Sukses

Membahas Maut di Kafe Kematian

Di kafe kematian ini para pengunjung bisa membahas isu tabut yang maut.

Liputan6.com, Tasmania - Kafe Kematian (Death Cafe) di Australia membuka kesempatan bagi para pengunjung untuk membahas isu tabu: kematian. Para pengunjung pun mendapat kesempatan bila ingin mendiskusikan sseseorang atau saat-saat terakhir mereka. 

Dilaporkan VOA Indonesia, Rabu (19/10/2022), kafe tersebut berlokasi di Hobart, Pulau Tasmania. Kafe ini membantu para pengunjungnya belajar memahami ketakutan mengenai akhir hidup seseorang dan cara mengatasinya. Ini diharapkan dapat mendorong diskusi terbuka mengenai topik yang kerap dianggap tabu itu. 

Mitchell Jansen, salah seorang pengunjung kafe itu, bertanya, "Pernahkah Anda bersama dengan seseorang yang sekarat? Bagaimana perasaan Anda?”

Topik itu bukan hal yang tabu dibahas di sana. Para pengunjungnya dengan bebas membahas saat-saat terakhir dengan orang-orang yang mereka cintai.

Salah seorang partisipan mengemukakan pengalamannya."Ia berusia 87. Dan saya sangat mujur dan beruntung dapat pergi ke Jerman dan bersama dengannya,” jelasnya.

Kelompok itu juga membahas apa yang akan mereka lakukan dalam menghadapi penyakit yang tidak dapat disembuhkan lagi. Ketika didiagnosis dengan kanker yang serius, misalnya, peserta diminta membahas apakah mereka menginginkan dokter mengemukakannya secara langsung dan terus terang, atau hanya berfokus pada langkah-langkah berikutnya yang tidak membuat mereka sendiri kebingungan.

Inilah kesempatan bagi orang-orang untuk berkumpul bersama dan membahas topik yang kerap dianggap tabu. Salah seorang pendiri Tassie Death Café, Leigh Connell, mengatakan, "Ada orang-orang yang benar-benar ingin membicarakan masalah ini dan mereka mendapat penolakan di beberapa tempat.”

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Berbagai Alasan Pribadi

Setiap orang mengunjungi kafe itu dengan alasan pribadi yang berbeda-beda. Jansen, misalnya, menderita fibrosis kistik (cystic fibrosis) dan sejak awal menyadari tentang kematiannya karena penyakit itu. Ia merasa senang ketika tahu bahwa bukan hanya ia sendiri yang mengalami ketakutan akan kematian. 

Pengunjung lainnya, Nikita Harris, awalnya bekerja di panti wreda. Ia merasa memiliki kesempatan istimewa berada bersama dengan orang-orang pada saat-saat terakhir hidup mereka. Hal tersebut membuat Harris mempertanyakan apa yang terjadi setelah orang itu meninggal dunia.

Gerakan Death Café dimulai di Inggris pada tahun 2011. Sejak itu, lebih dari 14 ribu pertemuan diperkirakan telah diselenggarakan di 81 negara.

Pendiri lain kafe itu, Lynn Redwig menambahkan, "Bukankah akan luar biasa jika ini menjadi bagian dari kurikulum, kurikulum Australia, yang mengajarkan anak-anak sedari awal untuk memahami tentang kematian.”

Dan meskipun topiknya mungkin menyeramkan, tetapi selalu saja ada kesempatan tertawa bersama sewaktu kelompok ini bertemu. 

3 dari 3 halaman

Hari Kesehatan Mental Sedunia, Psikolog Tekankan Kunci Jiwa Sehat Adalah Self Care

Terkait kesehatan mental, WHO mencatat, setiap 8 orang di dunia hidup dengan gangguan mental pada 2019. Gangguan kecemasan dan Depresi pun meningkat seiring dengan pandemi COVID-19 pada 2020.

Ketua Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (YAPESDI) Dewi Tjakrawinata sempat mengatakan kondisi mental anak disabilitas bisa lebih rentan selama pandemi COVID-19. Untuk itu ia memiliki saran bagi orang tua untuk tetap menerima kondisi anak tapi tidak pasrah.

Untuk menjaga kesehatan mental, Psikolog klinis Ella Tsang berharap lebih banyak orang akan meluangkan waktu untuk menyayangi diri sendiri.

Dilansir dari SCMP, sebelum menjadi psikolog, Ella juga mengalami kecemasan dan depresi di usia remaja dan awal 20-an.

“Di Asia kami tidak terbiasa berbicara dengan diri sendiri dengan nada ramah. Mungkin kita berpikir bahwa mengatakan 'Aku mencintaimu' [untuk diri kita sendiri] dan memberi diri sendiri dukungan merupakan hal gila. Tapi saya berharap lebih banyak orang akan meluangkan waktu sejenak untuk melihat bagaimana rasanya duduk dengan perasaan mereka, karena diri sendiri memang sahabat diri ini, ”kata Tsang.

Ia bekerja dengan StoryTaler, sebuah perusahaan sosial Hong Kong yang mempromosikan kesadaran kesehatan mental dan upaya untuk mengurangi stigma seputar penyakit mental.

Tsang pertama kali mengalami suasana hati yang buruk dan harga diri yang buruk saat berusia 16 tahun. Tidak ada stresor tunggal; itu adalah akumulasi faktor, kecemasan tentang sekolah, kesehatan anggota keluarga, kehidupan sehari-hari dan masa depan. Semua itu terakumulasi dalam dirinya.

“Itu memengaruhi cara saya mengatur diri sendiri dan saya merasa sulit untuk sekedar pergi ke sekolah,” kenang Tsang, yang kini berusia 30 tahun.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.