Sukses

1 Tahun Perang di Ukraina, Rusia Siap Bela Diri dengan Nuklir

Mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev, kini menjabat sebagai penasihat tinggi keamanan, berkata negaranya siap membela diri dengan nuklir.

Liputan6.com, Moskow - Mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev berkata negaranya siap dengan senjata nuklir apabila diserang. Ucapan Medvedev itu muncul setelah Presiden Vladimir Putin mensuspensi keterlibatan negaranya di perjanjian New Strategic Arms Reduction Treaty (New START).

Medvedev kini menjabat sebagai deputi ketua di Majelis Keamanan Rusia. Ia menyebut bahwa akan ada konflik global jika ada yang ingin mengalahkan Rusia.

"Jika AS ingin mengalahkan Rusia, kami punya hak untuk melindungi diri kami dengan berbagai senjata, termasuk jenis nuklir," ujar Dmitry Medvedev pada Telegramnya, dikutip media pemerintah Rusia, TASS, Rabu (22/2/2023).

Terkait masalah New START, Medvedev menyebut keputusan itu sudah dibahas sejak lama. Ia mengaku telah menyorotnya sejak tahun lalu.

Medvedev berkata keputusan itu diambil, sebab ia merasa negara-negara NATO sedang berperang dengan Rusia. Selain itu, ia mengkritik AS karena dianggap ikut campur urusan negara lain, namun mengirim bantuan senjata ke pemerintahan Ukraina.

Pihak Rusia telah menegaskan bahwa suspensi New START ini bukan berarti mereka keluar dari perjanjian itu secara permanen.

Komite luar negeri Duma (DPR Rusia) juga telah menyiapkan produk hukum untuk mendukung langkah Presiden Putin dalam suspensi keterlibatan tersebut. 

Retorika tentang nuklir ini muncul beberapa hari menjelang satu tahun perang Rusia-Ukraina. Militer Rusia menyerang Ukraina pada 24 Februari 2022. Serangan terjadi meski Rusia berkali-kali membantah bahwa ada serangan yang akan terjadi.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Jelang Setahun Perang Rusia-Ukraina, Dubes Uni Eropa: Indonesia Sudah Beri Dukungan

Jelang setahun perang Rusia-Ukraina, Duta Besar Uni Eropa Vincent Piket menyebut bahwa pemerintah Indonesia sudah memberikan dukungan agar situasi bisa menjadi lebih baik.

"Dukungan pertama telah diberikan oleh Indonesia. Dukungan itu berupa suara di resolusi PBB tahun lalu," ujar Dubes Vincent Piket dalam diskusi bertajuk 'Sejauh Apa Indonesia Bisa Berperan Menghentikan Agresi Rusia' yang disiarkan oleh The Conversation Indonesia, Selasa (21/2/2023). 

"Kedua, Indonesia saat memegang presidensi G20. KTT itu menyimpulkan pernyataan bersama yang sangat-sangat jelas mengutuk invasi Rusia ke Ukraina."

"Jadi itu adalah hal penting yang dicapai Indonesia bersama para mitranya."

Meski demikian, Dubes Vincent Piket berharap bahwa harus ada langkah yang bisa dilakukan. Seperti contoh, mengisolasi Rusia secara diplomatis.

"Sekarang kita harus melihat lebih jauh. Kita harus terus mengisolasi Rusia secara diplomatis," kata Dubes Vincent Piket, meski tak secara gamblang meminta hal tersebut dilakukan oleh Indonesia.

Ia juga mengingatkan bahwa akan ada pemungutan suara penting yang terjadi lusa, tepatnya tanggal 23 Februari 2023 di sidang PBB.

Dikutip dari laman Antara, sidang tersebut akan melakukan pemungutan suara negara anggota terkait rancangan resolusi guna mencapai perdamaian perang di Ukraina secara komprehensif, adil, abadi dan sesegera mungkin.

