA.

"Dengan mayoritas tipis, belum jelas apakah Partai Republik bisa menggolkannya. Mereka jelas tidak bisa mengandalkan dukungan Partai Demokrat, sehingga mereka harus benar-benar memastikan suara setiap anggotanya. Jika lima saja di antara mereka tidak satu suara maka mereka tidak akan bisa menggolkannya.

Bahkan, kalaupun DPR AS berhasil menggolkan pasal-pasal pemakzulan itu, Senat AS yang dikuasai Partai Demokrat kemungkinan besar tidak akan membiarkannya dipersidangkan.

Pemimpin Minoritas Senat AS Mitch McConnell mengatakan Juli lalu, "Pemakzulan seharusnya jarang terjadi, bukan hal biasa. Jadi, saya tidak terkejut bahwa setelah diperlakukan seperti itu, anggota DPR dari Partai Republik saat ini mulai membuka kemungkinan melakukan hal yang sama. Dan saya rasa menghadapi masalah pemakzulan berulang kali tidak baik untuk negara ini."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.