Jelang setahun perang Ukraina-Rusia, Dubes Vincent Piket juga menututkan bahwa ada banyak dampak yang dirasakan oleh negara-negara anggota Uni Eropa.

"Di sisi ekonomi. Kami sedang dalam proses pemulihan setelah COVID-19. Kemudian invasi terjadi dan Rusia mengganggu proses pemulihan itu," kata Dubes Vincent Piket.

"Hal ini juga telah sangat menurunkan pertumbuhan sebagian besar ekonomi di dunia. Meningkatkan inflasi karena kekurangan bahan makanan dan energi, dan telah menimbulkan masalah bagi industri di seluruh dunia karena rantai pasokan yang terganggu."

Dubes Vincent Piket juga menyoroti dampak setahun terakhir di Afrika yang banyak menderita karena kurangnya makanan serta inflasi.

"Jadi dampak ekonomi sangat-sangat signifikan bagi semua orang, dan kami masih belum bisa mengatasinya."

3 dari 4 halaman

Presiden Ukraina: Dukungan China ke Rusia Berisiko Picu Perang Dunia III

 Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan pada Senin (20/2/2023) bahwa dia telah menghubungi pemimpin China dan meminta mereka untuk tidak memberikan dukungan apa pun kepada Rusia.

"Harapan saya adalah bahwa pemerintah di Beijing akan mempertahankan sikap pragmatis, jika tidak kita berisiko Perang Dunia III – kita semua menyadarinya," kata Zelenskyy dalam wawancara dengan harian Italia la Repubblica seperti dilansir Anadolu, Selasa (21/2). 

Zelensky menambahkan, "Ukraina selalu memiliki hubungan yang sangat baik dengan China dan adalah kepentingan semua orang untuk tidak memperburuknya."

China, yang dianggap sebagai pendukung utama Rusia, sejauh ini belum memberikan dukungan militer ke Moskow. Namun, beberapa waktu lalu, Amerika Serikat (AS) mengklaim bahwa China tengah mempertimbangkan untuk memasok senjata dan amunisi ke Rusia.

Dalam wawancara yang sama, Zelenskyy mengkritik Presiden Prancis Emmanuel Macron karena berulang kali berupaya membuka pembicaraan dengan Rusia.

"Itu akan menjadi dialog yang gagal. Nyatanya, Macron membuang-buang waktu. Saya sampai pada kesimpulan bahwa kita tidak dapat mengubah sikap Rusia," tegas Zelensky.

4 dari 4 halaman

Pesan China soal Rusia Vs Ukraina: Hentikan Menyirami Api dengan Bensin

Menteri Luar Negeri (Menlu) China Qin Gang mengatakan pada Selasa (22/2/2023), pihaknya ingin memainkan peran dalam mengakhiri perang Ukraina. Hal tersebut disampaikan Menlu Qin dalam konferensi keamanan di Beijing, di mana dia juga mengungkapkan kekhawatiran bahwa invasi Rusia ke Ukraina yang berlangsung hampir setahun dapat lepas kendali.

China, sebut Qin, akan terus mendesak pembicaraan damai untuk menghasilkan penyelesaian politik. 

"Pada saat yang sama, kami mendesak negara-negara terkait untuk segera berhenti menambahkan bahan bakar ke api, berhenti menyalahkan China, dan berhenti membesar-besarkan soal Ukraina hari ini, Taiwan besoknya," ungkap Menlu Qin merujuk kepada dukungan militer Barat terhadap Kyiv serta kekhawatiran bahwa China sedang bersiap untuk menegaskan klaimnya atas Taiwan. Demikian seperti dikutip dari AP, Rabu (22/2).

Sejak invasi Rusia ke Ukraina, China telah menolak mengutuk langkah tersebut dan mengecam keras sanksi ekonomi Barat terhadap Moskow. Sejauh ini, China juga tidak mendefinisikan apa yang terjadi di Ukraina sebagai invasi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.